Mengenang 4 Pahlawan Nasional dari Tanah Papua
loading...
A
A
A
JAKARTA -
Papua, rasanya tak cukup kata untuk melukiskannya. Senyata kekayaan dan keindahan alamnya, Bumi Papua nyaris tak pernah lepas dari sengketa. Bagi Indonesia Papua adalah bagian yang tak terpisahkan. Setelah Operasi Pembebasan Irian Barat dilakukan pada 1963, Papua kembali ke pangkuan Indonesia dari kekuasaan Belanda. Pemerintah mencatat keterlibatan orang asli Papua dalam perjuangan fisik dan nonfisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuk mereka. Berikut empat Pahlawan Nasional dari Papua.
1. Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo adalah pahlawan asli dari Papua yang lahir di Wardo, Biak Papua pada 10 Oktober 1921. Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua, dan ia mengusulkan nama Irian dalam kata Bahasa Biak yang artinya tempat yang panas.
Tiga hari menjelang Proklamasi tapatnya pada 14 Agustus 1945, Frans dan beberapa teman perjuangannya membunyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura. Setelah beberapa hari sesudah Proklamasi atau pada tanggal 31 Agustus 1945, Frans dan teman-temannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan.
Selain itu, Frans juga pernah menjabat sebagai Gebernur Papua pada tahun 1964-1973. Pada tanggal 10 April 1979 Frans telah meninggal dunia ia di makamkan di Taman Makam Pahlwan Cenderawasih, Jayapura. Untuk mengenang jasanya nama Frans Kaisiepo diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak selain itu namanya juga di abadikan di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo.
Untuk mengenang dan menghargai jasa-jasanya, tepat pada tanggal 19 Desember 2016, Frans Kaisiepo diabadikan dalam uang kertas Rupiah baru pada pecahan Rp10.000,00
2. Johannes Abraham Dimara
Mayor TNI Johannes Abraham Dimara merupakan putra asli Papua yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Dia lahir di Korem, Biak Utara pada 16 April 1916. Pada 1946 Johannes Abraham ikut serta dalam Pengibaran Bendera Merah Putih di Namlem Pulau Buru, Maluku, ia ikut memperjuangkan pengembalian wilayah Irian Barat ke tangan Republik Indonesia. Selanjutnya pada 1950, ia diangkat menjadi Ketua OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat).
Johannes menjadi anggota TNI dan melakukan infiltrasi pada tahun 1954. Dia tertangkap tentara Kerajaan Belanda dan dibuang ke Digul. Dia baru dibebaskan pada 1960.
Ketika Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (menggabungkan wilayah Papua Bagian Barat), dia menjadi contoh sosok orang muda Papua dan bersama Bung Karno ikut menyerukan seluruh masyarakat di wilayah Irian Barat untuk mendukung penyatuan wilayah Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1962, diadakanlah perjanjian New York.
Johannes menjadi salah satu delegasi bersama Menteri Luar Negeri Indonesia. Isi dari perjanjian itu akhirnya mengharuskan pemerintahan Kerajaan Belanda untuk bersedia menyerahkan wilayah Irian Barat ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Mulailah dari saat itu wilayah Irian Barat masuk menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Johannes Abraham Dimara meninggal di Jakarta pada 20 Oktober 2000. Dia mendapat tanda penghargaan dari pemerintah berupa Satyalancana Perang Kemerdekaan Kesatuan dan Satyalancana Bhakti. Atas jasanya Pemerintahan RI menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional berdasarkann Keppres No. 113/TK/2011.
3. Silas Papare
Silas Papare lahir di Serui pada 18 Desember 1918, ia adalah seorang pejuang penyatuan Irian Jaya (Papua) kedalam wilayah Indonesia. Ia sangat gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga dia berurusan dengan apparat keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme Belanda dan pada akhirnya dia dtangkap dan dipenjarakan di Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak.
Pada saat menjalani masa tahanan di Serui, Papua, Silas berkenalan dengan Sam Ratulangi Gebernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat tersebut. Perkenalannya semakin mendekat keyakinan bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Pada Oktober 1949, ia mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta untuk membantu pemerintah Republik Indonesia memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah NKRI. Silas diminta Soekarno untuk menjadi salah satu seorang delegasi Indonesia dalam New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda dalam sengketa Irian Barat. Setelah penyatuan Irian Barat, ia kemudian diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Mengenang jasa-jasanya Silas Papare, namanya diabadikan menjadi salah satu Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI Silas Papare dengan nomor 386. Selain itu didirikan juga Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di Jayapura, nama Silas Papare di abadikan juga sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas Papare yang berada di Jalan Diponegoro, sedangkan di Kota Nabire nama Silas Papare diabadikan sebagai nama jalan.
4. Marthen Indey
Marthen Indey lahir di Doromena, Papua pada 14 Maret 1912. Dia adalah merupakan putra Papua yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan Nasional Indonesia berdasar SK Ppresiden No, 077/TK/1993 tanggal 14 September 1993 bersama dengan dua putra Papua lainnya yaotu Frans Kaisiepo dan Silas Papare.
Marthen merupakan polisi Belanda yang berbalik mendukung Indonesia setelah bertemu dengan beberapa tahanan politik di Digul. Salah satunya adalah Suguro Atmoprasojo. Ketika bertugas untuk menjaga para tahanan politik itulah, secara tidak langsung jiwa nasionalismenya justru tumbuh dan terus bersemai untuk melawan Belanda.
Pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat itu ia menjabat sebagai Ketua, Marthen dan beberapa kepala suku di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan Irian Barat dari Kesatuan Indonesia. Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena merasa dikhianati.
Berkat jasanya, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.
MG10-Soraya Balqis
Papua, rasanya tak cukup kata untuk melukiskannya. Senyata kekayaan dan keindahan alamnya, Bumi Papua nyaris tak pernah lepas dari sengketa. Bagi Indonesia Papua adalah bagian yang tak terpisahkan. Setelah Operasi Pembebasan Irian Barat dilakukan pada 1963, Papua kembali ke pangkuan Indonesia dari kekuasaan Belanda. Pemerintah mencatat keterlibatan orang asli Papua dalam perjuangan fisik dan nonfisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuk mereka. Berikut empat Pahlawan Nasional dari Papua.
1. Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo adalah pahlawan asli dari Papua yang lahir di Wardo, Biak Papua pada 10 Oktober 1921. Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua, dan ia mengusulkan nama Irian dalam kata Bahasa Biak yang artinya tempat yang panas.
Tiga hari menjelang Proklamasi tapatnya pada 14 Agustus 1945, Frans dan beberapa teman perjuangannya membunyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura. Setelah beberapa hari sesudah Proklamasi atau pada tanggal 31 Agustus 1945, Frans dan teman-temannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan.
Selain itu, Frans juga pernah menjabat sebagai Gebernur Papua pada tahun 1964-1973. Pada tanggal 10 April 1979 Frans telah meninggal dunia ia di makamkan di Taman Makam Pahlwan Cenderawasih, Jayapura. Untuk mengenang jasanya nama Frans Kaisiepo diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak selain itu namanya juga di abadikan di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo.
Untuk mengenang dan menghargai jasa-jasanya, tepat pada tanggal 19 Desember 2016, Frans Kaisiepo diabadikan dalam uang kertas Rupiah baru pada pecahan Rp10.000,00
2. Johannes Abraham Dimara
Mayor TNI Johannes Abraham Dimara merupakan putra asli Papua yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Dia lahir di Korem, Biak Utara pada 16 April 1916. Pada 1946 Johannes Abraham ikut serta dalam Pengibaran Bendera Merah Putih di Namlem Pulau Buru, Maluku, ia ikut memperjuangkan pengembalian wilayah Irian Barat ke tangan Republik Indonesia. Selanjutnya pada 1950, ia diangkat menjadi Ketua OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat).
Johannes menjadi anggota TNI dan melakukan infiltrasi pada tahun 1954. Dia tertangkap tentara Kerajaan Belanda dan dibuang ke Digul. Dia baru dibebaskan pada 1960.
Ketika Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (menggabungkan wilayah Papua Bagian Barat), dia menjadi contoh sosok orang muda Papua dan bersama Bung Karno ikut menyerukan seluruh masyarakat di wilayah Irian Barat untuk mendukung penyatuan wilayah Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1962, diadakanlah perjanjian New York.
Johannes menjadi salah satu delegasi bersama Menteri Luar Negeri Indonesia. Isi dari perjanjian itu akhirnya mengharuskan pemerintahan Kerajaan Belanda untuk bersedia menyerahkan wilayah Irian Barat ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Mulailah dari saat itu wilayah Irian Barat masuk menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Johannes Abraham Dimara meninggal di Jakarta pada 20 Oktober 2000. Dia mendapat tanda penghargaan dari pemerintah berupa Satyalancana Perang Kemerdekaan Kesatuan dan Satyalancana Bhakti. Atas jasanya Pemerintahan RI menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional berdasarkann Keppres No. 113/TK/2011.
3. Silas Papare
Silas Papare lahir di Serui pada 18 Desember 1918, ia adalah seorang pejuang penyatuan Irian Jaya (Papua) kedalam wilayah Indonesia. Ia sangat gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga dia berurusan dengan apparat keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme Belanda dan pada akhirnya dia dtangkap dan dipenjarakan di Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak.
Pada saat menjalani masa tahanan di Serui, Papua, Silas berkenalan dengan Sam Ratulangi Gebernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat tersebut. Perkenalannya semakin mendekat keyakinan bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Pada Oktober 1949, ia mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta untuk membantu pemerintah Republik Indonesia memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah NKRI. Silas diminta Soekarno untuk menjadi salah satu seorang delegasi Indonesia dalam New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda dalam sengketa Irian Barat. Setelah penyatuan Irian Barat, ia kemudian diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Mengenang jasa-jasanya Silas Papare, namanya diabadikan menjadi salah satu Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI Silas Papare dengan nomor 386. Selain itu didirikan juga Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di Jayapura, nama Silas Papare di abadikan juga sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas Papare yang berada di Jalan Diponegoro, sedangkan di Kota Nabire nama Silas Papare diabadikan sebagai nama jalan.
4. Marthen Indey
Marthen Indey lahir di Doromena, Papua pada 14 Maret 1912. Dia adalah merupakan putra Papua yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan Nasional Indonesia berdasar SK Ppresiden No, 077/TK/1993 tanggal 14 September 1993 bersama dengan dua putra Papua lainnya yaotu Frans Kaisiepo dan Silas Papare.
Marthen merupakan polisi Belanda yang berbalik mendukung Indonesia setelah bertemu dengan beberapa tahanan politik di Digul. Salah satunya adalah Suguro Atmoprasojo. Ketika bertugas untuk menjaga para tahanan politik itulah, secara tidak langsung jiwa nasionalismenya justru tumbuh dan terus bersemai untuk melawan Belanda.
Pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat itu ia menjabat sebagai Ketua, Marthen dan beberapa kepala suku di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan Irian Barat dari Kesatuan Indonesia. Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena merasa dikhianati.
Berkat jasanya, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.
MG10-Soraya Balqis
(muh)