Sejumlah Pemberontakan dalam Sejarah Indonesia, Nomor 10 Saat Ini Masih Terjadi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah pemberontakan dalam sejarah Indonesia terjadi di mana-mana, seperti pemberontakan PKI tahun 1948, DI/TII tahun 1949 di Jawa Barat, pemberontakan RMS dan APRA pada tahun 1950. Kemudian pemberontakan DI/TII tahun 1958 di Aceh dan Sulawesi Selatan.
Seperti dikutip dari buku Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zen, Dari Fitnah Ke Fitnah, Selasa (23/8/2022), puncak pemberontakan terjadi pada tahun 1959 sampai 1962 oleh PRRI/Permesta dan Gestapu/PKI tahun 1965.
Berikut penjelasan sejumlah pemberontakan dalam sejarah Indonesia , yang dirangkum SINDOnews:
1. Pemberontakan PKI tahun 1948
Selama Amir Syarifudin menjabat Menteri Pertahanan (Menhan) mulai 13 Oktober 1945 hingga Desember 1947, ia telah menyusun TNI dengan menguasai kelaskaran sebanyak seperempat dari tiap divisi, pepolit, dan biro perjuangan untuk mendukung Perjanjian Linggarjati dan Renville.
Dengan adanya rasionalisasi pada Januari 1948, kekuatan kiri menjadi hilang sepertiganya dan Amir Syarifudin menjadi anti perundingan yang telah dirintis olehnya.
Pada saat TNI sibuk menghadapi Belanda, Amir Syarifudin bergabung dengan Musso yang baru diangkat menjadi Ketua PKI dan memproklamirkan Republik Soviet Indonesia pada 18 September 1948 di Madiun dengan dukungan Brigade 29.
Akibatnya, untuk pertama kalinya Divisi I/Siliwangi diserang oleh Brigade 29 di Solo dan Panglima Divisi IV Solo memerintahkan Divisi I/Siliwangi agar keluar dari Solo. Bersamaan dengan kejadian itu, Letkol Marhadi dari Staf Pertahanan Jawa Timur dibunuh pemberontak.
Mayjen Joko Suyono, seorang perwira Pepolit dan TNI bagian masyarakat memimpin komando militer pemberontakan PKI yang berasal dari Pesindo.
Akhirnya pemerintah menyatakan gerakan PKI adalah suatu pemberontakan dan Divisi I/Siliwangi ditugaskan untuk menumpasnya bersama Divisi Sungkono dari Jawa Timur.
2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Dalam buku Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zen, Konflik dan Integrasi TNI AD, Kartosuwiryo adalah proklamator DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pada tahun 1949.
Kartosuwiryo merupakan Menhan yang disusupkan ke Jawa Barat untuk melakukan aksi gerilya ketika Divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta akibat hasil Perjanjian Renville 17 Januari 1948.
Posisi ini dimanfaatkan Kartosuwiryo untuk tetap melawan pemerintah RI hingga tahun 1962 bersama turunnya PRRI/Permesta. Pemberontakan DI/TII berakhir setelah Kartosuwiryo tertangkap dan dihukum mati. Dia ditangkap pada 4 Juni 1962 dan dihukum mati pada 16 Agustus 1962.
3. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Setelah Kartosuwiryo tertangkap dan dihukum mati, tak serta merta memadamkan pengikut dan simpatisannya. Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin Gubernur Militer, Kolonel Daud Beureuh.
Setelah penyerahan kedaulatan RI pada 1950, Sumatera dibagi menjadi 3 Provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sedangkan daerah militer Aceh dimasukkan dalam Provinsi Sumatera Utara, sebagai karesidenan.
Gubernur Militer Daud Beureuh meminta Aceh dijadikan provinsi sendiri tetapi tidak dikabulkan, sehingga Daud Beureuh memproklamirkan daerah Aceh sebagai bagian dari Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo pada 1953.
Pemberontakan ini baru berhasil dipadamkan setelah terbentuknya Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada 1962.
4. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Awalnya pada tahun 1945, Kahar Muzakar berangkat ke Jawa untuk berjuang. Dia kemudian ditugaskan untuk membentuk pasukan yang diselundupkan ke Sulawesi pada 1947 dengan membentuk Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pada Akhir Juni 1951, KGSS diubah menjadi Brigade XVI
Setelah penyerahan kedaulatan Makassar pada Januari 1950, Letkol Kahar Muzakar ditarik ke Mabes TNI-AD. KSAD kemudian menunjuk Letkol AY Mokoginta sebagai koordinator TNI di Indonesia Timur dan bukannya mengangkat Kahar Muzakar.
Hal ini lantas membuat Kahar Muzakar kecewa. Pemerintaj Negara Indonesia Timur bersama bekas KNIL menolak pimpinan Letkol AY Mokoginta dan terjadilah pemberontakan yang dipimpin oleh Kapten Andi Azis, bekas KNIL.
Hal lain yang melatari pemberontakan Kahar Muzakar adalah ditolaknya permintaan KGSS agar diterima secara penuh dalam satu Brigade. Kolonel Kawilarang hanya bersedia menerima bekas prajurit KGSS yang tergabung Brigadi XVI sebagai peroranan dan yang diterima hanya 200 orang.
Kahar Muzakar merasa dilecehkan, ia melakukan pemberontakan dan mendeklarasikan bergabung dengan DI/TII Kartosuwiryo pada 15 september 1952. Dia tertembak oleh prajurit Siliwangi di Luwu pada 3 Februari 1965.
5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Ibnu Hajar yang bernama asli Haderi adalah seorang pejuang yang aktif melawan Belanda dan memimpin satuan gerilya di daerah Kandangan. Kemudian bergabung dalam ALRI Divisi IV dengan pangkat letnan dua.
Karena rasionalisasi yang tidak memuaskan pada 1948, Ibnu Hajar melakukan pembelotan pada awal 1950 dan kemudian bergabung dengan Darul Islam serta melakukan perlawanan hingga Juli 1963.
Ibnu Hajar menyerah dan ditangkap pada September 1963. Dia kemudian dijatuhi hukuman mati pada Maret 1965.
6. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Gerakan RMS ini diproklamasikan pada 25 April 1950 dan Dr Chris Soumokil mengklaim sebagai presidennya. Tujuan utama gerakan RMS adalah mendirikan negara merdeka dengan pemerintahan sendiri yang berdaulat.
Pembangkangan RMS ditumpas oleh tentara RI dan pemimpin pemberontak, Soumokil, ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta, dijatuhi hukum mati dan dieksekusi pada 12 April 1966.
7. Pemberontakan APRA
Ini merupakan salah satu peristiwa yang terjadi pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Gerakan pemberontakan ini dipimpin oleh Raymond Pierre Westerling yang merupakan tokoh militer Belanda.
APRA merupakan kepanjangan dari Angkatan Perang Ratu Adil yang berdasar dari mitologi ramalan Jayabaya, yang berarti seorang pemimpin hendak bertindak adil dan bijaksana bagi rakyatnya.
Latar belakang munculnya gerakan pemberontakan ini bermula di Bandung, pada 23 Januari 1950 karena hendak dibubarkannya negara bagian bentukan Belanda di RIS (Republik Indonesia Serikat) yang kembali bersatu dengan Republik Indonesia.
Pemberontakan APRA ini juga beralasan untuk mempertahankan negara Pasundan demi melindungi aset ekonomi kolonial yang ada di wilayah tersebut.
8. Pemberontakan PRRI/Permesta
Perlawanan PRRI/Permesta pecah di Sumatera dan Sulawesi. Setelah naiknya kembali Jenderal AH Nasution sebagai KSAD, ia kemudian mengangkat Kolonel Gatot Subroto yang sepaham dengannya menggantikan Kolonel Zulkifli Lubis sebagai Wakil KSAD.
Sementara Nasution menginginkan adanya keseimbangan untuk mengatasi pro dan kontra peristiwa 1952. Pergantian ini ternyata kontra produktif karena menimbulkan perlawanan lagi.
Untuk mengatasi konflik ini, diadakan Musyawarah Perwira yang diadakan di Yogyakarta dengan membentuk Dewan Militer. Soekarno tidak mau memberikan konsensi apalagi terhadap tuntutan agar Hatta kembali berperan.
Akibatnya pada Februari 1958, Letkol Ahmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon, dan Kolonel Dahlan Djambek diberhentikan dari tentara karena berpihak pada rencana gerakan melawan pemerintah pusat.
Pada 15 Februari 1958 kemudian diproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Perdana Menteri Syafrudin Prawiranegara. Proklamasi PRRI ini kemudian didukung oleh Resimen di Sumatera Barat, Tapanuli, dan Sulawesi Utara.
Soekarno dengan dukungan kuar PKI bersikap keras terhadap pemberontakan PRRI /Permesta. Jenderal AH Nasution kemudian mengerahkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD/sekarang Kopassus).
Karena kurang kuatnya dukungan internasional, pemberontakan PRRI /Permesta dapat ditumpas. Pemerintah memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang menyerahkan diri sebelum 5 Oktober 1961.
9. Pemberontakan Gestapu/PKI tahun 1965
PKI dengan dibantu oleh para perwira yang telah dibinanya, seperti Brigjen Suparjo, Mayjen Pranoto, Kolonel Latif, Letkol Untung dan lainnya, menciptakan kondisi seolah-olah terdapat Dewan Jenderal yang dipimpin Letjen Ahmad Yani dan stafnya untuk mengkudeta Presiden Sokarno.
Letjen Ahmad Yani mulai mengetahui rencana PKI untuk menguasai Indonesia dengan cara meminta persenjataan buruh dan tani untuk sukarelawan Dwikora. Ahmad Yani juga menunjukkan ketidaksenangannya terhadap PKI juga tak menerima konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).
Presiden Soekarno marah kepada Letjen Ahmad Yani dan para stafnya seperti Mayjen Suprapto, Mayjen Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo yang berupaya menghambat PKI.
Dalam upaya mengatasi "Dewan Jenderal," Letkol Untung selaku Komandan Batalyon Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) melakukan Gerakan 30 September untuk menangkapi para jenderal tersebut bahkan membunuhnya. Sedangkan Jenderal AH Nasution lolos dari penangkapan dan pembunuhan.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Letkol Untung pada 30 September 1965 dengan alasan menyelamatkan Presiden Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal. Tetapi dalam pelaksanannya, ia mengangkat diri sebagai Ketua Dewan Revolusi tanpa menyebutkan peran apa untuk Soekarno. Dengan demikian PKI melakukan kudeta secara terselubung untuk menyingkirkan Soekarno.
10. Pemberontakan Papua Merdeka tahun 1969
Pemberontakan Papua Merdeka tahun 1969 sampai dengan saat ini, karena ketidakpuasan atas hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang menyatakan bahwa Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia, padahal mereka merasa telah merdeka sejak 1 Desember 1961.
Seperti dikutip dari buku Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zen, Dari Fitnah Ke Fitnah, Selasa (23/8/2022), puncak pemberontakan terjadi pada tahun 1959 sampai 1962 oleh PRRI/Permesta dan Gestapu/PKI tahun 1965.
Berikut penjelasan sejumlah pemberontakan dalam sejarah Indonesia , yang dirangkum SINDOnews:
1. Pemberontakan PKI tahun 1948
Selama Amir Syarifudin menjabat Menteri Pertahanan (Menhan) mulai 13 Oktober 1945 hingga Desember 1947, ia telah menyusun TNI dengan menguasai kelaskaran sebanyak seperempat dari tiap divisi, pepolit, dan biro perjuangan untuk mendukung Perjanjian Linggarjati dan Renville.
Dengan adanya rasionalisasi pada Januari 1948, kekuatan kiri menjadi hilang sepertiganya dan Amir Syarifudin menjadi anti perundingan yang telah dirintis olehnya.
Pada saat TNI sibuk menghadapi Belanda, Amir Syarifudin bergabung dengan Musso yang baru diangkat menjadi Ketua PKI dan memproklamirkan Republik Soviet Indonesia pada 18 September 1948 di Madiun dengan dukungan Brigade 29.
Akibatnya, untuk pertama kalinya Divisi I/Siliwangi diserang oleh Brigade 29 di Solo dan Panglima Divisi IV Solo memerintahkan Divisi I/Siliwangi agar keluar dari Solo. Bersamaan dengan kejadian itu, Letkol Marhadi dari Staf Pertahanan Jawa Timur dibunuh pemberontak.
Mayjen Joko Suyono, seorang perwira Pepolit dan TNI bagian masyarakat memimpin komando militer pemberontakan PKI yang berasal dari Pesindo.
Akhirnya pemerintah menyatakan gerakan PKI adalah suatu pemberontakan dan Divisi I/Siliwangi ditugaskan untuk menumpasnya bersama Divisi Sungkono dari Jawa Timur.
2. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
Dalam buku Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zen, Konflik dan Integrasi TNI AD, Kartosuwiryo adalah proklamator DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pada tahun 1949.
Kartosuwiryo merupakan Menhan yang disusupkan ke Jawa Barat untuk melakukan aksi gerilya ketika Divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta akibat hasil Perjanjian Renville 17 Januari 1948.
Posisi ini dimanfaatkan Kartosuwiryo untuk tetap melawan pemerintah RI hingga tahun 1962 bersama turunnya PRRI/Permesta. Pemberontakan DI/TII berakhir setelah Kartosuwiryo tertangkap dan dihukum mati. Dia ditangkap pada 4 Juni 1962 dan dihukum mati pada 16 Agustus 1962.
3. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Setelah Kartosuwiryo tertangkap dan dihukum mati, tak serta merta memadamkan pengikut dan simpatisannya. Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin Gubernur Militer, Kolonel Daud Beureuh.
Setelah penyerahan kedaulatan RI pada 1950, Sumatera dibagi menjadi 3 Provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sedangkan daerah militer Aceh dimasukkan dalam Provinsi Sumatera Utara, sebagai karesidenan.
Gubernur Militer Daud Beureuh meminta Aceh dijadikan provinsi sendiri tetapi tidak dikabulkan, sehingga Daud Beureuh memproklamirkan daerah Aceh sebagai bagian dari Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo pada 1953.
Pemberontakan ini baru berhasil dipadamkan setelah terbentuknya Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada 1962.
4. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Awalnya pada tahun 1945, Kahar Muzakar berangkat ke Jawa untuk berjuang. Dia kemudian ditugaskan untuk membentuk pasukan yang diselundupkan ke Sulawesi pada 1947 dengan membentuk Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Pada Akhir Juni 1951, KGSS diubah menjadi Brigade XVI
Setelah penyerahan kedaulatan Makassar pada Januari 1950, Letkol Kahar Muzakar ditarik ke Mabes TNI-AD. KSAD kemudian menunjuk Letkol AY Mokoginta sebagai koordinator TNI di Indonesia Timur dan bukannya mengangkat Kahar Muzakar.
Hal ini lantas membuat Kahar Muzakar kecewa. Pemerintaj Negara Indonesia Timur bersama bekas KNIL menolak pimpinan Letkol AY Mokoginta dan terjadilah pemberontakan yang dipimpin oleh Kapten Andi Azis, bekas KNIL.
Hal lain yang melatari pemberontakan Kahar Muzakar adalah ditolaknya permintaan KGSS agar diterima secara penuh dalam satu Brigade. Kolonel Kawilarang hanya bersedia menerima bekas prajurit KGSS yang tergabung Brigadi XVI sebagai peroranan dan yang diterima hanya 200 orang.
Kahar Muzakar merasa dilecehkan, ia melakukan pemberontakan dan mendeklarasikan bergabung dengan DI/TII Kartosuwiryo pada 15 september 1952. Dia tertembak oleh prajurit Siliwangi di Luwu pada 3 Februari 1965.
5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Ibnu Hajar yang bernama asli Haderi adalah seorang pejuang yang aktif melawan Belanda dan memimpin satuan gerilya di daerah Kandangan. Kemudian bergabung dalam ALRI Divisi IV dengan pangkat letnan dua.
Karena rasionalisasi yang tidak memuaskan pada 1948, Ibnu Hajar melakukan pembelotan pada awal 1950 dan kemudian bergabung dengan Darul Islam serta melakukan perlawanan hingga Juli 1963.
Ibnu Hajar menyerah dan ditangkap pada September 1963. Dia kemudian dijatuhi hukuman mati pada Maret 1965.
6. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Gerakan RMS ini diproklamasikan pada 25 April 1950 dan Dr Chris Soumokil mengklaim sebagai presidennya. Tujuan utama gerakan RMS adalah mendirikan negara merdeka dengan pemerintahan sendiri yang berdaulat.
Pembangkangan RMS ditumpas oleh tentara RI dan pemimpin pemberontak, Soumokil, ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta, dijatuhi hukum mati dan dieksekusi pada 12 April 1966.
7. Pemberontakan APRA
Ini merupakan salah satu peristiwa yang terjadi pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Gerakan pemberontakan ini dipimpin oleh Raymond Pierre Westerling yang merupakan tokoh militer Belanda.
APRA merupakan kepanjangan dari Angkatan Perang Ratu Adil yang berdasar dari mitologi ramalan Jayabaya, yang berarti seorang pemimpin hendak bertindak adil dan bijaksana bagi rakyatnya.
Latar belakang munculnya gerakan pemberontakan ini bermula di Bandung, pada 23 Januari 1950 karena hendak dibubarkannya negara bagian bentukan Belanda di RIS (Republik Indonesia Serikat) yang kembali bersatu dengan Republik Indonesia.
Pemberontakan APRA ini juga beralasan untuk mempertahankan negara Pasundan demi melindungi aset ekonomi kolonial yang ada di wilayah tersebut.
8. Pemberontakan PRRI/Permesta
Perlawanan PRRI/Permesta pecah di Sumatera dan Sulawesi. Setelah naiknya kembali Jenderal AH Nasution sebagai KSAD, ia kemudian mengangkat Kolonel Gatot Subroto yang sepaham dengannya menggantikan Kolonel Zulkifli Lubis sebagai Wakil KSAD.
Sementara Nasution menginginkan adanya keseimbangan untuk mengatasi pro dan kontra peristiwa 1952. Pergantian ini ternyata kontra produktif karena menimbulkan perlawanan lagi.
Untuk mengatasi konflik ini, diadakan Musyawarah Perwira yang diadakan di Yogyakarta dengan membentuk Dewan Militer. Soekarno tidak mau memberikan konsensi apalagi terhadap tuntutan agar Hatta kembali berperan.
Akibatnya pada Februari 1958, Letkol Ahmad Husein, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Simbolon, dan Kolonel Dahlan Djambek diberhentikan dari tentara karena berpihak pada rencana gerakan melawan pemerintah pusat.
Pada 15 Februari 1958 kemudian diproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Perdana Menteri Syafrudin Prawiranegara. Proklamasi PRRI ini kemudian didukung oleh Resimen di Sumatera Barat, Tapanuli, dan Sulawesi Utara.
Soekarno dengan dukungan kuar PKI bersikap keras terhadap pemberontakan PRRI /Permesta. Jenderal AH Nasution kemudian mengerahkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD/sekarang Kopassus).
Karena kurang kuatnya dukungan internasional, pemberontakan PRRI /Permesta dapat ditumpas. Pemerintah memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang menyerahkan diri sebelum 5 Oktober 1961.
9. Pemberontakan Gestapu/PKI tahun 1965
PKI dengan dibantu oleh para perwira yang telah dibinanya, seperti Brigjen Suparjo, Mayjen Pranoto, Kolonel Latif, Letkol Untung dan lainnya, menciptakan kondisi seolah-olah terdapat Dewan Jenderal yang dipimpin Letjen Ahmad Yani dan stafnya untuk mengkudeta Presiden Sokarno.
Letjen Ahmad Yani mulai mengetahui rencana PKI untuk menguasai Indonesia dengan cara meminta persenjataan buruh dan tani untuk sukarelawan Dwikora. Ahmad Yani juga menunjukkan ketidaksenangannya terhadap PKI juga tak menerima konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).
Presiden Soekarno marah kepada Letjen Ahmad Yani dan para stafnya seperti Mayjen Suprapto, Mayjen Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo yang berupaya menghambat PKI.
Dalam upaya mengatasi "Dewan Jenderal," Letkol Untung selaku Komandan Batalyon Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) melakukan Gerakan 30 September untuk menangkapi para jenderal tersebut bahkan membunuhnya. Sedangkan Jenderal AH Nasution lolos dari penangkapan dan pembunuhan.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Letkol Untung pada 30 September 1965 dengan alasan menyelamatkan Presiden Soekarno dari kudeta Dewan Jenderal. Tetapi dalam pelaksanannya, ia mengangkat diri sebagai Ketua Dewan Revolusi tanpa menyebutkan peran apa untuk Soekarno. Dengan demikian PKI melakukan kudeta secara terselubung untuk menyingkirkan Soekarno.
10. Pemberontakan Papua Merdeka tahun 1969
Pemberontakan Papua Merdeka tahun 1969 sampai dengan saat ini, karena ketidakpuasan atas hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang menyatakan bahwa Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia, padahal mereka merasa telah merdeka sejak 1 Desember 1961.
(maf)