Menjauhi Jurang Resesi Ekonomi
loading...
A
A
A
Bawono Kumoro
Associate Researcher di Indikator Politik Indonesia
BELUM lama ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2022 yang mencapai 5,44%. Angka ini jauh dari ekspektasi pemerintah pada kisaran 5,1 - 5,2%. Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia ini juga jauh dari kecemasan sejumlah lembaga keuangan internasional, terhadap ancaman resesi ekonomi global di tengah lonjakan inflasi global.
Bagaimana ekonomi Indonesia dapat mencatat pertumbuhan ekonomi impresif di atas ekspektasi tersebut? Apa resep pemerintah sehingga ekonomi Indonesia menjauhi jurang resesi?
BPS mencatat beberapa faktor penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pelonggaran aktivitas seiring penurunan kasus positif harian Covid-19 turut berkontribusi dalam mendongkrak tingkat konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional yakni 51,47%. Pertumbuhan tingkat konsumsi ini juga didukung oleh momen hari besar keagamaan Idul Fitri pada Mei lalu.
Faktor lain juga dicatat oleh BPS sebagai penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia yakni kinerja ekspor terus melesat mencapai 19,74%. Kinerja ekspor ini moncer karena lonjakan harga sejumlah komoditas unggulan, seperti batu bara, nikel, dan sawit.
Gangguan rantai pasok dunia berdampak pada kenaikan harga komoditas-komoditas unggulan Indonesia tersebut sehingga memberikan keuntungan tersendiri terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Langkah pemerintah menambah subsidi energi dan memberikan bantuan sosial juga menjadi faktor lain yang memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2022. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 menambah anggaran subsidi energi Rp 208,9 triliun.
Pemerintah juga memberikan kompensasi kepada Pertamina dan PLN sebesar Rp293,5 triliun karena telah menahan harga dalam dua tahun terakhir. Total anggaran subsidi energi mencapai Rp502 triliun.
Subsidi energi membuat inflasi Indonesia lebih terkendali dibandingkan negara-negara lain. Tingkat inflasi pada Juli tercatat sebesar 4,94%, jauh di bawah Amerika Serikat 9,1 persen, Inggris 8,2% Korea Selatan 6,1%, dan Uni Eropa 9,6%.
Capaian impresif pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2022 ini juga menepis pesimisme dan sinisme sejumlah pihak di dalam negeri terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Bahkan, pada titik tertentu mereka kondisi ekonomi Indonesia saat ini dengan krisis ekonomi tengah terjadi di Sri Lanka. Krisis hebat Sri Lanka tersebut memunculkan analisis sejumlah bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini, di mana juga memiliki jumlah utang luar negeri tinggi, sehingga akan mengalami krisis seperti di Sri Lanka.
Merujuk data Kementerian Keuangan hingga 31 Mei 2022 posisi utang mencapai Rp7.002,24 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 38,88%. Realisasi utang itu naik 9,1% dibandingkan realisasi posisi utang utang pada Mei 2021 sebesar Rp6.418,5 triliun. Inilah pangkal kemunculan dari analisis perbandingan kondisi Indonesia saat ini dengan krisis tengah dialami oleh Sri Lanka.
Sebagai sebuah analisa tentu saja itu sah untuk dilontarkan oleh siapa pun. Namun, apakah krisis Sri Lanka akan juga dialami oleh Indonesia karena semata-mata didasarkan pada kondisi nilai utang luar negeri Indonesia?
Harus dilihat bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi sebuah negara untuk menilai apakah negera tersebut akan gagal dalam utang luar negeri atau tidak. Selama negara tersebut masih memiliki pertumbuhan ekonomi positif dan utang luar negeri terus diusahakan turun, besar kemungkinan negara itu akan mampu bertahan lolos dari jeratan utang dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.
Kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesiaa saat ini sebagaimana capaian pada kuartal II 2022 tersebut menegaskan tren tumbuh di atas 5% secara beruntun selama tiga kuartal terakhir. Sebelum ini pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2022 sebesar 5,1%. Tren positif ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali pada jalur semula seperti sebelum dihantam pandemi Covid-19.
Lalu bagaimana utang luar negeri Indonesia? Merujuk data Kementerian Keuangan hingga 31 Mei 2022 utang Indonesia mencapai Rp7.002,24 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 38,88%. Realisasi utang itu naik 9,1% persen dibandingkan realisasi posisi utang pada Mei 2021 sebesar Rp 6.418,5 triliun. Adapun bila dibandingkan dengan posisi utang pada April 2022 turun 0,54% di mana saat itu mencapai Rp7.040,32 triliun.
Selain itu, harus dipahami juga posisi rasio utang terhadap produk domestik bruto 38,88% berada dalam kategori aman. Kondisi itu sangat jauh apabila dibandingkan dengan Sri Lanka dimana rasio utang terhadap produk domestik bruto lebih dari 100%.
Apabila dibedah lebih jauh sebagian besar utang Indonesia berupa surat berharga negara berdenominasi rupiah. Merujuk data Kementerian Keuangan, komposisi utang hingga 31 Mei 2022 berasal dari penarikan Surat Berharga Negara sebesar Rp 6.175,83 triliun atau mencapai 88,20%. Dalam bentuk rupiah domestik sebesar Rp4.934,56 triliun di mana berasal dari penerbitan Surat Utang Negara sebesar Rp4.055,03 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp879,53 triliun.
Kemudian komposisi utang Indonesia berasal dari pinjaman senilai Rp 826,41 triliun atau mencapai 11,8%. Ini terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp14,74 triliun dan utang berasal pinjaman luar negeri sebesar Rp 811,67 triliun. Adapun utang luar negeri terdiri dari pinjaman bilateral Rp280,32 triliun, pinjaman multilateral Rp488,62 triliun, commercial banks Rp42,72 triliun.
Jadi, komposisi pinjaman luar negeri didominasi oleh pinjaman multilateral. Lagi-lagi kondisi ini sangat jauh berbeda dengan Sri Lanka di mana hampir semua utang negara tersebut berasal dalam skema bilateral.
Memang persoalan utang sangat seksi untuk dijadikan isu komoditas politik. Hal itu lantaran sebagian besar dari kita sekadar peduli pada besar jumlah utang, tidak meneliti lebih jauh komposisi utang tersebut terdiri dari apa saja, untuk apa utang itu, dan apakah aman atau tidak secara rasio terhadap produk domestik bruto (PDB).
Merujuk temuan hasil survei Indikator Politik Indonesia periode 9 - 11 Juli 2022, sebagian besar responden (39,2%) menilai kondisi ekonomi nasional saat ini lebih baik atau jauh lebih baik dibandingkan kondisi ekonomi tahun lalu. Adapun responden menilai kondisi ekonomi nasional saat ini lebih buruk atau jauh lebih buruk dibandingkan kondisi ekonomi tahun lalu 26,9%. Sedangkan 31,4% responden mengatakan tidak ada perubahan dan 2,5% responden lain tidak tahu / tidak jawab.
Dengan melihat pencapaian impresif pertumbuhan ekomoni pada kuartal II 2022 serta rasio utang terhadap produk domestik bruto, tidak berlebihan untuk mengatakan Indonesia kian menjauh dari jurang resesi ekonomi. Tidak ada alasan bagi bangsa ini untuk tidak optimis menatap ke depan. Optimisme bersama harus senantiasa dijaga dengan tetap mengedepankan kewaspadaan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Associate Researcher di Indikator Politik Indonesia
BELUM lama ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2022 yang mencapai 5,44%. Angka ini jauh dari ekspektasi pemerintah pada kisaran 5,1 - 5,2%. Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia ini juga jauh dari kecemasan sejumlah lembaga keuangan internasional, terhadap ancaman resesi ekonomi global di tengah lonjakan inflasi global.
Bagaimana ekonomi Indonesia dapat mencatat pertumbuhan ekonomi impresif di atas ekspektasi tersebut? Apa resep pemerintah sehingga ekonomi Indonesia menjauhi jurang resesi?
BPS mencatat beberapa faktor penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pelonggaran aktivitas seiring penurunan kasus positif harian Covid-19 turut berkontribusi dalam mendongkrak tingkat konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional yakni 51,47%. Pertumbuhan tingkat konsumsi ini juga didukung oleh momen hari besar keagamaan Idul Fitri pada Mei lalu.
Faktor lain juga dicatat oleh BPS sebagai penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia yakni kinerja ekspor terus melesat mencapai 19,74%. Kinerja ekspor ini moncer karena lonjakan harga sejumlah komoditas unggulan, seperti batu bara, nikel, dan sawit.
Gangguan rantai pasok dunia berdampak pada kenaikan harga komoditas-komoditas unggulan Indonesia tersebut sehingga memberikan keuntungan tersendiri terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Langkah pemerintah menambah subsidi energi dan memberikan bantuan sosial juga menjadi faktor lain yang memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2022. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 menambah anggaran subsidi energi Rp 208,9 triliun.
Pemerintah juga memberikan kompensasi kepada Pertamina dan PLN sebesar Rp293,5 triliun karena telah menahan harga dalam dua tahun terakhir. Total anggaran subsidi energi mencapai Rp502 triliun.
Subsidi energi membuat inflasi Indonesia lebih terkendali dibandingkan negara-negara lain. Tingkat inflasi pada Juli tercatat sebesar 4,94%, jauh di bawah Amerika Serikat 9,1 persen, Inggris 8,2% Korea Selatan 6,1%, dan Uni Eropa 9,6%.
Capaian impresif pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2022 ini juga menepis pesimisme dan sinisme sejumlah pihak di dalam negeri terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Bahkan, pada titik tertentu mereka kondisi ekonomi Indonesia saat ini dengan krisis ekonomi tengah terjadi di Sri Lanka. Krisis hebat Sri Lanka tersebut memunculkan analisis sejumlah bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini, di mana juga memiliki jumlah utang luar negeri tinggi, sehingga akan mengalami krisis seperti di Sri Lanka.
Merujuk data Kementerian Keuangan hingga 31 Mei 2022 posisi utang mencapai Rp7.002,24 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 38,88%. Realisasi utang itu naik 9,1% dibandingkan realisasi posisi utang utang pada Mei 2021 sebesar Rp6.418,5 triliun. Inilah pangkal kemunculan dari analisis perbandingan kondisi Indonesia saat ini dengan krisis tengah dialami oleh Sri Lanka.
Sebagai sebuah analisa tentu saja itu sah untuk dilontarkan oleh siapa pun. Namun, apakah krisis Sri Lanka akan juga dialami oleh Indonesia karena semata-mata didasarkan pada kondisi nilai utang luar negeri Indonesia?
Harus dilihat bagaimana kondisi pertumbuhan ekonomi sebuah negara untuk menilai apakah negera tersebut akan gagal dalam utang luar negeri atau tidak. Selama negara tersebut masih memiliki pertumbuhan ekonomi positif dan utang luar negeri terus diusahakan turun, besar kemungkinan negara itu akan mampu bertahan lolos dari jeratan utang dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.
Kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesiaa saat ini sebagaimana capaian pada kuartal II 2022 tersebut menegaskan tren tumbuh di atas 5% secara beruntun selama tiga kuartal terakhir. Sebelum ini pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2022 sebesar 5,1%. Tren positif ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali pada jalur semula seperti sebelum dihantam pandemi Covid-19.
Lalu bagaimana utang luar negeri Indonesia? Merujuk data Kementerian Keuangan hingga 31 Mei 2022 utang Indonesia mencapai Rp7.002,24 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 38,88%. Realisasi utang itu naik 9,1% persen dibandingkan realisasi posisi utang pada Mei 2021 sebesar Rp 6.418,5 triliun. Adapun bila dibandingkan dengan posisi utang pada April 2022 turun 0,54% di mana saat itu mencapai Rp7.040,32 triliun.
Selain itu, harus dipahami juga posisi rasio utang terhadap produk domestik bruto 38,88% berada dalam kategori aman. Kondisi itu sangat jauh apabila dibandingkan dengan Sri Lanka dimana rasio utang terhadap produk domestik bruto lebih dari 100%.
Apabila dibedah lebih jauh sebagian besar utang Indonesia berupa surat berharga negara berdenominasi rupiah. Merujuk data Kementerian Keuangan, komposisi utang hingga 31 Mei 2022 berasal dari penarikan Surat Berharga Negara sebesar Rp 6.175,83 triliun atau mencapai 88,20%. Dalam bentuk rupiah domestik sebesar Rp4.934,56 triliun di mana berasal dari penerbitan Surat Utang Negara sebesar Rp4.055,03 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp879,53 triliun.
Kemudian komposisi utang Indonesia berasal dari pinjaman senilai Rp 826,41 triliun atau mencapai 11,8%. Ini terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp14,74 triliun dan utang berasal pinjaman luar negeri sebesar Rp 811,67 triliun. Adapun utang luar negeri terdiri dari pinjaman bilateral Rp280,32 triliun, pinjaman multilateral Rp488,62 triliun, commercial banks Rp42,72 triliun.
Jadi, komposisi pinjaman luar negeri didominasi oleh pinjaman multilateral. Lagi-lagi kondisi ini sangat jauh berbeda dengan Sri Lanka di mana hampir semua utang negara tersebut berasal dalam skema bilateral.
Memang persoalan utang sangat seksi untuk dijadikan isu komoditas politik. Hal itu lantaran sebagian besar dari kita sekadar peduli pada besar jumlah utang, tidak meneliti lebih jauh komposisi utang tersebut terdiri dari apa saja, untuk apa utang itu, dan apakah aman atau tidak secara rasio terhadap produk domestik bruto (PDB).
Merujuk temuan hasil survei Indikator Politik Indonesia periode 9 - 11 Juli 2022, sebagian besar responden (39,2%) menilai kondisi ekonomi nasional saat ini lebih baik atau jauh lebih baik dibandingkan kondisi ekonomi tahun lalu. Adapun responden menilai kondisi ekonomi nasional saat ini lebih buruk atau jauh lebih buruk dibandingkan kondisi ekonomi tahun lalu 26,9%. Sedangkan 31,4% responden mengatakan tidak ada perubahan dan 2,5% responden lain tidak tahu / tidak jawab.
Dengan melihat pencapaian impresif pertumbuhan ekomoni pada kuartal II 2022 serta rasio utang terhadap produk domestik bruto, tidak berlebihan untuk mengatakan Indonesia kian menjauh dari jurang resesi ekonomi. Tidak ada alasan bagi bangsa ini untuk tidak optimis menatap ke depan. Optimisme bersama harus senantiasa dijaga dengan tetap mengedepankan kewaspadaan.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)