IDI Dukung BPOM Terapkan Label Bebas BPA di Galon Air Minum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia ( PB IDI ) mendukung Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM ) untuk memberlakukan regulasi pelabelan BPA pada kemasan plastik, khususnya galon isi ulang polikarbonat, demi keamanan dan perlindungan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini ada lebih dari 130 studi yang melaporkan efek berbahaya dari BPA.
Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI Agustuna Puspitasari mengatakan, sejumlah negara sudah menerapkan pengaturan spesifik BPA pada kemasan pangan. Contohnya, Prancis yang sudah melarang penggunaan BPA pada seluruh kemasan kontak pangan. California, negara bagian Amerika Serikat juga mewajibkan produsen untuk mencantumkan label 'kemasan ini mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan dan sistem reproduksi'.
"Sejumlah negara lain seperti, Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia, juga sudah melarang penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman untuk konsumen usia rentan 0-3 tahun," kata Agustina Puspitasari dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (16/8/2022).
Baca juga: Zat BPA di Kemasan Plastik Berbahaya Bagi Kesehatan, Begini Penjelasan Pakar
Penelitian menunjukkan, BPA bisa menimbulkan gangguan hormon kesuburan pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan jantung, penyakit ginjal, kanker hingga gangguan perkembangan anak. Dengan segala risiko kesehatan tersebut, wajar bila masyarakat berhak mendapat perlindungan melalui label kemasan berisi informasi yang benar.
Dukungan kepada BPOM juga datang dari kalangan akademisi dan peneliti seperti epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono. Menurutnya, regulasi BPOM untuk pelabelan pada galon BPA adalah langkah konsisten untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Menurut Pandu, kekhawatiran terkait bahaya BPA adalah sifatnya global dan bisa diukur dari regulasi ketat di banyak negara, di mana kemasan pangan tidak diperbolehkan lagi menggunakan wadah yang mengandung BPA. "Di beberapa negara bahkan ada kewajiban pelabelan 'Free BPA' (Bebas BPA), tujuannya untuk edukasi masyarakat," katanya mendukung hadirnya regulasi serupa di Indonesia.
"Tujuan pelabelan BPA semata melindungi masyarakat. Jadi industri tak perlu berlebihan dalam bersikap," katanya.
Lagi pula, menurut Pandu, produsen-produsen dunia, semisal Danone di Prancis sudah mengganti wadah produknya ke jenis plastik yang bebas BPA. "Yang jadi pertanyaan, kenapa unit Danone di negara berkembang tidak mengadopsi hal serupa? Seharusnya sama-sama fair dong. Lagi pula ini kan hanya pelabelan. Masak label saja keberatan," katanya.
Senada dengan Pandu Riono, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Sofyan S Panjaitan, mengatakan, semua pihak perlu mendukung dan mendorong lahirnya regulasi pelabelan BPA. "Memang sudah hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via label & iklan pangan," katanya.
Sofyan berharap regulasi BPA nantinya bisa dikembangkan secara menyeluruh terhadap semua kemasan pangan berbahan plastik.Sejauh ini, Indonesia dan Vietnam adalah contoh dari sedikit negara berkembang yang belum meregulasi kemasan galon BPA.
Mencontoh hasil positif dari negara lain, Indonesia sebetulnya bisa meninggalkan plastik BPA dan memilih plastik yang lebih aman untuk kemasan makanan dan minuman. Jepang adalah contoh yang paling tepat.
"Jepang sudah meninggalkan plastik BPA dan beralih 100% ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan di negeri itu," kata Pengajar dan peneliti pada Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Prof. Mochamad Chalid.
Pada minggu pertama Agustus, Prof Chalid baru mengikuti workshop di Tokyo, Jepang tentang penggunaan plastik berbahan Polyethylene Terephthalate atau disingkat PET, plastik yang dikenal relatif aman dan digunakan untuk kemasan makanan dan botol minuman di seluruh dunia.
Prof Chalid mengatakan, sejauh riset yang ada sudah bisa dikonfirmasi bahwa tidak ditemukan pelepasan senyawa antimon berbahaya dalam kemasan plastik PET. "Di sisi lain, juga belum ditemukan adanya indikasi munculnya endokrin disruptor (senyawa yang bisa mengganggu sistem hormon tubuh, seperti yang terkandung dalam plastik BPA) dalam penggunaan plastik PET," katanya.
Untuk diketahui, BPOM akan menerapkan aturan pelabelan bebas BPA di galon air minum. Sebagai tahap awal, BPOM akan mewajibkan produsen air minum dalam kemasan yang menggunakan galon BPA untuk mencantumkan tulisan: "Berpotensi Mengandung BPA".
Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular PB IDI Agustuna Puspitasari mengatakan, sejumlah negara sudah menerapkan pengaturan spesifik BPA pada kemasan pangan. Contohnya, Prancis yang sudah melarang penggunaan BPA pada seluruh kemasan kontak pangan. California, negara bagian Amerika Serikat juga mewajibkan produsen untuk mencantumkan label 'kemasan ini mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan dan sistem reproduksi'.
"Sejumlah negara lain seperti, Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia, juga sudah melarang penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman untuk konsumen usia rentan 0-3 tahun," kata Agustina Puspitasari dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (16/8/2022).
Baca juga: Zat BPA di Kemasan Plastik Berbahaya Bagi Kesehatan, Begini Penjelasan Pakar
Penelitian menunjukkan, BPA bisa menimbulkan gangguan hormon kesuburan pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan jantung, penyakit ginjal, kanker hingga gangguan perkembangan anak. Dengan segala risiko kesehatan tersebut, wajar bila masyarakat berhak mendapat perlindungan melalui label kemasan berisi informasi yang benar.
Dukungan kepada BPOM juga datang dari kalangan akademisi dan peneliti seperti epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono. Menurutnya, regulasi BPOM untuk pelabelan pada galon BPA adalah langkah konsisten untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Menurut Pandu, kekhawatiran terkait bahaya BPA adalah sifatnya global dan bisa diukur dari regulasi ketat di banyak negara, di mana kemasan pangan tidak diperbolehkan lagi menggunakan wadah yang mengandung BPA. "Di beberapa negara bahkan ada kewajiban pelabelan 'Free BPA' (Bebas BPA), tujuannya untuk edukasi masyarakat," katanya mendukung hadirnya regulasi serupa di Indonesia.
"Tujuan pelabelan BPA semata melindungi masyarakat. Jadi industri tak perlu berlebihan dalam bersikap," katanya.
Lagi pula, menurut Pandu, produsen-produsen dunia, semisal Danone di Prancis sudah mengganti wadah produknya ke jenis plastik yang bebas BPA. "Yang jadi pertanyaan, kenapa unit Danone di negara berkembang tidak mengadopsi hal serupa? Seharusnya sama-sama fair dong. Lagi pula ini kan hanya pelabelan. Masak label saja keberatan," katanya.
Senada dengan Pandu Riono, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Sofyan S Panjaitan, mengatakan, semua pihak perlu mendukung dan mendorong lahirnya regulasi pelabelan BPA. "Memang sudah hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via label & iklan pangan," katanya.
Sofyan berharap regulasi BPA nantinya bisa dikembangkan secara menyeluruh terhadap semua kemasan pangan berbahan plastik.Sejauh ini, Indonesia dan Vietnam adalah contoh dari sedikit negara berkembang yang belum meregulasi kemasan galon BPA.
Mencontoh hasil positif dari negara lain, Indonesia sebetulnya bisa meninggalkan plastik BPA dan memilih plastik yang lebih aman untuk kemasan makanan dan minuman. Jepang adalah contoh yang paling tepat.
"Jepang sudah meninggalkan plastik BPA dan beralih 100% ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan di negeri itu," kata Pengajar dan peneliti pada Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Prof. Mochamad Chalid.
Pada minggu pertama Agustus, Prof Chalid baru mengikuti workshop di Tokyo, Jepang tentang penggunaan plastik berbahan Polyethylene Terephthalate atau disingkat PET, plastik yang dikenal relatif aman dan digunakan untuk kemasan makanan dan botol minuman di seluruh dunia.
Prof Chalid mengatakan, sejauh riset yang ada sudah bisa dikonfirmasi bahwa tidak ditemukan pelepasan senyawa antimon berbahaya dalam kemasan plastik PET. "Di sisi lain, juga belum ditemukan adanya indikasi munculnya endokrin disruptor (senyawa yang bisa mengganggu sistem hormon tubuh, seperti yang terkandung dalam plastik BPA) dalam penggunaan plastik PET," katanya.
Untuk diketahui, BPOM akan menerapkan aturan pelabelan bebas BPA di galon air minum. Sebagai tahap awal, BPOM akan mewajibkan produsen air minum dalam kemasan yang menggunakan galon BPA untuk mencantumkan tulisan: "Berpotensi Mengandung BPA".
(abd)