Sejarah Pemberontakan GAM dan Dugaan Keterlibatan Libya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gerakan Aceh Merdeka atau GAM merupakan salah satu gerakan separatis yang pernah melakukan pemberontakan di Indonesia. Tujuannya bukan lain adalah melepaskan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Melihat dari riwayatnya, Aceh memiliki sejarah panjang dalam berbagai konflik yang melibatkannya. Sebelum adanya GAM, pernah muncul gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh pada 1953.
Baca juga : Nyamar Jadi Sopir Pribadi, Jenderal Kopassus Ini Bekuk para Petinggi GAM
Penyebab munculnya gerakan tersebut disinyalir karena kekecewaan masyarakat Aceh atas peleburan Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara. Dalam penyelesaiannya, gerakan tersebut bisa diredam setelah pemberian status istimewa kepada Aceh pada 1959.
Dikutip dari Lib UI, setelah sempat mengalami masa damai, Aceh kembali bergejolak. Konflik muncul setelah Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976.
Usut punya usut, penyebab konflik ini adalah ketidakpuasan masyarakat Aceh atas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang didominasi orang Jawa. Selain itu, muncul juga kekecewaan atas eksploitasi sumber daya alam di Aceh yang tidak memberikan kesejahteraan pada penduduk sekitarnya.
Pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, Aceh diketahui hanya menerima 1 persen dari anggaran pendapatan nasional dengan kontribusi 14 persen dari GDP nasional. Padahal, sebagian besar kekayaan alam Aceh banyak diambil pemangku kebijakan.
Sebagai tindakan tegas, Soeharto menyematkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989. Alasannya karena pemerintah mengetahui adanya pasukan GAM yang melakukan latihan militer di Libya dan sudah bersiap untuk perang gerilya.
Dalam sejarahnya, pelaksanaan DOM ini menjadi salah satu operasi kontra pemberontakan terbesar sejak tahun 1960. Operasi Militer ini diketahui melibatkan puluhan batalion pasukan elit yang dimiliki Indonesia.
Sebelumnya, ada dugaan yang mengarah keterlibatan Libya dalam gerakan separatis tersebut. Presiden Libya kala itu Moammar Khadafi diduga membuka pelatihan militer khusus.
Pemimpin GAM yang tertarik akhirnya menghubungi Libya. Setelah mendapat persetujuan, barulah Hasan Tiro melakukan rekrutmen terhadap pemuda Aceh untuk menjalani pelatihan militer di Libya.
Perlahan, pemberontakan GAM mulai mereda. Namun, di tengah krisis yang dialami Indonesia sekitar tahun 1997, mereka kembali melakukan konfrontasi bersenjata. Sejak saat itu, berbagai upaya pendekatan diambil pemerintahan pasca lengsernya Soeharto.
Dari masa BJ Habibie, Gus Dur, hingga Megawati. Hanya saja, semua pendekatan tersebut tidak membuahkan hasil yang manis. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid diadakan dialog bertajuk Jeda Kemanusiaan I dan II. Sayangnya, sampai pada pemerintahan Megawati, masalah ini belum tuntas.
Baca juga : Kombatan GAM yang Pernah Dididik di Libya Gelar Silaturahmi, Polisi Siaga Satu
Pada tahun 2003, Megawati Soekarnoputri menetapkan status Darurat Militer di Aceh. Meski skalanya semakin mengecil, namun tetap saja api pemberontakan GAM belum sepenuhnya padam.
Saat Presiden SBY terpilih, dia melakukan pembicaraan formal dengan internal GAM. Dengan bantuan lembaga internasional yang dipimpin mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, akhirnya dicapai kesepakatan dalam sebuah MoU pada 15 Agustus 2005.
Nota kesepahaman tersebut dikenal sebagai MoU Helsinki. Beberapa keputusan yang disepakati diantaranya adalah penyelenggaraan pemerintahan Aceh, hak-hak ekonomi bagi Aceh, penyelesaian pelanggaran HAM, hingga pemberian amnesti kepada mantan anggota GAM.
Melihat dari riwayatnya, Aceh memiliki sejarah panjang dalam berbagai konflik yang melibatkannya. Sebelum adanya GAM, pernah muncul gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh pada 1953.
Baca juga : Nyamar Jadi Sopir Pribadi, Jenderal Kopassus Ini Bekuk para Petinggi GAM
Penyebab munculnya gerakan tersebut disinyalir karena kekecewaan masyarakat Aceh atas peleburan Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara. Dalam penyelesaiannya, gerakan tersebut bisa diredam setelah pemberian status istimewa kepada Aceh pada 1959.
Dikutip dari Lib UI, setelah sempat mengalami masa damai, Aceh kembali bergejolak. Konflik muncul setelah Hasan Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976.
Usut punya usut, penyebab konflik ini adalah ketidakpuasan masyarakat Aceh atas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang didominasi orang Jawa. Selain itu, muncul juga kekecewaan atas eksploitasi sumber daya alam di Aceh yang tidak memberikan kesejahteraan pada penduduk sekitarnya.
Pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, Aceh diketahui hanya menerima 1 persen dari anggaran pendapatan nasional dengan kontribusi 14 persen dari GDP nasional. Padahal, sebagian besar kekayaan alam Aceh banyak diambil pemangku kebijakan.
Sebagai tindakan tegas, Soeharto menyematkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989. Alasannya karena pemerintah mengetahui adanya pasukan GAM yang melakukan latihan militer di Libya dan sudah bersiap untuk perang gerilya.
Dalam sejarahnya, pelaksanaan DOM ini menjadi salah satu operasi kontra pemberontakan terbesar sejak tahun 1960. Operasi Militer ini diketahui melibatkan puluhan batalion pasukan elit yang dimiliki Indonesia.
Sebelumnya, ada dugaan yang mengarah keterlibatan Libya dalam gerakan separatis tersebut. Presiden Libya kala itu Moammar Khadafi diduga membuka pelatihan militer khusus.
Pemimpin GAM yang tertarik akhirnya menghubungi Libya. Setelah mendapat persetujuan, barulah Hasan Tiro melakukan rekrutmen terhadap pemuda Aceh untuk menjalani pelatihan militer di Libya.
Perlahan, pemberontakan GAM mulai mereda. Namun, di tengah krisis yang dialami Indonesia sekitar tahun 1997, mereka kembali melakukan konfrontasi bersenjata. Sejak saat itu, berbagai upaya pendekatan diambil pemerintahan pasca lengsernya Soeharto.
Dari masa BJ Habibie, Gus Dur, hingga Megawati. Hanya saja, semua pendekatan tersebut tidak membuahkan hasil yang manis. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid diadakan dialog bertajuk Jeda Kemanusiaan I dan II. Sayangnya, sampai pada pemerintahan Megawati, masalah ini belum tuntas.
Baca juga : Kombatan GAM yang Pernah Dididik di Libya Gelar Silaturahmi, Polisi Siaga Satu
Pada tahun 2003, Megawati Soekarnoputri menetapkan status Darurat Militer di Aceh. Meski skalanya semakin mengecil, namun tetap saja api pemberontakan GAM belum sepenuhnya padam.
Saat Presiden SBY terpilih, dia melakukan pembicaraan formal dengan internal GAM. Dengan bantuan lembaga internasional yang dipimpin mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, akhirnya dicapai kesepakatan dalam sebuah MoU pada 15 Agustus 2005.
Nota kesepahaman tersebut dikenal sebagai MoU Helsinki. Beberapa keputusan yang disepakati diantaranya adalah penyelenggaraan pemerintahan Aceh, hak-hak ekonomi bagi Aceh, penyelesaian pelanggaran HAM, hingga pemberian amnesti kepada mantan anggota GAM.
(bim)