Aktivis HAM Minta Kasus Kematian Brigadir J Ditangani Transparan dan Akuntabel
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus kematian Brigadir Joshua memunculkan berbagai pertanyaan besar di publik, mengingat peristiwa tersebut terjadi di rumah dinas seorang perwira tinggi Polri. Sejumlah spekulasi terkait kasus tersebut berkembang di publik.Hal ini tentunya harus dijawab oleh tim gabungan Mabes Polri yang saat ini masih melangsungkan proses pengusutan.
”Kami memandang bahwa transparansi dan akuntabilitas harus dikedepankan oleh tim gabungan Mabes Polri dalam upaya pengusutan kasus kematian Brigadir Joshua,” ujar Aktivis HAM dan Direktur Centra Initiative Muhammad Hafizdalam siaran persnya, Senin (1/8/2022).
”Dalam konteks itu, adalah penting bagi tim gabungan Polri untuk secara serius mengungkap fakta-fakta hukum secara objektif dan terang benderang sehingga masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban, dapat mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya,” sambungnya.
Menurut dia, keseriusan dan kesungguhan Polri dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus ini menjadi penting, tidak hanya bagi korban tetapi bagi Polri. Kasus tersebut semestinya juga dipandang sebagai momentum untuk dijalankannya kembali proses reformasi kepolisian.
Kasus kematian Brigadir Joshua di rumah dinas petinggi Polri menunjukkan reformasi Polri jauh untuk dikatakan telah selesai dan tuntas, lebih khususnya lagi dalam pengarusutamaan nilai dan standar hak asasi manusia kepada internal anggota kepolisian.
Reformasi kepolisian juga harus meliputi reformasi di level instrumental dan juga reformasi kultural. Reformasi kepolisian harus dapat menempatkan institusi kepolisian untuk dapat bekerja dalam koridor prinsip negara hukum yang menghormati prinsip due process of law.
Penghormatan atas hak asasi manusia dalam menangani masalah hukum yang terjadi penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi praktik kekerasan yang berlebihan. Reformasi kepolisian juga menuntut agar kepolisian dapat bekerja secara profesional, akuntabel dan transparan.
Dalam konteks reformasi tersebut, salah satu persoalan yang perlu dibenahi adalah terkait dengan masih terjadinya penggunaan kekuatan senjata api yang tidak proporsional dan berlebihan yang berdampak pada terjadinya aksi-aksi kekerasan yang berlebihan.
Penggunaan kekuatan senjata api oleh kepolisian memang menjadi masalah serius yang perlu di benahi dalam institusi kepolisian. Aparat kepolisian perlu memperhatikan Resolusi Majelis Umum PBB No 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum.
Hal itu dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.
Berdasarkan resolusi di atas, ada tiga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality).
”Sungguh pun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan,” ungkapnya.
”Penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia,” tegasnya.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah penguatan pemahaman HAM di kalangan anggota kepolisian. Meski Polri telah memiliki Perkap HAM, namun hal tersebut jauh dari cukup.
Tidak sedikit anggota kepolisian di berbagai tingkatan belum memiliki pemahaman yang memadai terhadap HAM dan bagaimana mengimplementasikannya. Ditambah lagi tidak didukung aturan teknis terkait bagaimana menerjamahkan Perkap HAM dalam tugas kepolisian.
”Kami memandang bahwa transparansi dan akuntabilitas harus dikedepankan oleh tim gabungan Mabes Polri dalam upaya pengusutan kasus kematian Brigadir Joshua,” ujar Aktivis HAM dan Direktur Centra Initiative Muhammad Hafizdalam siaran persnya, Senin (1/8/2022).
”Dalam konteks itu, adalah penting bagi tim gabungan Polri untuk secara serius mengungkap fakta-fakta hukum secara objektif dan terang benderang sehingga masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban, dapat mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya,” sambungnya.
Menurut dia, keseriusan dan kesungguhan Polri dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus ini menjadi penting, tidak hanya bagi korban tetapi bagi Polri. Kasus tersebut semestinya juga dipandang sebagai momentum untuk dijalankannya kembali proses reformasi kepolisian.
Kasus kematian Brigadir Joshua di rumah dinas petinggi Polri menunjukkan reformasi Polri jauh untuk dikatakan telah selesai dan tuntas, lebih khususnya lagi dalam pengarusutamaan nilai dan standar hak asasi manusia kepada internal anggota kepolisian.
Reformasi kepolisian juga harus meliputi reformasi di level instrumental dan juga reformasi kultural. Reformasi kepolisian harus dapat menempatkan institusi kepolisian untuk dapat bekerja dalam koridor prinsip negara hukum yang menghormati prinsip due process of law.
Penghormatan atas hak asasi manusia dalam menangani masalah hukum yang terjadi penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi praktik kekerasan yang berlebihan. Reformasi kepolisian juga menuntut agar kepolisian dapat bekerja secara profesional, akuntabel dan transparan.
Dalam konteks reformasi tersebut, salah satu persoalan yang perlu dibenahi adalah terkait dengan masih terjadinya penggunaan kekuatan senjata api yang tidak proporsional dan berlebihan yang berdampak pada terjadinya aksi-aksi kekerasan yang berlebihan.
Penggunaan kekuatan senjata api oleh kepolisian memang menjadi masalah serius yang perlu di benahi dalam institusi kepolisian. Aparat kepolisian perlu memperhatikan Resolusi Majelis Umum PBB No 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum.
Hal itu dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.
Berdasarkan resolusi di atas, ada tiga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality).
”Sungguh pun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan,” ungkapnya.
”Penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia,” tegasnya.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah penguatan pemahaman HAM di kalangan anggota kepolisian. Meski Polri telah memiliki Perkap HAM, namun hal tersebut jauh dari cukup.
Tidak sedikit anggota kepolisian di berbagai tingkatan belum memiliki pemahaman yang memadai terhadap HAM dan bagaimana mengimplementasikannya. Ditambah lagi tidak didukung aturan teknis terkait bagaimana menerjamahkan Perkap HAM dalam tugas kepolisian.
(ams)