Sederet Persoalan Nelayan, dari Ketersediaan Solar Subsidi hingga Tarif PNBP untuk Kapal Kecil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nelayan di Indonesia tengah menghadapi sejumlah persoalan yang berdampak pada kesejahteraannya. Dari mulai ketersediaan solar bersubsidi, penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk kapal kecil, hingga rencana penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota.
Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (DPP Forkami), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibaha menuturkan, salah satu yang kerap dikeluhkan nelayan adalah ketersediaan solar subsidi. Disparitas harga yang cukup tinggi telah menyebabkan solar subsidi sulit didapatkan nelayan karena diduga dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.
"Di samping ketersediaan solar subsidi, disparitas harga solar subsidi dan nonsubsidi pun ikut mempengaruhi nelayan untuk pergi melaut mencari ikan. Lonjakan harga dari Rp8.000 menjadi Rp18.000 ikut mempengaruhi perhitungan biaya melaut para nelayan," kata Hakeng dalam keterangan tertulisnya, Minggu (31/7/2022).
Ketersediaan dan harga solar yang melambung, menurut Hakeng, bukan satu-satunya persoalan yang dihadapi nelayan. Penerapan tarif PNBP sekitar 5%-10% yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 85 Tahun 2021 juga sangat memberatkan nelayan. Dalam aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 Tahun 2002, kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1%. Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5% dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Sementara di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60GT dikenakan tarif 5% untuk PNBP.
"Akibat dari peraturan itu, nelayan enggan melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani. Situasi itu tentu berdampak pada ketidakakuratan pengumpulan data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah," kata Wasekjen Bidang Maritim DPP KNPI ini.
Hal lain yang menjadi sorotan Hakeng adalah rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil. Menurutnya, penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Artinya nelayan kecil justru akan bersaing dengan perusahaan kapal besar dalam hal penangkapan ikan jika nantinya diterapkan.
Baca juga: Nelayan Wajib Dapat BBM Subsidi, Erick Thohir Singgung Solar Subsidi Dipakai Perusahaan
"Perlu diingatkan untuk rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil. Karena sistem kelembagaan nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya," katanya.
Hakeng mengatakan, tidak ada salahnya KKP memberikan alternatif cara pembiayaan usaha perikanan tangkap yang mudah diakses kepada nelayan kecil di Indonesia. "Lakukan pengumpulan data kapal ikan berukuran kecil dan berikan kemudahan untuk mendapatkan kredit dengan skema Kredit Usaha Rakyat bagi nelayan kecil," ujarnya.
Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (DPP Forkami), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibaha menuturkan, salah satu yang kerap dikeluhkan nelayan adalah ketersediaan solar subsidi. Disparitas harga yang cukup tinggi telah menyebabkan solar subsidi sulit didapatkan nelayan karena diduga dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.
"Di samping ketersediaan solar subsidi, disparitas harga solar subsidi dan nonsubsidi pun ikut mempengaruhi nelayan untuk pergi melaut mencari ikan. Lonjakan harga dari Rp8.000 menjadi Rp18.000 ikut mempengaruhi perhitungan biaya melaut para nelayan," kata Hakeng dalam keterangan tertulisnya, Minggu (31/7/2022).
Ketersediaan dan harga solar yang melambung, menurut Hakeng, bukan satu-satunya persoalan yang dihadapi nelayan. Penerapan tarif PNBP sekitar 5%-10% yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 85 Tahun 2021 juga sangat memberatkan nelayan. Dalam aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 Tahun 2002, kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1%. Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5% dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Sementara di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60GT dikenakan tarif 5% untuk PNBP.
"Akibat dari peraturan itu, nelayan enggan melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani. Situasi itu tentu berdampak pada ketidakakuratan pengumpulan data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah," kata Wasekjen Bidang Maritim DPP KNPI ini.
Hal lain yang menjadi sorotan Hakeng adalah rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil. Menurutnya, penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Artinya nelayan kecil justru akan bersaing dengan perusahaan kapal besar dalam hal penangkapan ikan jika nantinya diterapkan.
Baca juga: Nelayan Wajib Dapat BBM Subsidi, Erick Thohir Singgung Solar Subsidi Dipakai Perusahaan
"Perlu diingatkan untuk rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil. Karena sistem kelembagaan nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya," katanya.
Hakeng mengatakan, tidak ada salahnya KKP memberikan alternatif cara pembiayaan usaha perikanan tangkap yang mudah diakses kepada nelayan kecil di Indonesia. "Lakukan pengumpulan data kapal ikan berukuran kecil dan berikan kemudahan untuk mendapatkan kredit dengan skema Kredit Usaha Rakyat bagi nelayan kecil," ujarnya.