Tak Kuat Berjalan 500 Km dari Batujajar ke Cilacap, Jenderal Kopassus Ini Gagal Sandang Brevet Komando
loading...
A
A
A
Tidak mau lama-lama meratapi kegagalannya menjalani pendidikan dasar komando, Soegito sudah larut dalam kesibukan barunya sebagai staf dari Mayor Inf Gunawan Wibisono, teman satu lichting Mayor Inf Benny Moerdani. Di mata Soegito, komandannya yang fasih berbahasa Belanda dan menguasai Inggris ini terlihat begitu pintar dan berwibawa. Ketika itu Mayor Gunawan tengah disibukkan dengan beberapa penelitian terkait peralatan dan prosedur.
Sebagai staf, Lettu Soegito melaksanakan sepenuhnya program yang tengah dijalankan komandannya. Di antaranya membantu riset untuk melihat kenyamanan penggunaan senapan jika ditambahkan peredam (silencer). Setelah itu kembali dilakukan riset tentang airdrop resupply alias penerjunan untuk mengirimkan bekal ulang siang dan malam hari. Baik menggunakan barang atau orang. Riset sekitar dua minggu ini dilaksanakan di Lanud Halim Perdanakusuma dengan dropping zone (DZ) di sisi timur Halim yang berdekatan dengan lapangan golf.
Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Gagal latihan komando, namun malah memberikan kesempatan kepada Soegito untuk menambah jam terjun. Sebagai salah seorang perwira yang bertanggung jawab dalam riset penerjunan, mau tidak mau ia harus total selama proses penelitian supaya bisa memberikan laporan lengkap kepada atasannya. Sorti demi sorti terjun statik diikutinya, termasuk malam hari. Jumlahnya enam sorti, yang kalau diakumulasikan sejak mengikuti Kursus Infanteri, Soegito sudah mengantongi hampir 10 kali terjun.
Secara umum, Soegito menikmati tugasnya sebagai staf Mayor Gunawan. Apalagi tim dapat uang saku, ya makin senang lagi. Di akhir riset, Soegito menyerahkan laporan hasil kegiatan kepada Mayor Gunawan.
Saat membantu Mayor Gunawan dengan riset-risetnya inilah, Soegito mendapat perintah untuk membantu pemakaman tujuh Pahlawan Revolusi di TMP Kalibata pada 5 Oktober 1965. Peristiwa pemakaman ini dikenang sebagai peringatan HUT TNI paling menyedihkan karena berbarengan dengan pemakaman para pahlawan. Dalam upacara itu, kebetulan sekali Soegito mendapat bagian menggotong peti jenazah Jenderal Ahmad Yani.
Baru saja selesai menjadi staf Mayor Gunawan, datang lagi perintah untuk membantu Mayor Inf Heru Sisnodo di Pusdik RPKAD di Batujajar. Di lingkungan RPKAD saat itu, Mayor Heru dikenal sebagai pahlawan Trikora. Kala itu ia terjun bersama 160 prajurit Batalion 530 dan 55 anggota RPKAD dalam Operasi Naga dipimpin Mayor Inf Benny Moerdani pada 24 Juni 1962 di Merauke. Saat ditemui Soegito, Mayor Heru sudah menjadi salah satu pimpinan di Batujajar.
"Dek Gito, nanti kalau mau latihan komando lagi, bila perlu apa-apa bilang saja kepada saya. Sekarang ikut saya jam terjun, sekalian nanti free fall," ajak Mayor Heru yang akrab disapa Soegito dengan panggilan Mas Heru. dengan membantu Mayor Heru, jam terjun Soegito semakin bertambah banyak saja.
Anehnya Mayor Heru, kepada Soegito yang nyata-nyata mengikuti pelatihan komando malah diberi tugas merevisi kurikulum latihan komando. Terang saja Soegito keberatan, yang sayangnya ditanggapi. Malah Mayor Heru mengalihkan pembicaraan rencana-rencana penerjunan. "Besok saya terjun, ikut ya."
Alhasil dari kegiatannya membantu Mayor Gunawan dan Mayor Heru, berakumulasi kepada peningkatan jumlah jam terjun yang sangat signifikan. Bisa dibilang hingga saat itu, jam terjun Soegito paling tinggi dari semua perwira lulusan AMN 61. Karena jam terjun yang cukup banyak itu, di kemudian hari di atas wing terjunnya ditambahkan bintang dan bintang merah sekembalinya Dili tahun 1976.
Di sela-sela tugas sambil menunggu dibukanya pendidikan komando, Soegito memeriksakan ke dokter mencari tahu penyebab sakit di kakinya yang menyebabkannya gagal mengikuti pendidikan komando. Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia terkena malaria, yang salah satunya menyebabkan sakit di persendian kaki dan daya tahan tubuhnya menurun.
Sebagai staf, Lettu Soegito melaksanakan sepenuhnya program yang tengah dijalankan komandannya. Di antaranya membantu riset untuk melihat kenyamanan penggunaan senapan jika ditambahkan peredam (silencer). Setelah itu kembali dilakukan riset tentang airdrop resupply alias penerjunan untuk mengirimkan bekal ulang siang dan malam hari. Baik menggunakan barang atau orang. Riset sekitar dua minggu ini dilaksanakan di Lanud Halim Perdanakusuma dengan dropping zone (DZ) di sisi timur Halim yang berdekatan dengan lapangan golf.
Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Gagal latihan komando, namun malah memberikan kesempatan kepada Soegito untuk menambah jam terjun. Sebagai salah seorang perwira yang bertanggung jawab dalam riset penerjunan, mau tidak mau ia harus total selama proses penelitian supaya bisa memberikan laporan lengkap kepada atasannya. Sorti demi sorti terjun statik diikutinya, termasuk malam hari. Jumlahnya enam sorti, yang kalau diakumulasikan sejak mengikuti Kursus Infanteri, Soegito sudah mengantongi hampir 10 kali terjun.
Secara umum, Soegito menikmati tugasnya sebagai staf Mayor Gunawan. Apalagi tim dapat uang saku, ya makin senang lagi. Di akhir riset, Soegito menyerahkan laporan hasil kegiatan kepada Mayor Gunawan.
Saat membantu Mayor Gunawan dengan riset-risetnya inilah, Soegito mendapat perintah untuk membantu pemakaman tujuh Pahlawan Revolusi di TMP Kalibata pada 5 Oktober 1965. Peristiwa pemakaman ini dikenang sebagai peringatan HUT TNI paling menyedihkan karena berbarengan dengan pemakaman para pahlawan. Dalam upacara itu, kebetulan sekali Soegito mendapat bagian menggotong peti jenazah Jenderal Ahmad Yani.
Baru saja selesai menjadi staf Mayor Gunawan, datang lagi perintah untuk membantu Mayor Inf Heru Sisnodo di Pusdik RPKAD di Batujajar. Di lingkungan RPKAD saat itu, Mayor Heru dikenal sebagai pahlawan Trikora. Kala itu ia terjun bersama 160 prajurit Batalion 530 dan 55 anggota RPKAD dalam Operasi Naga dipimpin Mayor Inf Benny Moerdani pada 24 Juni 1962 di Merauke. Saat ditemui Soegito, Mayor Heru sudah menjadi salah satu pimpinan di Batujajar.
"Dek Gito, nanti kalau mau latihan komando lagi, bila perlu apa-apa bilang saja kepada saya. Sekarang ikut saya jam terjun, sekalian nanti free fall," ajak Mayor Heru yang akrab disapa Soegito dengan panggilan Mas Heru. dengan membantu Mayor Heru, jam terjun Soegito semakin bertambah banyak saja.
Anehnya Mayor Heru, kepada Soegito yang nyata-nyata mengikuti pelatihan komando malah diberi tugas merevisi kurikulum latihan komando. Terang saja Soegito keberatan, yang sayangnya ditanggapi. Malah Mayor Heru mengalihkan pembicaraan rencana-rencana penerjunan. "Besok saya terjun, ikut ya."
Alhasil dari kegiatannya membantu Mayor Gunawan dan Mayor Heru, berakumulasi kepada peningkatan jumlah jam terjun yang sangat signifikan. Bisa dibilang hingga saat itu, jam terjun Soegito paling tinggi dari semua perwira lulusan AMN 61. Karena jam terjun yang cukup banyak itu, di kemudian hari di atas wing terjunnya ditambahkan bintang dan bintang merah sekembalinya Dili tahun 1976.
Di sela-sela tugas sambil menunggu dibukanya pendidikan komando, Soegito memeriksakan ke dokter mencari tahu penyebab sakit di kakinya yang menyebabkannya gagal mengikuti pendidikan komando. Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia terkena malaria, yang salah satunya menyebabkan sakit di persendian kaki dan daya tahan tubuhnya menurun.