Kebijakan Uang Ketat, Pemadam Api Inflasi?

Selasa, 26 Juli 2022 - 12:36 WIB
loading...
Kebijakan Uang Ketat, Pemadam Api Inflasi?
Candra Fajri Ananda (Foto: Ist)
A A A
Prof Candra Fajri Ananda, PhD
Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia

KEJUTAN besar terjadi pada finansial global dengan lonjakan angka Inflasi di berbagai dunia yang kini menjadi salah satu ancaman bagi perekonomian dunia. Inflasi diprediksi akan membakar perekonomian dunia pada 2022 jika tak mampu diredam dengan baik. Data mencatata bahwa angka inflasi di negara Paman Sam – Amerika Serikat – pada Juni 2022 telah mencapai 9,1% (yoy).

Angka tersebut merupakan inflasi tertinggi selama kurun waktu 41 tahun terakhir, demkian juga inflasi di negara-negara Uni Eropa juga melambung tinggi, Inggris yang mencapai 9,1%, Jerman 7,6%, Spanyol 10,2%, dan Italia 8,0%. Demikian juga inflasi di Kanada sudah menyentuh 7,7% pada Mei 2022 dan diperkirakan masih akan terus mengalami kenaikan dalam beberapa waktu ke depan.

Sejatinya, setiap kegiatan pembangunan ekonomi akan diikuti oleh terjadinya inflasi, namun apabila inflasi yang tinggi dan berubah-ubah akan menghambat pembangunan. Inflasi yang rendah dan stabil diperlukan dalam pembangunan ekonomi nasional. Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat yang selanjutnya berpengaruh pada penurunan kemampuan konsumsi masyarakat.

Lonjakan inflasi yang terlalu tinggi dan tidak diimbangi oleh pemerataan ekonomi akan memperluas kemiskinan, bertambahnya tingkat pengangguran, dan akan mengakibatkan penurunan kesejahteraan. Berkaca pada saat krisis moneter pada 1998, inflasi tertinggi Indonesia mencapai angka 77,63%. Kala itu, inflasi mempunyai pengaruh besar pada penurunan daya beli masyarakat, peningkatan pengangguran, dan peningkatan kemiskinan di Indonesia.

Saat ini, di tengah ancaman lonjakan inflasi, klaim tunjangan pengangguran Amerika Serikat (AS) dilaporkan meningkat ke level tertinggi sejak delapan bulan terakhir. Kondisi ini menunjukkan beberapa pendinginan di pasar tenaga kerja di tengah kebijakan moneter yang lebih ketat serta tekanan kondisi keuangan. Departemen Tenaga Kerja AS pada 21 Juli 2022 melaporkan tunjangan pengangguran negara mencapai 351.000 untuk pekan yang berakhir 16 Juli.

Angka ini mencatatkan total tertinggi sejak 15 Januari 2022. Klaim pengangguran meningkat karena terdapat banyak perusahaan yang mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah ancaman inflasi dan meningkatnya kekhawatiran resesi. Tren ini kian berlanjut tatkala Federal Reserve meningkatkan perjuangannya melawan inflasi yang merajalela dengan beberapa kenaikan suku bunga terbesar dalam beberapa dekade.

Peningkatan suku bunga adalah salah satu formula yang diyakini banyak pihak mampu menekan angka inflasi. Pemerintah dan bank sentral di setiap negara tengah berjibaku menjaga nilai uangnya agar tak tergerus oleh inflasi. Upaya mencari keseimbangan ini menjadi seni tersendiri bagi kebijakan moneter.

Demi mengendalikan inflasi dan menyerap ekses likuiditas, beberapa bank sentral dunia telah menyikapinya dengan mulai menaikkan suku bunga secara perlahan dan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM). Ketika suku bunga tinggi diharapkan jumlah uang yang beredar akan lebih sedikit karena akan lebih banyak orang yang menahan belanja dan memilih menabung. Apabila tingkat konsumsi turun, maka diharapkan angka inflasi pun juga akan turun.

Bank Sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed secara resmi pada Mei telah mengumumkan kenaikan suku bunga acuan 50 basis poin atau 0,5% sebagai upaya lanjutan dalam mengatasi inflasi tertinggi selama empat dekade. Kenaikan ini menyusul peningkatan 0,25% suku bunga acuan yang sudah dilakukan The Fed pada Maret.

Tak hanya AS yang menaikkan suku bunga. Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) juga memberikan kejutan ke pasar finansial pada Mei 2022 dengan kenaikan suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 0,35%. Peningkatan ini bakal berdampak meningginya biaya semua jenis pinjaman, termasuk hipotek, kartu kredit sampai cicilan mobil. Hal ini diprediksi akan dapat meredam permintaan dan aktivitas bisnis. Dengan adanya kenaikan suku bunga ini diharapkan dapat membantu mengendalikan lonjakan inflasi di berbagai negara tersebut.

Utak-Atik Kebijakan Ekonomi Indonesia
Guncangan ekonomi akibat inflasi telah membawa Bank Dunia menurunkan perkiraannya terhadap pertumbuhan global 2022 menjadi 3,2%. Penurunan tersebut didorong oleh berbagai gejolak ekonomi termasuk tingginya inflasi yang terjadi di berbagai negara. Jika dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2021 sebesar 5,7%, memang tak dipungkiri bahwa saat ini terjadi pesimisme di tahun 2022.

Di sisi lain, meski dunia tengah menghadapi pesimisme atas ketidakpastian ekonomi yang tengah terjadi, Asian Development Bank (ADB) justru merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022 meningkat menjadi 5,2% dari sebelumnya sebesar 5,0%. Hal itu karena permintaan dalam negeri yang masih bagus dan pertumbuhan ekspor yang stabil.

Meski masih termasuk dalam kategori terkendali, Indonesia saat ini juga tetap perlu waspada menghadapi inflasi yang semakin tinggi. ADB memperkirakan inflasi di Indonesia di tahun ini akan lebih tinggi yakni sebesar 4,0% dibandingkan dengan proyeksi ADB pada April sebesar 3,6% dipicu tingginya harga komoditas. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa tingkat inflasi tahunan Indonesia pada Juni 2022 sebesar 4,35%.

Tingginya angka inflasi Indonesia tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan. Bila kenaikan bahan pangan tak segera diantisipasi, maka inflasi berpotensi akan meningkat secara substansial dan fundamental. Kecenderungan peningkatan inflasi semakin menguat seiring dengan semakin meningkatnya permintaan.

Saat ini, di tengah berbagai negara berjibaku menurunkan angka inflasi melalui formula peningkatan suku bunga, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5% dalam RDG Mei 2022. Suku bunga deposit facility juga tetap dipertahankan sebesar 2,75% dan suku bunga lending facility tetap sebesar 4,25%.

Keputusan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi inti yang masih terjaga di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Inflasi inti pada Juni 2022 tercatat masih berada pada level yang rendah, yakni 2,63% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy), di mana inflasi inti merupakan inflasi yang mencerminkan antara keseimbangan permintaan dan penawaran di dalam ekonomi nasional. Keputusan tersebut juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara.

Bank Indonesia memang masih belum mengeluarkan kebijakan kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi. Akan tetapi, BI tak segan akan mulai menaikkan suku bunga ketika inflasi inti terus menanjak. Dari sisi nilai tukar, kinerja rupiah saat ini masih cukup baik dibanding mata uang Asia lainnya.

Tingginya harga komoditas membuat neraca perdagangan Indonesia surplus pada 25 bulan terakhir. Akibatnya, transaksi berjalan juga ikut surplus dan membuat pasokan devisa mengalir ke dalam negeri. Kinerja rupiah pun tidak terlalu buruk, bahkan pada akhir Semester I-2022 pada saat permintaan valuta asing biasanya besar. Pada Kuartal II-2022, BI memperkirakan transaksi berjalan masih akan surplus, melanjutkan surplus pada kuartal sebelumnya.

Signifikansi Pengendalian Inflasi
Ketidakpastian ekonomi global diperkirakan masih akan terus berlanjut seiring dengan makin mengemukanya risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi global, termasuk sebagai akibat dari kian meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan yang ditempuh oleh berbagai negara.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu terus berupaya melakukan pengendalian inflasi yang dapat ditempuh melalui sinergitas berbagai instrument kebijakan, baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal. Selain itu, pengendalian inflasi Indonesia di tengah proses pemulihan ekonomi sangatlah penting karena jika inflasi terus melambung tinggi akan berdampak pada perilaku dan psikologis masyarakat yang selanjutnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Upaya yang kini telah dilakukan pemerintah dari sisi fiskal untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah lonjakan inflasi melalui peningkatan subsidi dan bantuan sosial sejatinya telah cukup efektif menjaga stabilitas ekonomi nasional, namun hanya bersifat jangka pendek. Pemerintah perlu terus memikirkan upaya yang berdampak jangka panjang dan berkelanjutan seperti peningkatan produksi pangan nasional dan pengembangan energi alternatif.

Selain itu di sisi moneter, meski inflasi Indonesia masih terkendali, namun BI perlu terus memperhatikan pergerakan inflasi, terutama terkait perubahan kebijakan tingkat suku bunga acuan ketika diperlukan demi menjaga stabilitas ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat. Semoga.

Baca Juga: koran-sindo.com







(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5996 seconds (0.1#10.140)