Mempertanyakan Kebijakan Drone Elang Hitam

Sabtu, 23 Juli 2022 - 14:10 WIB
loading...
Mempertanyakan Kebijakan Drone Elang Hitam
Drone Elang Hitam dinilai penting untuk perkembangan industri pertahanan nasional. FOTO/WAWAN BASTIAN
A A A
Dua kabar mencuat bersamaan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) baru-baru ini.Informasi pertama terkait rencana renovasi ruang kerja Ketua Dewan Pengarah BRIN dengan biaya sebesar Rp6,1 miliar.

Setelah mendapat sorotan publik, proyek tersebut dibatalkan.Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menegaskan, renovasi dimaksud tidak termasuk dalam rencana awal.

Kabar tak kalah hebohnya terkait dengan bubarnya konsorsium Pesawat Udara Nir-Awak (PUNA) Medium Altitude Long Endurance (MALE) Elang Hitam.Kondisi ini terjadi karena perubahan orientasi drone tersebut dari keperluan pertahanan ke keperluan sipil.

Perubahan ini tentu bakal berdampakkepada mundurnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan TNI AU karena tidak ada keterkaitan. Salah seorang pakar terlibat dalam program menyebut perubahan terjadi sejak Februari.

Walaupun mendapatkan sorotan negatif publik, belum ada ketegasan sikap dari BRIN apakah melanjutkan program tersebut atau tidak.

Reorentasi tentu sangat mengagetkan. Betapa tidak, Perpres 109/2020 yang menjadi landasan berjalannya program itu menyebutnya sebagai drone kombatan. Di sisi lain, mimpi bangsa ini bisa membuat drone sekelas milik Turki (AnKA), Amerika Serikat (Predator), dan Israel (Heron) luruh begitu saja.

Ingatan pun serta merta meluncur pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada 10 Agustus 2021 lalu saat Elang Hitam diperlihatkan ke publik. Proyek yang diarahkan menjadi penanda kebangkitan teknologi anak bangsa itu bahkan ditarget sudah diuji coba terbang pada akhir 2021.

Tapi harapan dan semangat tersebut kini sirna. Pelaksana tugas Kepala Pusat Teknologi Penerbangan BRIN Agus Aribowo menyebut, alasan urungnya drone MALE diproduksi. Antara lain karena adarasa pesimistis spesifikasi militer yang diinginkan TNI AU bakal terpenuhi seperti drone Wulung. Selanjutnya belum banyak aspek teknologi yang dikuasai sepertiflight controlyang masih bergantung dari vendor luar. Begitu pun kemampuan bahan komposit yang masih terbatas.

Benarkah para ahli konsorsium drone tak berdaya sehingga BRIN merasa begitu psimistis Elang Hitam bisa terwujud dan bisa melaksanakan misi pada 2025 nanti? Padahal selain Kemhan, TNI, dan BPPT yang berposisi sebagai supervise program, konsorsium juga melibatkan pakar LAPAN membangun test bench pengujian mission system, pengembangan payload Radar SAR dan Sistem Komunikasi berbasis Satelit Communications (SatCOM).

Ada pula PT DI sebagailead integratordan berperan dalam semua kegiatan teknis (engineering). Lalu PT LEN sebagai pengembangflight control system(FCS), mission system dan data link; dan ITB menyediakan tenaga terdidik guna mendukung program ini. Apakah ada yang meragukan kapasitas mereka?

Alasan mengubah orientasi menjadi drone sipil juga terkesan mengada-ada. Bagaimana tidak, disebutkan sendiri oleh BRIN, perbedaan drone kombatan dengan sipil hanya sistem persenjataan saja, bukan masalah flight control atau komposit seperti disampaikan.

Belum lagi spisifikasi drone sipil dengan drone militer juga berbeda dan dengan sertifikasi lebih ribet, dan dari sisi bisnis drone sipil tidak jelas orientasi marketnya. Dan lebih parah lagi, perubahan ini melanggar hukum karena menihilkan Perpres 109/2020.

Bila melihat fakta-fakta di atas, keputusan BRIN menunjukkan tidak jelasnya visi dan misi BRIN. Betapa tidak, mereka menganggap sebelah mata dan tidak menghargai keras dan semangat dan optimisme tim yang sudah bekerja sejak 2017.

BRIN juga mengabaikan UU N0 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang didalamnya tidak mengharamkantransfer of technology, mengakusisi teknologi perusahaan internasional, bekerja sama dengan negara telah menguasai teknologi drone dan lainnya demi membangun kemandirian industri pertahanan.

Misalnya, bila kendalnya sistem senjata sebagai poin yang membedakan dengan drone sipil, bukankah konsorsium sudah menjajaki kerja sama dengan Tubitak SAGE dari Turki yang tengah mengembangkan rudalair to groundterbaru dan menawarkan ke Indonesia.

Jika semua kendala sebenarnya bisa dicarikan solusi, lantas di mana masalahnya sehingga BRIN mengambil keputusan kontroversial hingga menabrak hukum tersebut?

Ada baiknya para pejabat yang berada di balik kendali BRIN mengubah pikiran pesimistis menjadi lebih optimistis terhadap kerja keras anak bangsa. Perlu ada upaya serius dalam membangun inovasi dan mengejar ketertinggalan teknologi serta semakin peduli dengan kemandirian industri pertahanan.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0989 seconds (0.1#10.140)