Minim Ruang Publik di Daerah Penyangga, Alasan Remaja Citayam 'Invasi' Jakarta
loading...
A
A
A
JAKARTA- Kehadiran remaja-remaja dari daerah penyangga Jakarta ke kawasan Dukuh Atas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, untuk nongkrong dan menggelar fashion street diduga dipicu keterbatasan ruang publik.
Di daerah penyangga, ruang publik untuk berkreativitas yang dicari remaja tidak banyak tersedia. Di saat yang sama, ruang publik di Dukuh Atas menawarkan keindahan dan kerapihan, cocok untuk lokasi berfoto dan membuat konten karena dianggapinstagramable.
Baca juga: Anies Datangi Citayam Fashion Week di Stasiun MRT Dukuh Atas, Ini Pesannya
"Dipicu minimnya fasilitas publik, termasuk tempat-tempat rekreasi yang murah, dan instagramble. Di wilayah penyangga, fokusnya adalah pembangunan perumahan sehingga lahan pun semakin terbatas," ujar sosiolog asal Universitas Indonesia Ida Ruwaida Sabtu (16/7/2022).
Ida melihat fenomena nongkrong dan juga fashion street pada "Citayam Fashion Week" adalah fenomena subkultur yang lahir dari para remaja yang kreatif. Remaja tersebut berekspresi setelah distimuli oleh gaya hidup urban kosmopolitan yang masif dikonsumsi remaja melalui media sosial.
Baca juga: Berani Beda, Fashion Jalanan Remaja Citayam Diramal Berkembang
Hanya memang, pilihan tempat nongkrong menurut Ida juga mencerminkan status, termasuk kelas sosial. Bagi kelas menengah atas, umumnya nongkrongnya di kafe, mal, yang butuh modal finansial tidak murah. Sedangkan bagi remaja yang masih bergantung secara ekonomi pada orang tua apalagi mereka dari lapis menengah ke bawah, tentu pilihan nongkrong akan disesuaikan dengan kemampuan.
Hal itulah yang mendorong remaja Citayam, Bojong Gede, Depok dan daerah penyangga lain mendatangi ruang publik di Dukuh Atas. Apalagi, selain cantik dan instagramable kawasan tersebut mudah dijangkau dengan transportasi umum massal seperti KRL, Transjakarta, dan MRT.
"Apa salah jika remaja Citayam cari hiburan di Sudirman, Jakarta, di tengah tren healing yang didemonstrasikan oleh selebgram, influencer, yang mampu travel ke tempat-tempat yang mahal?" ujarnya bertanya.
Baca juga: 2 Remaja Citayam Fashion Week Jadi Korban Pemerasan di Dukuh Atas
Dia juga mengingatkan agar remaja Citayam tidak dipandang sebelah mata, apalagi dilihat sebagai "orang luar" yang tiba-tiba merangsek ke Jakarta. Citayam, Bojong Gede dan Depok, menurutnya, adalah bagian dari wilayah penyangga Jakarta. Sejak akhir- 70-an kawasan Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek), sudah diekspansi warga Jakarta, khususnya untuk kebutuhan permukiman.
"Bisa jadi para remaja Citayam dan sekitarnya yang datang ke Dukuh Atas adalah generasi ke-2 atau ke-3 dari para warga Jakarta yang bermukim di daerah suburban," ujarnya.
Ida lantas mengingatkan bahwa pembangunan kota oleh pemerintah daerah mana pun harus memikirkan kesehatan warganya, baik secara fisik maupun mental, termasuk kesehatan sosialnya. Kota-kota perlu ramah bagi anak dan remaja dengan membangun ruang-ruang terbuka yang aman dan nyaman serta memungkinkan warga beraktivitas.
Baca juga: ABG Tanah Abang Ini Raup Cuan Rp900 Ribu per Hari di Citayam Fashion Week, Kok Bisa?
"PR (pekerjaan rumah) negara adalah bagaimana agar remaja-remaja diedukasi agar mampu kreatif, produktif, adaptif, tolerable, bukan hanya terjebak pada budaya konsumtif, dan imitating,"tegasnya
Lebih jauh, dia tidak setuju jika remaja Citayam dinilai melakukan perlawanan budaya atas industri fashion yang banyak membentuk selera fashion masyarakat. Fenomena di Dukuh Atas diumpamakannya serupa dengan kawasan Shinjuku di Jepang yang sebagian areanya seolah menjadi fashion street.
"Saya tidak melihatnya sebagai perlawanan atau counter culture, tapi tetap sebagai subkultur dari para remaja yang kreatif," tandasnya.
Baca juga: Malam Mingguan di Citayam Fashion Week, Begini Gaya ABG Cibitung
Pengamat perkotaan, Nirwono Yoga mengatakan, wilayah Dukuh Atas dipilih untiuk nongkrong oleh pada remaja tanggung asal Citayam dan sekitarnya karena lokasi itu lebih mudah dicapai dengan KRL. Biaya transportasi juga relatif terjangkau. Dukuh atas juga sebagai titik transit dan lalu lalang para pekerja Bodetabek ke Jakarta, sehingga jika mereka berkegiatan seperti ingin memamerkan fashion mereka akan banyak yang menyaksikan meskipun hanya sekilas saat melintasi Terowongan Kendal.
Bukan hanya itu, wilayah tersebut juga sering diekspose berbagai media sosial sehingga banyak yang penasaran. "Itu tidak akan terjadi jika mereka lakukan hal yang sama di stasiun daerah mereka seperti stasiun Citayam, Stasiun Bojonggede, maupun Stasiun Depok, atau bahkan di Stasiun Manggarai atau Stasiun Senen," ungkapnya Minggu (17/07/2022).
Baca juga: Podcast Partai Perindo : Menilik Sisi Positif Citayam Fashion Week
Nirwono juga mengomentari soal fenomena "Citayam Fashion Week". Menurutnya, fenoemena itu belum tentu akan berlangsung lama karena kegiatan tersebut muncul saat liburan sekolah. Artinya ketika sekolah mulai masuk kembali dan tahun ajaran baru dimulai, kegiatan nongkrong fashion street bisa saja tidak akan berlangsung lagi. "Terlebih, jika tidak dikelola dengan baik, kegiatan ini tidak akan berlanjut atau bertahan lama," tandasnya.
Desainer Jeny Tjahyawati mengapresiasi "Citayam Fashion Week" yang tengah menjadi ajang fenomenal pamer gaya busana di kalangan remaja masa kini. Menurut dia, fenomena tersebut dapat berpotensi berkembang menjadi tren baru di Indonesia jika mendapat dukungan yang positif.
“Ini bisa menjadi salah satu sumber inspirasi bagi berbagai pelaku fashion di Indonesia, terutama desainer-desainer muda yang ingin merintis produk busananya," ujar Jeny saat dihubungi Minggu (17/7/2022).
Baca juga: Usai Tolak Beasiswa dari Sandiaga Uno, Roy Citayam Rebut Aspri Hotman Paris
Perancang busana Muslim ini menyanjung gaya busana street wear yang dikenakan para remaja saat wara-wiri di kawasan Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Penampilan itu masih bisa dipadukan lagi dengan kain wastra Nusantara. Misalnya, jeans atau denim bisa digabung dengan batik, tenun atau jumputan sasirangan. Ada juga remaja yang pakai sarung batik dipadu dengan jas.
Jeny pun berharap pemerintah, asosiasi terkait, komunitas pegiat seni desain fashion sekolah fashion hingga industri busana di Tanah Air dapat memberikan wadah serta edukasi guna meningkatkan kreativitas remaja tersebut. Termasuk juga menyediakan kesempatan fasilitas beasiswa bagi mereka untuk menimba ilmu melalui sekolah khusus desain atau fashion.
Baca juga: Fenomena Citayam Fashion Week Bisa Dikembangkan Jadi Potensi Wisata di Jakarta
Bahkan, Jeny secara pribadi siap mengajak para remaja mengikuti Indonesia Modest Fashion Designer (IMFD). Wadah tersebut nantinya dapat menjadi sarana untuk menimba ilmu tentang bagaimana bergaya busana yang sopan, santun dan tetap elegan tanpa meninggalkan budaya asli bangsa Indonesia.
"Insyaallah kita lagi pikirkan. Rencana, Indonesia Modest Fashion Designer (IMFD) ingin mengajak para remaja untuk edukasi gaya busana yang sopan dan santun tapi tetep keren. Atau mereka bisa kita bisa wadahi fashion show dengan dengan tidak melupakan budaya Indonesia,” pungkasnya.
Baca Juga: koran-sindo.com
Di daerah penyangga, ruang publik untuk berkreativitas yang dicari remaja tidak banyak tersedia. Di saat yang sama, ruang publik di Dukuh Atas menawarkan keindahan dan kerapihan, cocok untuk lokasi berfoto dan membuat konten karena dianggapinstagramable.
Baca juga: Anies Datangi Citayam Fashion Week di Stasiun MRT Dukuh Atas, Ini Pesannya
"Dipicu minimnya fasilitas publik, termasuk tempat-tempat rekreasi yang murah, dan instagramble. Di wilayah penyangga, fokusnya adalah pembangunan perumahan sehingga lahan pun semakin terbatas," ujar sosiolog asal Universitas Indonesia Ida Ruwaida Sabtu (16/7/2022).
Ida melihat fenomena nongkrong dan juga fashion street pada "Citayam Fashion Week" adalah fenomena subkultur yang lahir dari para remaja yang kreatif. Remaja tersebut berekspresi setelah distimuli oleh gaya hidup urban kosmopolitan yang masif dikonsumsi remaja melalui media sosial.
Baca juga: Berani Beda, Fashion Jalanan Remaja Citayam Diramal Berkembang
Hanya memang, pilihan tempat nongkrong menurut Ida juga mencerminkan status, termasuk kelas sosial. Bagi kelas menengah atas, umumnya nongkrongnya di kafe, mal, yang butuh modal finansial tidak murah. Sedangkan bagi remaja yang masih bergantung secara ekonomi pada orang tua apalagi mereka dari lapis menengah ke bawah, tentu pilihan nongkrong akan disesuaikan dengan kemampuan.
Hal itulah yang mendorong remaja Citayam, Bojong Gede, Depok dan daerah penyangga lain mendatangi ruang publik di Dukuh Atas. Apalagi, selain cantik dan instagramable kawasan tersebut mudah dijangkau dengan transportasi umum massal seperti KRL, Transjakarta, dan MRT.
"Apa salah jika remaja Citayam cari hiburan di Sudirman, Jakarta, di tengah tren healing yang didemonstrasikan oleh selebgram, influencer, yang mampu travel ke tempat-tempat yang mahal?" ujarnya bertanya.
Baca juga: 2 Remaja Citayam Fashion Week Jadi Korban Pemerasan di Dukuh Atas
Dia juga mengingatkan agar remaja Citayam tidak dipandang sebelah mata, apalagi dilihat sebagai "orang luar" yang tiba-tiba merangsek ke Jakarta. Citayam, Bojong Gede dan Depok, menurutnya, adalah bagian dari wilayah penyangga Jakarta. Sejak akhir- 70-an kawasan Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek), sudah diekspansi warga Jakarta, khususnya untuk kebutuhan permukiman.
"Bisa jadi para remaja Citayam dan sekitarnya yang datang ke Dukuh Atas adalah generasi ke-2 atau ke-3 dari para warga Jakarta yang bermukim di daerah suburban," ujarnya.
Ida lantas mengingatkan bahwa pembangunan kota oleh pemerintah daerah mana pun harus memikirkan kesehatan warganya, baik secara fisik maupun mental, termasuk kesehatan sosialnya. Kota-kota perlu ramah bagi anak dan remaja dengan membangun ruang-ruang terbuka yang aman dan nyaman serta memungkinkan warga beraktivitas.
Baca juga: ABG Tanah Abang Ini Raup Cuan Rp900 Ribu per Hari di Citayam Fashion Week, Kok Bisa?
"PR (pekerjaan rumah) negara adalah bagaimana agar remaja-remaja diedukasi agar mampu kreatif, produktif, adaptif, tolerable, bukan hanya terjebak pada budaya konsumtif, dan imitating,"tegasnya
Lebih jauh, dia tidak setuju jika remaja Citayam dinilai melakukan perlawanan budaya atas industri fashion yang banyak membentuk selera fashion masyarakat. Fenomena di Dukuh Atas diumpamakannya serupa dengan kawasan Shinjuku di Jepang yang sebagian areanya seolah menjadi fashion street.
"Saya tidak melihatnya sebagai perlawanan atau counter culture, tapi tetap sebagai subkultur dari para remaja yang kreatif," tandasnya.
Baca juga: Malam Mingguan di Citayam Fashion Week, Begini Gaya ABG Cibitung
Pengamat perkotaan, Nirwono Yoga mengatakan, wilayah Dukuh Atas dipilih untiuk nongkrong oleh pada remaja tanggung asal Citayam dan sekitarnya karena lokasi itu lebih mudah dicapai dengan KRL. Biaya transportasi juga relatif terjangkau. Dukuh atas juga sebagai titik transit dan lalu lalang para pekerja Bodetabek ke Jakarta, sehingga jika mereka berkegiatan seperti ingin memamerkan fashion mereka akan banyak yang menyaksikan meskipun hanya sekilas saat melintasi Terowongan Kendal.
Bukan hanya itu, wilayah tersebut juga sering diekspose berbagai media sosial sehingga banyak yang penasaran. "Itu tidak akan terjadi jika mereka lakukan hal yang sama di stasiun daerah mereka seperti stasiun Citayam, Stasiun Bojonggede, maupun Stasiun Depok, atau bahkan di Stasiun Manggarai atau Stasiun Senen," ungkapnya Minggu (17/07/2022).
Baca juga: Podcast Partai Perindo : Menilik Sisi Positif Citayam Fashion Week
Nirwono juga mengomentari soal fenomena "Citayam Fashion Week". Menurutnya, fenoemena itu belum tentu akan berlangsung lama karena kegiatan tersebut muncul saat liburan sekolah. Artinya ketika sekolah mulai masuk kembali dan tahun ajaran baru dimulai, kegiatan nongkrong fashion street bisa saja tidak akan berlangsung lagi. "Terlebih, jika tidak dikelola dengan baik, kegiatan ini tidak akan berlanjut atau bertahan lama," tandasnya.
Desainer Jeny Tjahyawati mengapresiasi "Citayam Fashion Week" yang tengah menjadi ajang fenomenal pamer gaya busana di kalangan remaja masa kini. Menurut dia, fenomena tersebut dapat berpotensi berkembang menjadi tren baru di Indonesia jika mendapat dukungan yang positif.
“Ini bisa menjadi salah satu sumber inspirasi bagi berbagai pelaku fashion di Indonesia, terutama desainer-desainer muda yang ingin merintis produk busananya," ujar Jeny saat dihubungi Minggu (17/7/2022).
Baca juga: Usai Tolak Beasiswa dari Sandiaga Uno, Roy Citayam Rebut Aspri Hotman Paris
Perancang busana Muslim ini menyanjung gaya busana street wear yang dikenakan para remaja saat wara-wiri di kawasan Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Penampilan itu masih bisa dipadukan lagi dengan kain wastra Nusantara. Misalnya, jeans atau denim bisa digabung dengan batik, tenun atau jumputan sasirangan. Ada juga remaja yang pakai sarung batik dipadu dengan jas.
Jeny pun berharap pemerintah, asosiasi terkait, komunitas pegiat seni desain fashion sekolah fashion hingga industri busana di Tanah Air dapat memberikan wadah serta edukasi guna meningkatkan kreativitas remaja tersebut. Termasuk juga menyediakan kesempatan fasilitas beasiswa bagi mereka untuk menimba ilmu melalui sekolah khusus desain atau fashion.
Baca juga: Fenomena Citayam Fashion Week Bisa Dikembangkan Jadi Potensi Wisata di Jakarta
Bahkan, Jeny secara pribadi siap mengajak para remaja mengikuti Indonesia Modest Fashion Designer (IMFD). Wadah tersebut nantinya dapat menjadi sarana untuk menimba ilmu tentang bagaimana bergaya busana yang sopan, santun dan tetap elegan tanpa meninggalkan budaya asli bangsa Indonesia.
"Insyaallah kita lagi pikirkan. Rencana, Indonesia Modest Fashion Designer (IMFD) ingin mengajak para remaja untuk edukasi gaya busana yang sopan dan santun tapi tetep keren. Atau mereka bisa kita bisa wadahi fashion show dengan dengan tidak melupakan budaya Indonesia,” pungkasnya.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)