Kesalahan Praktik Digitalisasi Pelayanan Publik

Kamis, 14 Juli 2022 - 14:55 WIB
loading...
Kesalahan Praktik Digitalisasi Pelayanan Publik
Muhammad Syafiq (Foto: Ist)
A A A
Muhammad Syafiq
Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara, Alumni Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan, UGM

HANTAMAN gelombang Covid-19 menggambarkan betapa pentingnya penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan publik. Bahkan, jauh sebelum adanya pendemi Covid-19, dorongan untuk melakukan digitalisasi pelayanan publik terus disuarakan oleh para ahli administrasi publik dalam rangka menciptakan pelayanan yang cepat dan efisien serta meghadapi tantangan lingkungan strategis seperti disrupsi inovasi. Dwiyanto (2015) bahkan menganggap bahwa optimalisasi penggunaan teknologi informasi menjadi solusi dalam mengatasi persoalan patologi birokrasi.

Kemunculan pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung dua tahun ini kemudian menjadi pelecut percepatan proses digitalisasi tersebut. Namun demikian, praktik digitalisasi pelayanan publik saat ini belum sesuai dengan harapan. Digitalisasi baru dipandang sebagai proses perubahan dari mekanisme yang bersifat offline ke online.

Tulisan ini berusaha menggambarkan praktik digitalisasi pelayanan publik di Indonesia. Pentingnya proses transformasi digital beserta beberapa kesalahan praktik digitalisasi dalam pelayanan publik.

Hanya Perubahan dari Offline ke Online
Beberapa peristiwa yang terjadi dapat menjadi penanda bahwa terdapat persoalan dalam proses digitalisasi pelayanan publik di Indonesia. Video viral teguran Tri Rismaharini saat menjabat sebagai Wali Kota Surabaya beberapa tahun lalu terkait lambatnya pelayanan administrasi kependudukan menjadi salah satu contohnya. Mantan Wali Kota Surabaya yang sekarang menjabat sebagai menteri sosial tersebut menyayangkan lamanya proses pelayanan administrasi kependudukan di Kota Surabaya meskipun sudah didukung dengan sistem berbasis teknologi informasi yang canggih. Ternyata, prosedur hierarki menjadi akar masalah dari lambatnya pelayanan administrasi kependudukan tersebut.

Proses digitalisasi pelayanan perizinan berusaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga menjadi potret kesalahan penggunaan sistem berbasis teknologi informasi. Hegemoni digitalisasi pelayanan berusaha terjadi di banyak pemerintah daerah. SSW (Surabaya Single Window) yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya, SAKPORE (Sistem Aplikasi Pelayanan Perizinan Online Ringkas dan Ekonomis) oleh Kota Pekalongan, serta SMART (sederhana, mudah, akuntabel, ramah, tepat waktu) oleh Kota Bogor merupakan contoh sistem berbasis online yang muncul dalam hegemoni digitalisasi. Bahkan SAKPORE yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Pekalongan mendapatkan penghargaan TOP 99 dalam Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik 2019 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Namun demikian, pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada Tahun 2018 membangun sistem yang disebut dengan Online Single Submission (OSS). Sistem tersebut bisa dikatakan sebagai sentralisasi pelayanan perizinan usaha dan artinya mendelegitimasi capaian yang sudah dibangun oleh pemerintah daerah. Itu dikarenakan, semua pelayanan perizinan memulai usaha harus melalui sistem OSS.

Fenomena tersebut terjadi karena digitalisasi yang dilakukan tidak secara siginifikan dapat meningkatkan peringkat indeks kemudahan berusaha Indonesia yang secara rutin dikeluarkan oleh World Bank. Indonesia saat ini berada pada posisi 73 dari 180 negara. Capaian tersebut masih jauh dari target yang dibebankan oleh Presiden Jokowi yaitu peringkat 40 pada 2017.

Pelayanan perizinan berusaha pada kenyataannya masih dalam bayang-bayang prosedur yang panjang. Digitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah hanya mengatasi persoalan hilir yang terjadi di Dinas Penananaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTS).

Padahal, apabila merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Reformasi Administrasi-Lembaga Administrasi Negara Tahun 2016, pengusaha di Indonesia harus berhadapan dengan 6 (enam) instansi pemerintah yang berbeda. Ironisnya, sistem yang dibangun oleh beberapa instansi pemerintah tersebut belum terintegrasi. Sehingga muncul istilah yang digunakan oleh para akademisi untuk menggambarkan proses perizinan berusaha di Indonesia yaitu “satu pintu banyak meja”.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1228 seconds (0.1#10.140)