Larang Mudik, Refly Harun Nilai Ada Pelanggaran Hak Asasi oleh Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo menegaskan penerapan larangan mudik demi mencegah penularan virus Corona semakin meluas berlaku mulai 24 April. Larangan itu dipertegas dengan terbitnya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19). (Baca juga: Larangan Mudik, Kakorlantas: Hanya Truk Logistik yang Boleh Keluar Jabodetabek)
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyoalkan legitimasi pemerintah melarang seseorang mudik atau pulang kampung. Secara konstitusional, kata Refly, ada ketentuan yang harus diperhatikan dalam pembatasan mudik atau pulang kampung. Hal itu merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). (Baca juga: Larangan Mudik, Luhut: Pemerintah Tidak Ingin Rakyat Susah)
Dalam Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian, pada ayat (2) menyatakan bahwa Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Jadi pergerakan kita mau ke Jakarta, Palembang, Surabaya, Solo atau ke kota-kota lainnya, itu adalah hak asasi manusia,” kata Refly dalam siaran di Youtube pribadinya bertajuk ‘Mudik vs Pulang Kampung: Maju Kepentok, Mundur Kejedot!’ pada Minggu (26/4/2020).
Dia pun merujuk pada Pasal 28J ayat (2) pada UUD 1945 yang disebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kewajiban orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan itu menurut Refly memang mengandung atau membolehkan adanya pembatasan mudik. Sebab, dalam konstitusi UUD 1945 maupun UU No.39/1999, hak asasi manusia (mudik) itu dapat dibatasi. Asalkan, pembatasannya di dalam undang-undang.
“Lah, kok ini pembatasannya dalam Permenhub. Ini yang menjadi persoalan. Terbitnya Permenhub No. 25/2020 tentang larangan mudik, maka sesungguhnya sudah ada pelanggaran atau pembatasan terhadap hak asasi manusia,” celetuk mantan Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) atau Pelindo I tersebut.
Refly memaklumi pembatasan tersebut bisa dibenarkan karena ada deklarasi dari Presiden Jokowi mengenai darurat kesehatan masyarakat seusai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, deklarasi darurat bencana nasional sesuai UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Namun, dia mempertanyakan ketentuan aturan mana yang dipakai, apakah salah satu atau keduanya. Sebab, berdasarkan asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori, bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior).
“Kalau baca Permenhub tersebut, dasarnya justru UU Kekarantinaan Kesehatan, dimana ada kewenangan pemerintah setelah mengeluarkan status darurat kesehatan masyarakat, untuk melarang orang bepergian keluar dan masuk. Itu artinya karantina wilayah,” ujar eks Komisaris Utama PT Jasa Marga itu.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyoalkan legitimasi pemerintah melarang seseorang mudik atau pulang kampung. Secara konstitusional, kata Refly, ada ketentuan yang harus diperhatikan dalam pembatasan mudik atau pulang kampung. Hal itu merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). (Baca juga: Larangan Mudik, Luhut: Pemerintah Tidak Ingin Rakyat Susah)
Dalam Pasal 27 ayat (1) disebutkan bahwa Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kemudian, pada ayat (2) menyatakan bahwa Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Jadi pergerakan kita mau ke Jakarta, Palembang, Surabaya, Solo atau ke kota-kota lainnya, itu adalah hak asasi manusia,” kata Refly dalam siaran di Youtube pribadinya bertajuk ‘Mudik vs Pulang Kampung: Maju Kepentok, Mundur Kejedot!’ pada Minggu (26/4/2020).
Dia pun merujuk pada Pasal 28J ayat (2) pada UUD 1945 yang disebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kewajiban orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ketentuan itu menurut Refly memang mengandung atau membolehkan adanya pembatasan mudik. Sebab, dalam konstitusi UUD 1945 maupun UU No.39/1999, hak asasi manusia (mudik) itu dapat dibatasi. Asalkan, pembatasannya di dalam undang-undang.
“Lah, kok ini pembatasannya dalam Permenhub. Ini yang menjadi persoalan. Terbitnya Permenhub No. 25/2020 tentang larangan mudik, maka sesungguhnya sudah ada pelanggaran atau pembatasan terhadap hak asasi manusia,” celetuk mantan Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) atau Pelindo I tersebut.
Refly memaklumi pembatasan tersebut bisa dibenarkan karena ada deklarasi dari Presiden Jokowi mengenai darurat kesehatan masyarakat seusai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, deklarasi darurat bencana nasional sesuai UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Namun, dia mempertanyakan ketentuan aturan mana yang dipakai, apakah salah satu atau keduanya. Sebab, berdasarkan asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori, bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior).
“Kalau baca Permenhub tersebut, dasarnya justru UU Kekarantinaan Kesehatan, dimana ada kewenangan pemerintah setelah mengeluarkan status darurat kesehatan masyarakat, untuk melarang orang bepergian keluar dan masuk. Itu artinya karantina wilayah,” ujar eks Komisaris Utama PT Jasa Marga itu.