Menakar Ketajaman Strategi Misi Perdamaian RI

Rabu, 06 Juli 2022 - 16:55 WIB
loading...
A A A
Hal itu dikonfirmasi oleh materi obrolan yang menekankan sejumlah tawaran menarik dari Rusia terhadap Indonesia terkait skema pembangunan energi nuklir dan juga tawaran pembangunan kereta di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur.

Karena itulah, belakangan muncul sejumlah pandangan spekulatif yang menilai bahwa strategi diplomasi yang dilakukan Presiden Jokowi saat berkunjung ke Keiv dan Moskow, lebih mirip gimmick politik yang mencari aman (safe player), dengan menyasar target tujuan jangka pendek berupa kelancaran Forum G20, tanpa bersedia masuk lebih dalam ke ranah substansi penyelesaian konflik Rusia-Ukraina itu sendiri.

Memang benar, agenda penyuksesan forum G20 merupakan kepentingan nasional yang penting dan relevan untuk diperjuangkan guna menyelamatkan kredibilitas, reputasi dan marwah Indonesia di mata dunia. Namun demikian, penekanan pada penggunaan gimmick cenderung tidak banyak mengubah peta konflik dan tidak berpengaruh signifikan pada tujuan besar untuk membangun jembatan komunikasi di antara para elite kekuasaan yang sedang bersengketa.

Di level ini, Istana Kepresidenan dan Kementerian Luar Negeri perlu memberikan penjelasan lebih lanjut kepada publik terkait substansi diplomasi yang dijalankan serta hasil pertemuan Kepala Negara dengan Presiden Rusia dan Ukraina, untuk membuka peluang tindak lanjut bagi seluruh stakeholders, baik di tingkat nasional maupun global, untuk ikut terus membangun dan mengokohkan fondasi perdamaian internasional secara berkelanjutan.

Langkah itu penting dilakukan, mengingat dinamika antaraktor di dalam forum G20 saat ini masih cukup tinggi. Hal itu dibuktikan oleh munculnya usulan boikot G20 di Bali oleh Perdana Menteri Australia jika Putin hadir nanti, lalu munculnya aksi walk out di forum Menteri Keuangan negara-negara anggota G20 di Washington DC, hingga statemen Perdana Menteri Italia yang belakangan seolah sengaja mem-blow up statemen Presiden Jokowi terkait ketidakhadiran Putin di forum G20 nanti, merupakan indikator kuat bagaimana internal G20 masih diselimuti ketidakpastian ini.

Karena itu, langkah diplomasi yang telah dilakukan Presiden Jokowi belakangan ini memang patut diapresiasi. Namun, langkah diplomasi itu perlu didorong untuk masuk lebih mendalam ke ranah substansi. Dialog substantif itulah yang akan menggerakkan mesin diplomasi multilateral untuk menyegerakan proses komunikasi, perundingan, serta genjata senjata, bukan di antara Rusia dan Ukraina, melainkan juga negara-negara besar yang berada di belakang dua pelanduk yang sedang berbenturan ini.

Selain itu, ruang dialogis yang lebih menyentuh ranah substantif itu diharapkan juga bisa mengefektifkan mesin multilateralisme untuk menetralisiasi potensi instabilitas keamanan lain, utamanya di kawasan Laut China Selatan, sengketa kedaulatan China-Taiwan, hingga efek perluasan konflik pasca Rusia-Ukraina yang berpotensi menjalar ke Azerbaijan dan sekitarnya.

Dengan mengarusutamakan diplomasi substantif, marwah Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki peran besar dalam upaya penciptaan perdamaian dunia, penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah, penyelamatan pasokan pangan dan rantai perdagangan global, akan semakin kokoh dan harum di mata dunia.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1233 seconds (0.1#10.140)