Pencegahan Penyakit Tidak Menular, Batasi Gula, Garam, dan Lemak
loading...
A
A
A
Anna Maria Tri Anggraini
Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
GULA, garam, dan lemak (GGL) banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Konsumsi gula, garam, dan lemak berlebih dapat meningkatkan risiko seseorang menderita penyakit tidak menular (PTM). World Health Organizations (WHO) menyatakan bahwa 66% penyebab kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular dan memiliki risiko angka kematian yang cukup tinggi. Angka 66% ini terdiri dari penyakit-penyakit kardiovaskular (Aritmia, kardiomiopati, deep vein thrombosis), penyakit kanker, diabetes, ginjal, stroke dan jantung serta penyakit tidak menular lainnya.
Saat ini, PTM menjadi hal yang krusial dan perlu perhatian khusus. Faktor penyebab PTM antara lain karena pola makan yang tidak sehat, merokok, kurang aktivitas fisik, serta gaya hidup yang tidak sehat.
Pada kelompok usia 56 sampai 65 tahun mengonsumsi garam dan lemak paling tinggi, sedangkan kelompok usia 40 tahun sampai 45 tahun mengonsumsi gula tertinggi. Jenis kelamin perempuan cenderung banyak mengonsumsi gula, garam dan lemak yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Jika mengonsumsi GGL yang tinggi maka perlu mendapat perhatian khusus, karena yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit tidak menular seperti hipertensi dan diabetes mellitus kronis yang prevalensinya di Indonesia semakin meningkat.
Persentase faktor risiko konsumsi masyarakat penyebab kematian PTM di Indonesia meliputi konsumsi minuman ringan berpemanis, konsumsi tinggi daging merah, konsumsi tinggi lemak trans, kurang konsumsi sayur-sayuran, kurang konsumsi serat, kurang konsumsi buah, dan konsumsi tinggi garam. Tren hipertensi, stroke, diabetes, dan ginjal kronis di Indonesia meningkat menurut Data Riskesdas Kemenkes 2018 sebanyak Hipertensi (34.1%), Stroke (10.9%), Diabetes (2%), dan Ginjal Kronis (3.8%).
Informasi dan Kebutuhan Gula, Garam, dan Lemak
Kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) dapat dilihat konsumen pada kemasan makanan dengan membaca keterangan pada label kemasan produk sebelum membeli makanan atau minuman. Tabel pada kemasan akan menginformasikan nilai nutrisi pada produk termasuk jumlah kandungan gula, garam, dan lemak. Kadar total GGL dalam kemasan makanan dan minuman tertera pada Informasi Nilai Gizi (ING) dengan nilai jumlah sajian per kemasan.
Berdasarkan panduan World Health Organization (WHO) mengenai aturan konsumsi GGL per hari, acuan konsumsi gula berdasarkan usia, dewasa tidak lebih dari 30 gram (7 sendok teh) per hari, anak-anak (7-10 tahun) tidak lebih dari 24 gram (6 sendok teh) per hari, dan anak-anak 2-6 tahun tidak lebih dari 19 gram (4 sendok teh) per hari. Batas maksimal konsumsi garam untuk usia kurang dari 1 tahun adalah 1 gram per hari, 1-3 tahun sebesar 2 gram per hari, 4-6 tahun sebesar 3 gram (1/2 sendok teh) per hari 7-10 tahun sebesar 5 gram per hari, dan 11 tahun ke atas sebesar 6 gram (1 sendok teh) per hari. Adapun acuan konsumsi lemak harian sebesar 5 sendok makan (67 gram) untuk anak-anak dan dewasa.
Kewajiban Pencantuman Informasi GGL
Pelaku industri makanan dan minuman di Indonesia telah diwajibkan untuk mencantumkan pesan kesehatan, sesuai dalam pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan Untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Pesan Kesehatan memuat informasi bahwa konsumsi gula lebih dari 50 gram, natrium lebih dari 2000 miligram, atau lemak total lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung.
Berdasarkan Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 Pasal 9, terdapat penetapan sanksi bagi produk yang tidak mencantumkan Informasi GGL pada kemasan. Pada kenyataannya, penerapan sanksi tersebut belum dilakukan oleh dinas-dinas di daerah. Contohnya, di Kota Tangerang Selatan dan Semarang masih banyak pelaku usaha mikro kecil (UMK) yang tidak mencantumkan takaran GGL dan Informasi Nilai Gizi (ING) pada kemasan produknya.
Di tingkat daerah seperti Kota Semarang, belum terdapat sosialisasi terkait kewajiban menyantumkan informasi GGL pada kemasan produk. Pengawasan Informasi Nilai Gizi (ING) dan pesan kesehatan juga belum dilakukan. Sosialisasi kepada konsumen mengenai informasi GGL juga masih kurang. Pelaku usaha jenis skala usaha kecil dan menengah hanya memiliki P-IRT dalam kemasan. Dalam proses penerbitan izin PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga), sampai saat ini belum ada kewajiban untuk mencantumkan nilai GGL dalam label produk sebagai salah satu persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pelaku usaha UMKM mengaku tidak mengetahui kewajiban pencatuman ING dan GGL dikarenakan belum ada sosialisasi dan pemberitahuan dari Dinas terkait. Selain itu, tren pencantuman ING pada UMK belum meningkat dikarenakan kendala pengujian di lab dan masih terganjal oleh pembiayaan. Di Kota Tangerang Selatan, akses informasi terhadap GGL pada produk masih belum menjadi prioritas utama pemerintah daerah karena pemerintah daerah masih mengutamakan ketersediaan bahan pokok penting di masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa regulasi yang dibentuk oleh pemerintah pusat terlihat belum secara optimal dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Langkah yang harus Ditempuh Pemerintah
Berdasarkan permasalahan tersebut, beberapa langkah bisa diambil untuk meminimalkan konsumsi GGL berlebih di masyarakat. Langkah tersebut mencakup aspek regulasi, reformulasi pangan, penetapan pajak/cukai, studi, dan edukasi. Label pangan dan pesan kesehatan dapat membantu konsumen untuk memilih dan memilah pangan sebagai salah satu cara untuk menjaga kesehatan. Konsumsi GGL berlebih dapat dicegah dengan mengedukasi masyarakat salah satunya melalui pesan kesehatan pada pangan olahan dan pangan siap saji. Diperlukan juga sinergi yang baik antara pemerintah sebagai pembuat regulasi dengan para pelaku usaha yang akan menerapkan pencantuman informasi kandungan GGL sebagai upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
Kementerian Kesehatan perlu melakukan pembaharuan studi tentang paparan terkait kandungan GGL pada berbagai macam produk pangan olahan dan pangan siap saji melalui Total Diet Study (TDS). Pemerintah pusat dan daerah perlu bersinergi untuk melakukan pengawasan serta pemberian sanksi jika terdapat pelaku usaha UMKM yang tidak mencantumkan ING GGL dan pesan kesehatan pada kemasan produk. Pemberian sanksi juga diberikan kepada pelaku usaha yang melanggar klaim zat gizi/label gizi sesuai dengan Pasal 28 Peraturan BPOM Nomor 1 Tahun 2022.
Selanjutnya, Dinas Kesehatan perlu melakukan pembinaan serta monitoring label ING untuk mendukung pencantuman P-IRT (OSS), pesan kesehatan, dan takaran GGL pada pelaku usaha baik mikro, kecil, dan menengah dalam kemasan produk makanan dan minuman. Terakhir, edukasi guna meningkatkan kesadaran konsumsi GGL konsumen agar terhindar dari penyakit tidak menular, dapat dilakukan melalui tayangan iklan layanan masyarakat.
Konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) memang diperlukan oleh tubuh, namun jika jumlah yang dikonsumsi berlebih hal ini akan meningkatkan rIsiko konsumen mengidap Penyakit Tidak Menular (PTM). Terkait dengan hal tersebut, pelaku usaha dan pemerintah dapat bersinergi terkait pencantuman ING GGL dan pesan kesehatan dalam suatu produk. Dari sisi konsumen, perlu peningkatan edukasi terkait pengetahuan jumlah kadar aman konsumsi GGL dan edukasi mengenai perilaku membaca label pada kemasan.
PTM bisa dicegah dengan pola hidup sehat serta membatasi mengonsumsi gula, garam, dan lemak sesuai dengan aturan WHO. Konsumen dapat melihat Informasi Nilai Gizi (ING) pada label kemasan untuk membatasi konsumsi GGL yang berlebihan pada pangan olahan dalam kemasan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
GULA, garam, dan lemak (GGL) banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Konsumsi gula, garam, dan lemak berlebih dapat meningkatkan risiko seseorang menderita penyakit tidak menular (PTM). World Health Organizations (WHO) menyatakan bahwa 66% penyebab kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular dan memiliki risiko angka kematian yang cukup tinggi. Angka 66% ini terdiri dari penyakit-penyakit kardiovaskular (Aritmia, kardiomiopati, deep vein thrombosis), penyakit kanker, diabetes, ginjal, stroke dan jantung serta penyakit tidak menular lainnya.
Saat ini, PTM menjadi hal yang krusial dan perlu perhatian khusus. Faktor penyebab PTM antara lain karena pola makan yang tidak sehat, merokok, kurang aktivitas fisik, serta gaya hidup yang tidak sehat.
Pada kelompok usia 56 sampai 65 tahun mengonsumsi garam dan lemak paling tinggi, sedangkan kelompok usia 40 tahun sampai 45 tahun mengonsumsi gula tertinggi. Jenis kelamin perempuan cenderung banyak mengonsumsi gula, garam dan lemak yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Jika mengonsumsi GGL yang tinggi maka perlu mendapat perhatian khusus, karena yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit tidak menular seperti hipertensi dan diabetes mellitus kronis yang prevalensinya di Indonesia semakin meningkat.
Persentase faktor risiko konsumsi masyarakat penyebab kematian PTM di Indonesia meliputi konsumsi minuman ringan berpemanis, konsumsi tinggi daging merah, konsumsi tinggi lemak trans, kurang konsumsi sayur-sayuran, kurang konsumsi serat, kurang konsumsi buah, dan konsumsi tinggi garam. Tren hipertensi, stroke, diabetes, dan ginjal kronis di Indonesia meningkat menurut Data Riskesdas Kemenkes 2018 sebanyak Hipertensi (34.1%), Stroke (10.9%), Diabetes (2%), dan Ginjal Kronis (3.8%).
Informasi dan Kebutuhan Gula, Garam, dan Lemak
Kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) dapat dilihat konsumen pada kemasan makanan dengan membaca keterangan pada label kemasan produk sebelum membeli makanan atau minuman. Tabel pada kemasan akan menginformasikan nilai nutrisi pada produk termasuk jumlah kandungan gula, garam, dan lemak. Kadar total GGL dalam kemasan makanan dan minuman tertera pada Informasi Nilai Gizi (ING) dengan nilai jumlah sajian per kemasan.
Berdasarkan panduan World Health Organization (WHO) mengenai aturan konsumsi GGL per hari, acuan konsumsi gula berdasarkan usia, dewasa tidak lebih dari 30 gram (7 sendok teh) per hari, anak-anak (7-10 tahun) tidak lebih dari 24 gram (6 sendok teh) per hari, dan anak-anak 2-6 tahun tidak lebih dari 19 gram (4 sendok teh) per hari. Batas maksimal konsumsi garam untuk usia kurang dari 1 tahun adalah 1 gram per hari, 1-3 tahun sebesar 2 gram per hari, 4-6 tahun sebesar 3 gram (1/2 sendok teh) per hari 7-10 tahun sebesar 5 gram per hari, dan 11 tahun ke atas sebesar 6 gram (1 sendok teh) per hari. Adapun acuan konsumsi lemak harian sebesar 5 sendok makan (67 gram) untuk anak-anak dan dewasa.
Kewajiban Pencantuman Informasi GGL
Pelaku industri makanan dan minuman di Indonesia telah diwajibkan untuk mencantumkan pesan kesehatan, sesuai dalam pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan Untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Pesan Kesehatan memuat informasi bahwa konsumsi gula lebih dari 50 gram, natrium lebih dari 2000 miligram, atau lemak total lebih dari 67 gram per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung.
Berdasarkan Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 Pasal 9, terdapat penetapan sanksi bagi produk yang tidak mencantumkan Informasi GGL pada kemasan. Pada kenyataannya, penerapan sanksi tersebut belum dilakukan oleh dinas-dinas di daerah. Contohnya, di Kota Tangerang Selatan dan Semarang masih banyak pelaku usaha mikro kecil (UMK) yang tidak mencantumkan takaran GGL dan Informasi Nilai Gizi (ING) pada kemasan produknya.
Di tingkat daerah seperti Kota Semarang, belum terdapat sosialisasi terkait kewajiban menyantumkan informasi GGL pada kemasan produk. Pengawasan Informasi Nilai Gizi (ING) dan pesan kesehatan juga belum dilakukan. Sosialisasi kepada konsumen mengenai informasi GGL juga masih kurang. Pelaku usaha jenis skala usaha kecil dan menengah hanya memiliki P-IRT dalam kemasan. Dalam proses penerbitan izin PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga), sampai saat ini belum ada kewajiban untuk mencantumkan nilai GGL dalam label produk sebagai salah satu persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pelaku usaha UMKM mengaku tidak mengetahui kewajiban pencatuman ING dan GGL dikarenakan belum ada sosialisasi dan pemberitahuan dari Dinas terkait. Selain itu, tren pencantuman ING pada UMK belum meningkat dikarenakan kendala pengujian di lab dan masih terganjal oleh pembiayaan. Di Kota Tangerang Selatan, akses informasi terhadap GGL pada produk masih belum menjadi prioritas utama pemerintah daerah karena pemerintah daerah masih mengutamakan ketersediaan bahan pokok penting di masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa regulasi yang dibentuk oleh pemerintah pusat terlihat belum secara optimal dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Langkah yang harus Ditempuh Pemerintah
Berdasarkan permasalahan tersebut, beberapa langkah bisa diambil untuk meminimalkan konsumsi GGL berlebih di masyarakat. Langkah tersebut mencakup aspek regulasi, reformulasi pangan, penetapan pajak/cukai, studi, dan edukasi. Label pangan dan pesan kesehatan dapat membantu konsumen untuk memilih dan memilah pangan sebagai salah satu cara untuk menjaga kesehatan. Konsumsi GGL berlebih dapat dicegah dengan mengedukasi masyarakat salah satunya melalui pesan kesehatan pada pangan olahan dan pangan siap saji. Diperlukan juga sinergi yang baik antara pemerintah sebagai pembuat regulasi dengan para pelaku usaha yang akan menerapkan pencantuman informasi kandungan GGL sebagai upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
Kementerian Kesehatan perlu melakukan pembaharuan studi tentang paparan terkait kandungan GGL pada berbagai macam produk pangan olahan dan pangan siap saji melalui Total Diet Study (TDS). Pemerintah pusat dan daerah perlu bersinergi untuk melakukan pengawasan serta pemberian sanksi jika terdapat pelaku usaha UMKM yang tidak mencantumkan ING GGL dan pesan kesehatan pada kemasan produk. Pemberian sanksi juga diberikan kepada pelaku usaha yang melanggar klaim zat gizi/label gizi sesuai dengan Pasal 28 Peraturan BPOM Nomor 1 Tahun 2022.
Selanjutnya, Dinas Kesehatan perlu melakukan pembinaan serta monitoring label ING untuk mendukung pencantuman P-IRT (OSS), pesan kesehatan, dan takaran GGL pada pelaku usaha baik mikro, kecil, dan menengah dalam kemasan produk makanan dan minuman. Terakhir, edukasi guna meningkatkan kesadaran konsumsi GGL konsumen agar terhindar dari penyakit tidak menular, dapat dilakukan melalui tayangan iklan layanan masyarakat.
Konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) memang diperlukan oleh tubuh, namun jika jumlah yang dikonsumsi berlebih hal ini akan meningkatkan rIsiko konsumen mengidap Penyakit Tidak Menular (PTM). Terkait dengan hal tersebut, pelaku usaha dan pemerintah dapat bersinergi terkait pencantuman ING GGL dan pesan kesehatan dalam suatu produk. Dari sisi konsumen, perlu peningkatan edukasi terkait pengetahuan jumlah kadar aman konsumsi GGL dan edukasi mengenai perilaku membaca label pada kemasan.
PTM bisa dicegah dengan pola hidup sehat serta membatasi mengonsumsi gula, garam, dan lemak sesuai dengan aturan WHO. Konsumen dapat melihat Informasi Nilai Gizi (ING) pada label kemasan untuk membatasi konsumsi GGL yang berlebihan pada pangan olahan dalam kemasan.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)