Buru Gerombolan Kahar Muzakkar, Jenderal Kopassus Ini Termangu Tembak Musuh di Misi Pertama
loading...
A
A
A
JAKARTA - Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini berganti nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) merupakan pasukan elite TNI AD yang memiliki kemampuan khusus seperti bergerak cepat di setiap medan, menembak tepat, dan antiteror. Fisik yang kuat dan mental baja merupakan hal mutlak yang harus dimiliki prajurit Kopassus.
Meski prajurit Kopassus merupakan orang-orang terpilih, namun mereka tetaplah manusia. Ketika dihadapkan pada operasi militer dengan medan yang berat, ada kalanya para prajurit dihantui kecemasan, rasa takut, bahkan shock. Bahkan, nyali mereka kerap diuji dalam menghadapi medan yang tidak pernah bisa ditebak kondisinya. Baca Juga: Mengenal Detasemen 81 Kopassus yang Dibentuk Prabowo dan Luhut
Hal itu dirasakan oleh pentolan Korps Baret Merah Letjen TNI (Purn) Soegito. Ia membagikan pengalamannya ketika menjadi Perwira Pertama RPKAD pada tahun 1964 dalam misi pertamanya untuk mengejar gerombolan DI/TII di belantara Sulawesi yang dipimpin Kahar Muzakkar.
Dikutip dari Buku Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen, dari sejumlah perwira yang dinyatakan lulus seleksi, tidak semuanya diberi kesempatan langsung mengikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando Angkatan Darat di Batujajar, Jawa Barat. Sebaliknya mereka dipecah ke dalam dua kelompok ada yang langsung mengikuti pendidikan komando di Batujajar, namun ada juga yang dikirim ke daerah operasi di Sulawesi Selatan.
Kelompok pertama terpilih untuk melanjutkan ke pendidikan dasar komando, karena katanya sudah mempunyai pengalaman operasi. Mereka adalah Letda Inf Eddie Sudrajat, Letda Inf Feisal Tanjung, dan Letda Inf Kentot Harseno. Mereka menjadi angkatan pertama lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) yang mengikuti pendidikan dasar komando RPKAD di Batujajar tahun 1964.
Sementara kelompok kedua sebanyak tujuh perwira remaja, berdasarkan Surat Perintah Komandan RPKAD Kolonel Inf Moeng Parahadimulyo (NRP 11662) No. Sprin-192/11/1964 tanggal 23 November 1964, diberangkatkan ke Sulawesi untuk bergabung dengan markas komando Operasi Tumpas yang dipimpin Pangdam XIV/ Hasanuddin Brigjen TNI Andi Mochammad Jusuf. Komando ini dibentuk untuk mengejar gerombolan DI/TII.
Para perwira muda yang dikirim ke Sulawesi adalah Letda Inf Soegito, Letda Inf Sembiring Meliala, Letda Inf Roedito, Letda Inf Joko Lelono, Letda Inf Warsito, Letda Inf Soetedjo, dan Letda CHB Bachtiar. Soegito mengambil sisi positifnya dengan masuk kelompok kedua latihan komando. "Saya bisa langsung dapat pengalaman operasi."
Para perwira muda berpangkat letnan dua ini diberangkatkan dengan menumpang kapal laut ke Ujung Pandang dengan stop over di Surabaya. Masing-masing membawa perlengkapan termasuk senapan AK-47. Karena sudah berkualifiasi Para, Soegito sebenarnya boleh saja mengenakan baret merah, namun tidak dilakukannya dan lebih memilih memakai topi pet saja. "Malu," ujarnya singkat.
Perjalanan kapal yang cukup menyiksa, terutama saat kapal menyeberangi Laut Jawa, merontokkan nyali sebagian dari mereka karena mabuk laut. Setibanya di Ujung Pandang mereka mendapat informasi bahwa yuniornya yang sudah lebih dulu tiba seperti Letda Inf Sintong Panjaitan dan Letda Inf Wismoyo sudah dikirim ke lapangan.
Mereka sudah lebih dulu menjadi organik RPKAD, karena usai kursus infanteri langsung ke baret merah namun belum mengikuti latihan komando. Karena sewaktu kursus infanteri belum mendapatkan pendidikan Para, mereka juga belum boleh memakai baret merah.
Dari Ujung Pandang, rombongan kecil ini digeser ke Parepare dengan menumpang truk militer. Di sepanjang perjalanan ke Parepare, mereka melihat banyak tentara berjaga di beberapa pos yang sudah dikuasai pasukan TNI. Beberapa wilayah juga sengaja dikosongkan untuk memisahkan secara jelas antara gerombolan bersenjata dan rakyat.
Setibanya di Parepare, mereka mulai dipisah sesuai penempatan masing-masing. Mereka yang mendaptakan penempatan jauh di pelosok dikirim dengan Helikopter Mi-4 Hound milik Skadron 6 AURI yang sengaja menempatkan satu flight berkekuatan lima heli di Pakue. Dengan heli ini mereka didrop ke lokasi penugasan dengan rincian satu perwira satu point.
Soegito diturunkan di Tanah Batue, sebuah kampung kecil di pedalaman yang masuk wilayah Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Karena merasa penugasannya tidak akan lama, Soegito meninggalkan pakaian cadangannya di Parepare.
Di Tanah Batue sudah ada satu kompi dengan komandan Lettu Rahman. Belum lama Soegito bergabung di kompi ini, Letnan Rahman mendapat cuti dari tugas, yang otomatis menempatkan Soegito sebagai komandan kompi pengganti. Kondisi serupa juga dialami Soetedjo dan mungkin beberapa perwira yang lainnya. Sepertinya sudah menjadi kebijakan dari komando atas untuk mengistirahatkan komandan kompi, supaya memberikan kesempatan kepada para perwira remaja mendapatkan pengalaman operasi tempur.
Saat mengunjungi kompinya, komandan batalion Mayor Andi Bustam menenangkan Soegito agar tidak khawatir karena semuanya sudah berjalan. Soegito hanya tinggal meneruskannya saja. Ingat pesan Kolonel Moeng sebelum berangkat untuk memanfaatkan kesempatan penugasan dengan mencari pengalaman tempur sebanyak mungkin, Soegito pun berinisiatif bergabung dengan peleton yang memiliki kemungkinan kontak tembak paling tinggi.
Kesempatan itu pun tiba. Dilaporkan ada gerombolan yang dicurigai sebagai pengikut Kahar Muzakkar, dalam perjalanan ke sebuah lokasi yang belum diketahui. Dibutuhkan waktu beberapa hari untuk menjangkau posisi gerombolan ini.
Tanpa menunggu aba-aba lagi, Soegito langsung memutuskan untuk bergabung dengan peleton pemburu yang disiapkan. Di dalam dirinya hanya ada semangat stoottroepen untuk memburu dan mendapatkan target. Pengalaman operasi yang akan meninggalkan kesan terdalam baginya kelak.
Setelah beberapa hari menelusuri hutan dan sempat kembali merasakan sakit di bagian kakinya, peleton ini tiba di sebuah lokasi yang rupanya tidak jauh dari posisi gerombolan yang diburu. Kontak tembak langsung terjadi. Posisi Soegito yang agak di belakang, menyulitkannya untuk mendapatkan keterangan detail posisi musuh dari komandan regu atau komandan peleton.
Tiba-tiba saja terlihat dua orang berlari dari balik pepohonan sambil membawa senjata. Reflek, Soegito langsung memberondongkan AK-47 ke arah dua laki-laki itu. Mereka langsung roboh diterjang timah panas kaliber 7,62 milimeter.
"Tampias Pak, tampias," ujar seorang bintara, yang maksudnya musuh jatuh karena tembakan. Soegito lalu mendatangi korban yang katanya dari tembakan senjatanya, meski ia tidak terlalu yakin.
Sambil berdiri di depan mayat itu, lama Soegito termangu, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Benaknya berkecamuk, pikirannya menerawang tidak jelas, dan suara-suara halus bersahutan di batinnya saling berperang.
"Pertama kali saya bunuh orang meski saya tidak yakin betul apakah itu tembakan saya atau dari anggota yang lain," keluh Soegito. Para anggota mengatakan tidak menembak ke arah sasaran itu. Misi pertama dan kontak senjata pertama, yang langsung menjatuhkan korban di pihak lawan.
Bintaranya yang melihat perubahan sikap di dirinya setelah itu, kemudian menegur dan membesarkan hatinya. Dia bilang, lupakan saja kejadian tadi, karena begitulah hukumnya dalam bertempur, kalau kita tidak menembak maka kita yang ditembak.
"Saya merasa shock, saya tidak pernah menceritakan hal ini kepada teman-teman, bahkan sampai sekarang," ujar Soegito.
Menurutnya selain shock, ada perasaan malu jika kondisi ini diceritakannya kepada teman-temannya. Rasa yang hampir sama kembali dialaminya saat perwiranya Mayor Inf Atang Sutresna, gugur bersama beberapa anggota lainnya pada hari pertama Operasi Seroja di Dili, 7 Desember 1975.
Tidak lama kemudian Operasi Kilat dinyatakan selesai setelah Kahar Muzakkar berhasil ditembak mati pada 3 Februari 1965. Mantan Dangrup 1 RPKAD ini dan teman-temannya yang lain kembali ditarik ke Cijantung, dipulangkan dengan menumpang pesawat terbang. Setibanya di Cijantung, kelompok perwira ini langsung diminta mempersiapkan diri guna mengikuti fatihan komando di Batujajar.
Selama puluhan tahun pengalaman traumatik kontak tembak pertama itu membeku di benak pria yang pernah menjabat Pangkostrad ini. Karena bisa mengendalikan emosinya, peristiwa itu memang tidak sampai membuatnya ragu-ragu dalam bertindak. Sebaliknya peristiwa itu dijadikannya bekal berharga untuk menghadapi medan penugasan selanjutnya yang lebih berat.
Suatu hari kelak sebagai Pangdam Jaya, Soegito berkesempatan memberikan bantuan peralatan anti huru-hara untuk Akademi Militer di Magelang. Saat itu ia didaulat memberikan pengarahan kepada seluruh taruna, termasuk menceritakan pengalaman operasinya. Secara tidak sengaja, peristiwa traumatik ini terlontar begitu saja dari mulutnya di depan hadirin.
Meski prajurit Kopassus merupakan orang-orang terpilih, namun mereka tetaplah manusia. Ketika dihadapkan pada operasi militer dengan medan yang berat, ada kalanya para prajurit dihantui kecemasan, rasa takut, bahkan shock. Bahkan, nyali mereka kerap diuji dalam menghadapi medan yang tidak pernah bisa ditebak kondisinya. Baca Juga: Mengenal Detasemen 81 Kopassus yang Dibentuk Prabowo dan Luhut
Hal itu dirasakan oleh pentolan Korps Baret Merah Letjen TNI (Purn) Soegito. Ia membagikan pengalamannya ketika menjadi Perwira Pertama RPKAD pada tahun 1964 dalam misi pertamanya untuk mengejar gerombolan DI/TII di belantara Sulawesi yang dipimpin Kahar Muzakkar.
Dikutip dari Buku Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen, dari sejumlah perwira yang dinyatakan lulus seleksi, tidak semuanya diberi kesempatan langsung mengikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando Angkatan Darat di Batujajar, Jawa Barat. Sebaliknya mereka dipecah ke dalam dua kelompok ada yang langsung mengikuti pendidikan komando di Batujajar, namun ada juga yang dikirim ke daerah operasi di Sulawesi Selatan.
Kelompok pertama terpilih untuk melanjutkan ke pendidikan dasar komando, karena katanya sudah mempunyai pengalaman operasi. Mereka adalah Letda Inf Eddie Sudrajat, Letda Inf Feisal Tanjung, dan Letda Inf Kentot Harseno. Mereka menjadi angkatan pertama lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) yang mengikuti pendidikan dasar komando RPKAD di Batujajar tahun 1964.
Sementara kelompok kedua sebanyak tujuh perwira remaja, berdasarkan Surat Perintah Komandan RPKAD Kolonel Inf Moeng Parahadimulyo (NRP 11662) No. Sprin-192/11/1964 tanggal 23 November 1964, diberangkatkan ke Sulawesi untuk bergabung dengan markas komando Operasi Tumpas yang dipimpin Pangdam XIV/ Hasanuddin Brigjen TNI Andi Mochammad Jusuf. Komando ini dibentuk untuk mengejar gerombolan DI/TII.
Para perwira muda yang dikirim ke Sulawesi adalah Letda Inf Soegito, Letda Inf Sembiring Meliala, Letda Inf Roedito, Letda Inf Joko Lelono, Letda Inf Warsito, Letda Inf Soetedjo, dan Letda CHB Bachtiar. Soegito mengambil sisi positifnya dengan masuk kelompok kedua latihan komando. "Saya bisa langsung dapat pengalaman operasi."
Para perwira muda berpangkat letnan dua ini diberangkatkan dengan menumpang kapal laut ke Ujung Pandang dengan stop over di Surabaya. Masing-masing membawa perlengkapan termasuk senapan AK-47. Karena sudah berkualifiasi Para, Soegito sebenarnya boleh saja mengenakan baret merah, namun tidak dilakukannya dan lebih memilih memakai topi pet saja. "Malu," ujarnya singkat.
Perjalanan kapal yang cukup menyiksa, terutama saat kapal menyeberangi Laut Jawa, merontokkan nyali sebagian dari mereka karena mabuk laut. Setibanya di Ujung Pandang mereka mendapat informasi bahwa yuniornya yang sudah lebih dulu tiba seperti Letda Inf Sintong Panjaitan dan Letda Inf Wismoyo sudah dikirim ke lapangan.
Mereka sudah lebih dulu menjadi organik RPKAD, karena usai kursus infanteri langsung ke baret merah namun belum mengikuti latihan komando. Karena sewaktu kursus infanteri belum mendapatkan pendidikan Para, mereka juga belum boleh memakai baret merah.
Dari Ujung Pandang, rombongan kecil ini digeser ke Parepare dengan menumpang truk militer. Di sepanjang perjalanan ke Parepare, mereka melihat banyak tentara berjaga di beberapa pos yang sudah dikuasai pasukan TNI. Beberapa wilayah juga sengaja dikosongkan untuk memisahkan secara jelas antara gerombolan bersenjata dan rakyat.
Setibanya di Parepare, mereka mulai dipisah sesuai penempatan masing-masing. Mereka yang mendaptakan penempatan jauh di pelosok dikirim dengan Helikopter Mi-4 Hound milik Skadron 6 AURI yang sengaja menempatkan satu flight berkekuatan lima heli di Pakue. Dengan heli ini mereka didrop ke lokasi penugasan dengan rincian satu perwira satu point.
Soegito diturunkan di Tanah Batue, sebuah kampung kecil di pedalaman yang masuk wilayah Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Karena merasa penugasannya tidak akan lama, Soegito meninggalkan pakaian cadangannya di Parepare.
Di Tanah Batue sudah ada satu kompi dengan komandan Lettu Rahman. Belum lama Soegito bergabung di kompi ini, Letnan Rahman mendapat cuti dari tugas, yang otomatis menempatkan Soegito sebagai komandan kompi pengganti. Kondisi serupa juga dialami Soetedjo dan mungkin beberapa perwira yang lainnya. Sepertinya sudah menjadi kebijakan dari komando atas untuk mengistirahatkan komandan kompi, supaya memberikan kesempatan kepada para perwira remaja mendapatkan pengalaman operasi tempur.
Saat mengunjungi kompinya, komandan batalion Mayor Andi Bustam menenangkan Soegito agar tidak khawatir karena semuanya sudah berjalan. Soegito hanya tinggal meneruskannya saja. Ingat pesan Kolonel Moeng sebelum berangkat untuk memanfaatkan kesempatan penugasan dengan mencari pengalaman tempur sebanyak mungkin, Soegito pun berinisiatif bergabung dengan peleton yang memiliki kemungkinan kontak tembak paling tinggi.
Kesempatan itu pun tiba. Dilaporkan ada gerombolan yang dicurigai sebagai pengikut Kahar Muzakkar, dalam perjalanan ke sebuah lokasi yang belum diketahui. Dibutuhkan waktu beberapa hari untuk menjangkau posisi gerombolan ini.
Tanpa menunggu aba-aba lagi, Soegito langsung memutuskan untuk bergabung dengan peleton pemburu yang disiapkan. Di dalam dirinya hanya ada semangat stoottroepen untuk memburu dan mendapatkan target. Pengalaman operasi yang akan meninggalkan kesan terdalam baginya kelak.
Setelah beberapa hari menelusuri hutan dan sempat kembali merasakan sakit di bagian kakinya, peleton ini tiba di sebuah lokasi yang rupanya tidak jauh dari posisi gerombolan yang diburu. Kontak tembak langsung terjadi. Posisi Soegito yang agak di belakang, menyulitkannya untuk mendapatkan keterangan detail posisi musuh dari komandan regu atau komandan peleton.
Tiba-tiba saja terlihat dua orang berlari dari balik pepohonan sambil membawa senjata. Reflek, Soegito langsung memberondongkan AK-47 ke arah dua laki-laki itu. Mereka langsung roboh diterjang timah panas kaliber 7,62 milimeter.
"Tampias Pak, tampias," ujar seorang bintara, yang maksudnya musuh jatuh karena tembakan. Soegito lalu mendatangi korban yang katanya dari tembakan senjatanya, meski ia tidak terlalu yakin.
Sambil berdiri di depan mayat itu, lama Soegito termangu, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Benaknya berkecamuk, pikirannya menerawang tidak jelas, dan suara-suara halus bersahutan di batinnya saling berperang.
"Pertama kali saya bunuh orang meski saya tidak yakin betul apakah itu tembakan saya atau dari anggota yang lain," keluh Soegito. Para anggota mengatakan tidak menembak ke arah sasaran itu. Misi pertama dan kontak senjata pertama, yang langsung menjatuhkan korban di pihak lawan.
Bintaranya yang melihat perubahan sikap di dirinya setelah itu, kemudian menegur dan membesarkan hatinya. Dia bilang, lupakan saja kejadian tadi, karena begitulah hukumnya dalam bertempur, kalau kita tidak menembak maka kita yang ditembak.
"Saya merasa shock, saya tidak pernah menceritakan hal ini kepada teman-teman, bahkan sampai sekarang," ujar Soegito.
Menurutnya selain shock, ada perasaan malu jika kondisi ini diceritakannya kepada teman-temannya. Rasa yang hampir sama kembali dialaminya saat perwiranya Mayor Inf Atang Sutresna, gugur bersama beberapa anggota lainnya pada hari pertama Operasi Seroja di Dili, 7 Desember 1975.
Tidak lama kemudian Operasi Kilat dinyatakan selesai setelah Kahar Muzakkar berhasil ditembak mati pada 3 Februari 1965. Mantan Dangrup 1 RPKAD ini dan teman-temannya yang lain kembali ditarik ke Cijantung, dipulangkan dengan menumpang pesawat terbang. Setibanya di Cijantung, kelompok perwira ini langsung diminta mempersiapkan diri guna mengikuti fatihan komando di Batujajar.
Selama puluhan tahun pengalaman traumatik kontak tembak pertama itu membeku di benak pria yang pernah menjabat Pangkostrad ini. Karena bisa mengendalikan emosinya, peristiwa itu memang tidak sampai membuatnya ragu-ragu dalam bertindak. Sebaliknya peristiwa itu dijadikannya bekal berharga untuk menghadapi medan penugasan selanjutnya yang lebih berat.
Suatu hari kelak sebagai Pangdam Jaya, Soegito berkesempatan memberikan bantuan peralatan anti huru-hara untuk Akademi Militer di Magelang. Saat itu ia didaulat memberikan pengarahan kepada seluruh taruna, termasuk menceritakan pengalaman operasinya. Secara tidak sengaja, peristiwa traumatik ini terlontar begitu saja dari mulutnya di depan hadirin.
(kri)