Politikus PAN: RUU HIP Bisa Jadi Alat Politik Penguasa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Desakan kepada DPR dan pemerintah untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undangan Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus meluas. Pembahasan RUU tersebut dinilai telah menabrak banyak norma.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Nazaruddin memberikan sejumlah catatan kritis tentang isi RUU HIP yang bertentangan dengan peraturan lain dan pemahaman rakyat Indonesia.
Pertama, adanya RUU HIP akan menempatkan Pancasila sebagai norma dalam Undang-Undang (UU). “Berarti telah mendegradasikan Pancasila, juga bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum,” ujar Nazaruddin dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (25/6/2020). (Infografis: Ini RUU HIP yang Picu Kontroversi dan Ditolak Ramai-rama i)
Kedua, ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dijadikan dasar hukum berpotensi membuat UU ini mengatur banyak urusan dan tumpang tindih dengan peraturan lainnya. Catatan ketiga, kata Nazaruddin, Pasal 3 RUU HIP menggunakan istilah yang berbeda dengan rumusan Pancasila dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Hanya menyebutkan: ketuhanan (dengan k kecil), kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi, dan keadilan sosial. Hal ini bisa menimbulkan tafsir yang lain terhadap Pancasila,” tuturnya.
( )
Tidak Lupa, Nazaruddin juga mengkritik terkait kemungkinan Pancasila bisa “diperas” menjadi trisila dan ekasila. Rumusan ini sangat kontroversi dan ditentang banyak pihak, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU). Namun, semuanya kompak tidak ingin penundaan pembahasan, tapi penghentiaan RUU HIP.
“Karena bertentangan dengan pemahaman sebagai besar rakyat Indonesia. Terutama umat Islam yang memahami dan meyakini bahwa Pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila yang menjiwai sila-sila berikutnya,” tuturnya.
Ketua DPW PAN Yogyakarta itu mengungkapkan pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila akan mengingatkan kembali mengenai trauma politik umat Islam pada era demokrasi terpimpin. Asas gotong royong itulah yang menjadi dasar konsep nasionalis, agama, dan komunis (nasakom).
Nazaruddin menuturkan, RUU HIP ahistoris karena mengabaikan fakta bahwa Pancasila sebagai dasar negara terbentuk melalui pergulatan pemikiran, negosiasi, dan kompromi, antarberbagai elemen bangsa.
“Karenanya tidak mengherankan muncul reaksi, khususnya umat Islam yang menyatakan RUU ini telah mendistorsi sila pertama. Pembuka jalan bagi kembalinya komunisme atau Partai Komunisme Indonesia (PKI).
Catatan utamanya mengenai ketentuan pada Pasal 41 RUU HIP. Menurut dia, ini akan membuat Pancasila sebagai ideologi tertutup, seperti di negara fasis atau komunis. Setiap gerak langkah dan tingkah laku rakyar akan diukur dan dinilai apakah pancasilais atau tidak.
RUU ini memberikan kekuasaan kepada Presiden sebagai pembinan dalam mengarahkan haluan ideologi pancasila. Lalu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dapat melakukan pembinaan kepada penyelenggara negara, baik yang di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
“Hal ini hanya akan menegaskan Pancasila itu milik penguasa dan bisa dijadikan alat politik. Persis seperti ideologi yang ada di negara fasis atau komunis. Ini akan mengulang rezim Orla dan Orba yang menggunakan Pancasila untuk memukul lawan-lawan politiknya,” tuturnya.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Nazaruddin memberikan sejumlah catatan kritis tentang isi RUU HIP yang bertentangan dengan peraturan lain dan pemahaman rakyat Indonesia.
Pertama, adanya RUU HIP akan menempatkan Pancasila sebagai norma dalam Undang-Undang (UU). “Berarti telah mendegradasikan Pancasila, juga bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum,” ujar Nazaruddin dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (25/6/2020). (Infografis: Ini RUU HIP yang Picu Kontroversi dan Ditolak Ramai-rama i)
Kedua, ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dijadikan dasar hukum berpotensi membuat UU ini mengatur banyak urusan dan tumpang tindih dengan peraturan lainnya. Catatan ketiga, kata Nazaruddin, Pasal 3 RUU HIP menggunakan istilah yang berbeda dengan rumusan Pancasila dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Hanya menyebutkan: ketuhanan (dengan k kecil), kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi, dan keadilan sosial. Hal ini bisa menimbulkan tafsir yang lain terhadap Pancasila,” tuturnya.
( )
Tidak Lupa, Nazaruddin juga mengkritik terkait kemungkinan Pancasila bisa “diperas” menjadi trisila dan ekasila. Rumusan ini sangat kontroversi dan ditentang banyak pihak, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU). Namun, semuanya kompak tidak ingin penundaan pembahasan, tapi penghentiaan RUU HIP.
“Karena bertentangan dengan pemahaman sebagai besar rakyat Indonesia. Terutama umat Islam yang memahami dan meyakini bahwa Pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila yang menjiwai sila-sila berikutnya,” tuturnya.
Ketua DPW PAN Yogyakarta itu mengungkapkan pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila akan mengingatkan kembali mengenai trauma politik umat Islam pada era demokrasi terpimpin. Asas gotong royong itulah yang menjadi dasar konsep nasionalis, agama, dan komunis (nasakom).
Nazaruddin menuturkan, RUU HIP ahistoris karena mengabaikan fakta bahwa Pancasila sebagai dasar negara terbentuk melalui pergulatan pemikiran, negosiasi, dan kompromi, antarberbagai elemen bangsa.
“Karenanya tidak mengherankan muncul reaksi, khususnya umat Islam yang menyatakan RUU ini telah mendistorsi sila pertama. Pembuka jalan bagi kembalinya komunisme atau Partai Komunisme Indonesia (PKI).
Catatan utamanya mengenai ketentuan pada Pasal 41 RUU HIP. Menurut dia, ini akan membuat Pancasila sebagai ideologi tertutup, seperti di negara fasis atau komunis. Setiap gerak langkah dan tingkah laku rakyar akan diukur dan dinilai apakah pancasilais atau tidak.
RUU ini memberikan kekuasaan kepada Presiden sebagai pembinan dalam mengarahkan haluan ideologi pancasila. Lalu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dapat melakukan pembinaan kepada penyelenggara negara, baik yang di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
“Hal ini hanya akan menegaskan Pancasila itu milik penguasa dan bisa dijadikan alat politik. Persis seperti ideologi yang ada di negara fasis atau komunis. Ini akan mengulang rezim Orla dan Orba yang menggunakan Pancasila untuk memukul lawan-lawan politiknya,” tuturnya.
(dam)