UU TPKS Lahir, Perindo Anggap Direktorat Khusus pada Polri Mendesak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ( UU TPKS ) setelah enam tahun penantian rakyat. Ketua Bidang Hukum dan HAM Partai Persatuan Indonesia ( Perindo ), Tama S. Langkun menyatakan, lahirnya UU TPKS menjadi salah satu indikator pembaharuan hukum pidana.
UU tersebut tidak hanya menitikberatkan pada rumusan delik dan penjeratan pidana kepada pelaku kekerasan seksual, akan tetapi juga memberikan proteksi yang menyeluruh kepada korban.
Melalui UU TPKS, Tama menyebutkan, negara menjamin pemenuhan hak korban tidak hanya sebatas pelaporan, akan tetapi juga pemenuhan hak terhadap upaya perlindungan dan pemulihan korban.
Untuk bisa berjalan dengan baik, Tama yang juga juru bicara Partai Perindo mengatakan perlu ada penguatan dan perubahan mind-set terhadap semua lembaga negara yang disebutkan UU TPKS, salah satunya Polri.
Partai Perindo sebagai Partai yang memiliki concern dalam isu perempuan, menyambut baik jika Kapolri berencana untuk membentuk direktorat khusus di Polri untuk menangani kekerasan seksual dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, penguatan tata kelola kelembagaan. Khusus penangananan TPKS saat ini, Unit PPA di kepolisian sudah banyak memberikan kontribusi. Namum secara kelembagaan, perlu ada penguatan dan sokongan oleh kelembagaan di internal Polri setingkat direktorat untuk memastikan penguatan dan pelaksanaannya berjalan lebih maksimal.
"Selain itu, dengan adanya Direktorat khusus TPKS, upaya untuk mempersiapkan tenaga penyidik yang memiliki integritas dan pengetahuan tentang penanganan korban yang berperspektif HAM dan korban, sebagai mana dimandatkan UU TPKS bisa terkoordinasi, terintegrasi, dan terselenggara dengan baik," kata Tama, Minggu (26/6/2022).
Kedua, menjadi tumpuan pelaporan TPKS. Menurutnya, terkait dengan pelaporan peristiwa TPKS, UU TPKS membuka banyak saluran. Korban atau siapa pun bisa melaporkan kepada UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan kepolisian. Namun dari mana pun laporan itu berasal, pintu masuk untuk berjalannya proses hukum dimulai dari laporan kepolisian.
"UU TPKS pun menegaskan dalam hal Korban menyampaikan laporan langsung melalui kepolisian, kepolisian wajib menerima Iaporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan Korban," ujarnya.
Ketiga, tanggung jawab memberikan perlindungan sementara. Kepolisian dapat memberikan Pelindungan sementara kepada Korban terhitung sejak menerima laporan TPKS. Perlindungan sementara tersebut paling lama 14 hari terhitung sejak korban ditangani (Pasal 42 UU TPKS ayat (1) dan (2).
"Meskipun dalam konteks perlindungan akan dilakukan bekerja sama dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Polri perlu mempersiapkan hal ini. Karena penjangkauan awal perlindungan Polri sangat diharapkan, khususnya untuk kasus daerah terpencil," ujar Jubir Nasional Perindo itu.
Yang terakhir, lingkup penyelenggaraan pencegahan dan penanganan TPKS tidak hanya kerja sama antar lembaga negara dan masyarakat, tetapi juga Kerjasama internasional.
"Kesiapan kelembagaan Polri tidak cukup jika hanya sebatas unit, untuk merespon isu dalam skala internasional, diperlukan instrumen internal kelembagaan yang lebih layak dan memadai," pungkasnya.
UU tersebut tidak hanya menitikberatkan pada rumusan delik dan penjeratan pidana kepada pelaku kekerasan seksual, akan tetapi juga memberikan proteksi yang menyeluruh kepada korban.
Melalui UU TPKS, Tama menyebutkan, negara menjamin pemenuhan hak korban tidak hanya sebatas pelaporan, akan tetapi juga pemenuhan hak terhadap upaya perlindungan dan pemulihan korban.
Untuk bisa berjalan dengan baik, Tama yang juga juru bicara Partai Perindo mengatakan perlu ada penguatan dan perubahan mind-set terhadap semua lembaga negara yang disebutkan UU TPKS, salah satunya Polri.
Partai Perindo sebagai Partai yang memiliki concern dalam isu perempuan, menyambut baik jika Kapolri berencana untuk membentuk direktorat khusus di Polri untuk menangani kekerasan seksual dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, penguatan tata kelola kelembagaan. Khusus penangananan TPKS saat ini, Unit PPA di kepolisian sudah banyak memberikan kontribusi. Namum secara kelembagaan, perlu ada penguatan dan sokongan oleh kelembagaan di internal Polri setingkat direktorat untuk memastikan penguatan dan pelaksanaannya berjalan lebih maksimal.
"Selain itu, dengan adanya Direktorat khusus TPKS, upaya untuk mempersiapkan tenaga penyidik yang memiliki integritas dan pengetahuan tentang penanganan korban yang berperspektif HAM dan korban, sebagai mana dimandatkan UU TPKS bisa terkoordinasi, terintegrasi, dan terselenggara dengan baik," kata Tama, Minggu (26/6/2022).
Kedua, menjadi tumpuan pelaporan TPKS. Menurutnya, terkait dengan pelaporan peristiwa TPKS, UU TPKS membuka banyak saluran. Korban atau siapa pun bisa melaporkan kepada UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan kepolisian. Namun dari mana pun laporan itu berasal, pintu masuk untuk berjalannya proses hukum dimulai dari laporan kepolisian.
"UU TPKS pun menegaskan dalam hal Korban menyampaikan laporan langsung melalui kepolisian, kepolisian wajib menerima Iaporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan Korban," ujarnya.
Ketiga, tanggung jawab memberikan perlindungan sementara. Kepolisian dapat memberikan Pelindungan sementara kepada Korban terhitung sejak menerima laporan TPKS. Perlindungan sementara tersebut paling lama 14 hari terhitung sejak korban ditangani (Pasal 42 UU TPKS ayat (1) dan (2).
"Meskipun dalam konteks perlindungan akan dilakukan bekerja sama dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Polri perlu mempersiapkan hal ini. Karena penjangkauan awal perlindungan Polri sangat diharapkan, khususnya untuk kasus daerah terpencil," ujar Jubir Nasional Perindo itu.
Yang terakhir, lingkup penyelenggaraan pencegahan dan penanganan TPKS tidak hanya kerja sama antar lembaga negara dan masyarakat, tetapi juga Kerjasama internasional.
"Kesiapan kelembagaan Polri tidak cukup jika hanya sebatas unit, untuk merespon isu dalam skala internasional, diperlukan instrumen internal kelembagaan yang lebih layak dan memadai," pungkasnya.
(muh)