Pemimpin Cendekia dan Tantangan Kepemimpinan 2024

Selasa, 21 Juni 2022 - 10:55 WIB
loading...
Pemimpin Cendekia dan...
M Dwi Sugiarto (Foto: Ist)
A A A
M Dwi Sugiarto
Waketum MASIKA ICMI Jawa Tengah, Pemerhati Isu Sosial, Politik dan Kebijakan Publik

MENGHADAPI agenda transisi kepemimpinan yang akan terjadi pada 2024 sudah banyak pembicaraan dilakukan dari berbagai kalangan. Utamanya dari para aktor dan elite politik yang memang akan menjadi bintangnya. Manuver para elite politik terus bergulir menampilkan kelebihan dan nilai jual masing-masing. Menariknya karena pada 2024 akan terjadi pergantian kepemimpinan nasional setelah berakhirnya dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo serta kecilnya kemungkinan Wakil Presiden Ma'ruf Amin untuk maju di pilpres.

Kondisi yang terjadi pada Pemilu 2024 mirip dengan Pemilu 2014 yaitu tidak adanya petahana dalam kontestasi pilpres. Kedua, menonjolnya nama kepala daerah sebagai pilihan di luar tokoh elite nasional. Pilpres 2014 menjadi panggung utama dari Joko Widodo yang kala itu merupakan Gubernur DKI Jakarta. Akankah kisah di 2014 terulang kembali yaitu munculnya kepala daerah di panggung pilpres?. Menarik untuk ditunggu.

Dalam rilis berbagai lembaga survei mengenai sosok potensial di Pilpres 2024 kerap muncul nama-nama kepala daerah, sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, serta Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Hadirnya ketiga nama dalam hasil berbagai lembaga survei memperlihatkan dua nama pertama bahkan ada di tiga besar dengan elektabilitas tertinggi. Meskipun tentu pilpres bukan hanya persoalan elektabilitas semata. Berkaca pada Pilpres 2019 misalnya jauh sebelumnya tidak banyak yang mengira akan ada nama Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno di gelanggang.

Dibanding 2014 yang saat itu hanya memunculkan nama Joko Widodo sebagai kepala daerah yang patut diperhitungkan maju di pilpres dan berakhir dengan kemenangan, justru menjelang 2024 setidaknya ada tiga nama kepala daerah di atas yang patut diperhitungkan. Atmosfer politik dengan munculnya sosok kepala daerah sebagai pilihan dalam perhelatan politik nasional menunjukkan pengakuan atas kepemimpinan daerah dengan eksistensi politik nasional tidaklah berjarak terlalu jauh. Pusaran kepemimpinan yang ada di level nasional lebih dekat dengan kebutuhan elektoral yang basisnya ada di daerah.

Di sisi lain jagoan untuk pilpres dari kalangan kepala daerah ternyata juga memiliki pendukung dari berbagai daerah di Indonesia, sebut Anies Baswedan yang disinyalir memiliki basis kuat pendukung di sejumlah wilayah di Sumatera. Pun dengan Ganjar Pranowo yang aktif berkunjung ke berbagai daerah di luar Jawa meskipun tugas kepemimpinannya saat ini ada di Jawa Tengah. Pengakuan rakyat akan kinerja yang ditorehkan keduanya mendorong kuatnya dukungan rakyat meskipun bukan di wilayah kepemimpinannya saat ini. Hal ini menegaskan bahwa ke depan kepala daerah dapat terus menjadi jalur produksi kepemimpinan nasional, bukan hanya sebagai alternatif tetapi justru sebagai pilihan.

Hasil kinerja yang diperlihatkan kepala daerah secara politik lebih dapat di klaim dibanding dengan jabatan menteri misalnya. Selain tentunya kepala daerah lahir dari proses pemilu serta kepemimpinannya terhadap suatu wilayah. Hal yang tidak berbeda dengan konsep politik dan kepemimpinan di ranah kepala negara.

Karakter Kepemimpinan
Narasi politik yang sampai saat ini tersaji banyak hanya berbicara seputar sosok yang tampil di permukaan. Dengan berbagai analisa yang ada mengerucutkannya pada pembahasan peta politik dan potensi para sosok kandidat. Padahal tantangan era saat ini seharusnya dapat diuraikan sehingga karakteristik kepemimpinan yang dibutuhkan menjadi sesuai.

Model dan karakteristik kepemimpinan menjadi parameter dalam menentukan siapa sosok yang dianggap memiliki kesesuaian yang memang benar-benar dibutuhkan saat ini dan masa yang akan datang. Tantangan era yang berkembang dengan melihat apa yang terjadi di masa pandemi Covid-19 adalah lemahnya analisa dan sikap responsif dari para elite pemerintahan. Banyak dari pejabat yang menangani secara langsung ataupun terdampak karena seakan gagap dalam melihat situasi, ada yang meremehkannya atau secara bias menyebut tidak mungkin virus tersebut masuk ke Indonesia karena alasan yang kurang logis misalnya karena makan nasi kucing.

Pada berbagai situasi perlu melihat dan mencerna berbagai informasi dengan baik agar tidak salah langkah dalam mengambil keputusan apalagi bagi kalangan pejabat pemerintahan dengan implikasi yang sangat luas. Dalam teori kebijakan publik secara sederhana apa yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah adalah sebuah kebijakan, diamnya pemerintah adalah kebijakan “is whatever government choose to do or not to do” (Thomas R. Dye).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1502 seconds (0.1#10.140)