Di RUU KIA Ada Usulan Ayah Dapat Cuti 40 Hari
loading...
A
A
A
JAKARTA - RUUtentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) ternyata tidak hanya mengusulkan cuti 6 bulan bagi ibu yang melahirkan. Tapi, di RUU ini juga mengusulkan cuti 40 hari bagi sang ayah .
Inisiator RUU KIA dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah menjelaskan, dalam mengharmonisasi RUU ini, pihaknya hanya melihat referensi atau rujukan. Selain hak konstitusional ibu dan anak dalam Pasal 28A, 28 B, 20 dan 21 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), ada juga UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang sudah sangat tua usianya.
Lalu, UU No. 12 Tahun 2017 tentang Pengesahan Asean Convention Against Trafficking In Persons, Especially Women and Children (Konvensi Asean Menentang Perdagangan Perempuan dan Anak). Juga UU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), UU tentang Kesejahteraan Sosial UU tentang Kesehatan, juga UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), juga UU Ketenagakerjaan.
"Dan pasti kita memang sedikit banyak akan banyak melakukan pendalaman dan diskusi yang terkait dengan UU Ketenagakerjaan kaitannya dengan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak," kata Luluk dalam webinar yang digelar Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) RI yang bertajuk "Cuti Melahirkan 6 Bulan", yang dikutip Senin (20/6/2022).
Luluk menguraikan, RUU ini mengatur secara eksplisit dan tegas yang terkait dengan hak cuti bagi ibu melahirkan selama 6 bulan dengan gaji penuh di 3 bulan pertama dan 75% gaji di 3 bulan terakhir. Juga soal paternal leave atau cuti bagi Ayah selama 40 hari yang itu belum ada aturannya di UU Ketenagakerjaan, kecuali hanya diatur 2 hari untuk suami yang istrinya melahirkan dan tetap dibayar.
"Sementara di RUU ini diberikan haknya 40 hari," imbuh Anggota Komisi IX DPR ini.
Luluk melanjutkan, bagi ibu yang keguguran juga punya hak untuk mendapatkan cuti atau istirahat selama 1,5 bulan dan suami juga mendapatkan hak untuk mendampingi bagi istrinya yang keguguran selama 7 hari.
Kenapa kemudian ini semua diatur di dalam RUU KIA, Luluk menegaskan, kesejahteraan ibu dan anak pasti ini akan menjadi satu sistem yang memiliki satu kesatuan dengan anak. Kualitas kesehatan bagi ibu ini bukan hanya urusan ibu seorang, sehingga harus diperhatikan bagaimana kondisi kehamilan dan pasca kehamilan.
Sehingga, Luluk meyakini, RUU ini pasti akan memutus bias dan juga diskriminasi yang udah berlangsung mungkin berabad-abad, bahwa hanya perempuan yang punya tanggung jawab sepenuhnya dalam kondisi apapun yang terkait dengan kehamilannya, menyusui anaknya, pengasuhan dan perawatan anaknya dan lain sebagainya.
"Sementara di sisi lain, karena perkembangan zaman perempuan juga dituntut atau memilih misalnya tetap produktif, tetap bekerja dan melakukan kerja-kerja yang yang memberikan manfaat bagi masyarakat luas,"
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati mengungkapkan, ketentuan ini bukan ketentuan baru, karena sejumlah negara sudah menerapkannya sejak lama. Seperti misalnya Taiwan, menerapkan cuti 6 bulan untuk ibu dan cuti 6 bulan untuk ayah.
Lalu Norwegia, menerapkan cuti 1 tahun yang diperuntukkan bagi ibu dan ayah, dengan ketentuan si ayah mengambil minimal 1 bulan dari jatah 1 tahun itu. Dengan tujuan, agar ada masa transisi untuk sang ibu bisa siap saat kembali bekerja.
Sara sepakat bahwa ketentuan cuti melahirkan 6 bulan ini untuk kesejahteraan ibu dan anak. Tetapi, perlu juga dilihat kepentingan-kepentingan lain, seperti misalnya perempuan yang memiliki usahanya sendiri sehingga bisa mengatur waktunya sendiri, atau perempuan yang berada di level manajemen ke atas yang itu berbeda dengan mereka yang bekerja di levelnya adalah tenaga kerja buruh, lalu juga pekerja kontrak yang masa kontraknya hanya setahun.
"Ini yang juga harus kita lihat ya, karena apalagi kalau misalkan kita bicara kepentingan, jangan sampai memenuhi, saking kencangnya kita bicara tentang cuti 6 bulan melahirkan untuk perempuan tanpa kita lihat konteks kebutuhannya," terangnya.
Kemudian, sambung Ketua Umum Tidar ini, konteks yang terjadi di Korsel, Jepang dan Singapura, di mana negara kalang kabut untuk meyakinkan perempuannya untuk tetap mau hamil dan melahirkan itu berbeda dengan kondisi di Indonesia. Dan pemberian cuti melahirkan ini bukan untuk memberikan kesempatan untuk mereka punya anak sebanyak-banyaknya, karena program KB pun bisa dikatakan gagal.
"Penambahan populasi yang enggak terkendali to the point (sampai ke titik) di mana banyak sekali yang enggak bisa membesarkan anaknya sendiri. Dikit-dikit sudah langsung dititipkan ke boarding school (asrama) gitu kan. Ini buat saya melihat bahwa anak-anak sudah banyak sekali sekarang yang dibesarkannya jauh dari orang tua, karena orang tuanya saking banyaknya anaknya," ucapnya.
Inisiator RUU KIA dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah menjelaskan, dalam mengharmonisasi RUU ini, pihaknya hanya melihat referensi atau rujukan. Selain hak konstitusional ibu dan anak dalam Pasal 28A, 28 B, 20 dan 21 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), ada juga UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang sudah sangat tua usianya.
Lalu, UU No. 12 Tahun 2017 tentang Pengesahan Asean Convention Against Trafficking In Persons, Especially Women and Children (Konvensi Asean Menentang Perdagangan Perempuan dan Anak). Juga UU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), UU tentang Kesejahteraan Sosial UU tentang Kesehatan, juga UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), juga UU Ketenagakerjaan.
"Dan pasti kita memang sedikit banyak akan banyak melakukan pendalaman dan diskusi yang terkait dengan UU Ketenagakerjaan kaitannya dengan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak," kata Luluk dalam webinar yang digelar Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) RI yang bertajuk "Cuti Melahirkan 6 Bulan", yang dikutip Senin (20/6/2022).
Luluk menguraikan, RUU ini mengatur secara eksplisit dan tegas yang terkait dengan hak cuti bagi ibu melahirkan selama 6 bulan dengan gaji penuh di 3 bulan pertama dan 75% gaji di 3 bulan terakhir. Juga soal paternal leave atau cuti bagi Ayah selama 40 hari yang itu belum ada aturannya di UU Ketenagakerjaan, kecuali hanya diatur 2 hari untuk suami yang istrinya melahirkan dan tetap dibayar.
"Sementara di RUU ini diberikan haknya 40 hari," imbuh Anggota Komisi IX DPR ini.
Luluk melanjutkan, bagi ibu yang keguguran juga punya hak untuk mendapatkan cuti atau istirahat selama 1,5 bulan dan suami juga mendapatkan hak untuk mendampingi bagi istrinya yang keguguran selama 7 hari.
Kenapa kemudian ini semua diatur di dalam RUU KIA, Luluk menegaskan, kesejahteraan ibu dan anak pasti ini akan menjadi satu sistem yang memiliki satu kesatuan dengan anak. Kualitas kesehatan bagi ibu ini bukan hanya urusan ibu seorang, sehingga harus diperhatikan bagaimana kondisi kehamilan dan pasca kehamilan.
Sehingga, Luluk meyakini, RUU ini pasti akan memutus bias dan juga diskriminasi yang udah berlangsung mungkin berabad-abad, bahwa hanya perempuan yang punya tanggung jawab sepenuhnya dalam kondisi apapun yang terkait dengan kehamilannya, menyusui anaknya, pengasuhan dan perawatan anaknya dan lain sebagainya.
"Sementara di sisi lain, karena perkembangan zaman perempuan juga dituntut atau memilih misalnya tetap produktif, tetap bekerja dan melakukan kerja-kerja yang yang memberikan manfaat bagi masyarakat luas,"
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati mengungkapkan, ketentuan ini bukan ketentuan baru, karena sejumlah negara sudah menerapkannya sejak lama. Seperti misalnya Taiwan, menerapkan cuti 6 bulan untuk ibu dan cuti 6 bulan untuk ayah.
Lalu Norwegia, menerapkan cuti 1 tahun yang diperuntukkan bagi ibu dan ayah, dengan ketentuan si ayah mengambil minimal 1 bulan dari jatah 1 tahun itu. Dengan tujuan, agar ada masa transisi untuk sang ibu bisa siap saat kembali bekerja.
Sara sepakat bahwa ketentuan cuti melahirkan 6 bulan ini untuk kesejahteraan ibu dan anak. Tetapi, perlu juga dilihat kepentingan-kepentingan lain, seperti misalnya perempuan yang memiliki usahanya sendiri sehingga bisa mengatur waktunya sendiri, atau perempuan yang berada di level manajemen ke atas yang itu berbeda dengan mereka yang bekerja di levelnya adalah tenaga kerja buruh, lalu juga pekerja kontrak yang masa kontraknya hanya setahun.
"Ini yang juga harus kita lihat ya, karena apalagi kalau misalkan kita bicara kepentingan, jangan sampai memenuhi, saking kencangnya kita bicara tentang cuti 6 bulan melahirkan untuk perempuan tanpa kita lihat konteks kebutuhannya," terangnya.
Kemudian, sambung Ketua Umum Tidar ini, konteks yang terjadi di Korsel, Jepang dan Singapura, di mana negara kalang kabut untuk meyakinkan perempuannya untuk tetap mau hamil dan melahirkan itu berbeda dengan kondisi di Indonesia. Dan pemberian cuti melahirkan ini bukan untuk memberikan kesempatan untuk mereka punya anak sebanyak-banyaknya, karena program KB pun bisa dikatakan gagal.
"Penambahan populasi yang enggak terkendali to the point (sampai ke titik) di mana banyak sekali yang enggak bisa membesarkan anaknya sendiri. Dikit-dikit sudah langsung dititipkan ke boarding school (asrama) gitu kan. Ini buat saya melihat bahwa anak-anak sudah banyak sekali sekarang yang dibesarkannya jauh dari orang tua, karena orang tuanya saking banyaknya anaknya," ucapnya.
(hab)