Kisah Kasih Klasik
loading...
A
A
A
Sekar Mayang
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Konon, laut merupakan tempat hidup organisme pertama di planet ini. Air yang kaya nutrisi menjadi media yang tepat bagi tumbuhnya makhluk bersel satu, cikal bakal evolusi miliaran jenis spesies lainnya. Usman Arrumy memakai laut untuk menggambarkan awal tumbuhnya sebentuk cinta pada diri seorang perempuan. Ah, dan juga pada diri lelaki tentunya.
Perempuan Laut adalah buku pertama dari trilogi yang sedang digagas penulis kelahiran Demak ini. Para penggemar karyanya tentu tahu bahwa selama ini Usman adalah seorang penyair. Sekian karyanya sukses membawa para pembaca menyelami jagat rasa, memberi makna pada objek tak kasatmata yang dimiliki tiap individu. Akan tetapi, kali ini Usman sadar, bahwa tidak semua rasa dalam sebuah kisah dapat diceritakan melalui puisi. Ada kisah-kisah tertentu yang hanya bisa dipaparkan dengan baik melalui bentuk novel.
Seperti kisah klasik lainnya, novel ini dibuka dengan pertemuan antara dua orang asing. Kenyamanan yang segera saja datang, membuat si lelaki―seorang penulis yang tengah melakukan riset di tempat itu―dengan ringannya memberi nama Lare Segara kepada si perempuan. Oh, si perempuan bukannya tidak memiliki nama. Ia punya, tetapi kehidupan ternyata mengombang-ambingkan dirinya sehingga tak jarang membuat ia seolah-olah tidak mengenal dirinya sendiri.
Seperti pula kisah klasik lainnya, sebuah pertemuan memiliki dua percabangan, yaitu penyatuan atau perpisahan. Si lelaki, yang belakangan diketahui bernama Kidung Sorandaka, terikat jadwal untuk berkeliling ke sejumlah tempat demi rampungnya riset. Mereka memang berpisah, tetapi ternyata takdir cukup iseng untuk membuat mereka kembali berjumpa di situasi yang agak berbeda. Ya, situasi kala keduanya telah jatuh cinta. Apakah sebegitu mudahnya seseorang jatuh cinta? Mengapa logika seolah-olah hilang ketika momen itu datang? Apakah tidak bisa seseorang jatuh cinta dengan tetap mengedepankan nalar dan akal? Jawabannya tentu sangat kompleks.
Pertama, kondisi seseorang tentu berbeda dengan individu lainnya, baik fisik maupun batin. Menurut ahli, jatuh cinta adalah peristiwa yang melibatkan sejumlah hormon. Kadarnya sudah pasti berbeda di tiap individu. Jika tipis-tipis saja, mungkin ia masih bisa menggandeng nalar dan akal untuk memutuskan sebuah tindakan: apakah akan diteruskan, atau cukup sampai di titik tertentu. Kedua, pengalaman merupakan guru yang berharga. Masa lalu membentuk seseorang menjadi pribadi saat ini. Segala momen, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan, memberi pengetahuan yang pastinya ia jadikan landasan untuk membuat sebuah keputusan.
Lare Segara tentu punya pertimbangan tertentu ketika memutuskan memberi lukisan pertamanya kepada Kidung Sorandaka. Padahal, lukisan itulah yang membawa Lare Segara mendapat segala hal yang menjadikannya seperti sekarang―membuatnya memiliki kehidupan. Pun, itu bukan lukisan dengan objek luar biasa bagi awam. Hanya segelintir orang yang akan memahami bahwa lukisan itu adalah hidup Lare. Sora adalah salah satu dari yang hanya segelintir itu.
Dan, Kidung Sorandaka sendiri tidak akan memeluk erat lukisan itu jika sekiranya memberatkan diri menyelamatkan hidup di tengah amukan badai lautan. Bagi Sora, kini lukisan itu adalah hidupnya. Tidak pernah ia merasa begitu ‘jatuh’ ketika bertemu seorang perempuan. Ya, sebagai penyair, hidup Sora dikelilingi banyak perempuan. Satu, dua dari mereka tentu pernah menjadi yang spesial di hati Sora. Hanya saja, tidak ada yang seekstrem pesona Lare Segara.
“Lare tidak secantik perempuan kebanyakan yang pernah kutemui, tetapi wajahnya tidak gampang dilupakan. Itu sebabnya, sepanjang perjalanan menuju Madaskara, aku sibuk berupaya mendeskripsikan kecantikannya dalam bentuk puisi.” (halaman 32)
Proses Kreatif
Membaca buku ini, saya jadi teringat salah satu novel Colleen Hoover yang berjudul Slammed, sebuah novel romantis yang salah satu karakternya ternyata pencinta puisi. Ya, tentu saja, sejumlah bait-bait tersebar di beberapa bagian naskah. Usman sendiri menempatkan puisi-puisi itu di awal bab, serta beberapa di tengah dan akhir bab.
Selayaknya sebuah kisah cinta, puisi-puisi yang tersaji adalah ungkapan sukacita dan dukacita. Diksinya sederhana saja. Tidak ada lema yang sulit dimengerti atau jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Alurnya pun mengalir lancar, meskipun saya yakin, pambaca akan sedikit dibuat gemas dengan tingkah dua tokoh utama kita.
Satu lagi yang cukup menarik perhatian adalah set lokasi yang dipakai Usman. Ini kembali mengingatkan saya akan karya fiksi lain, seperti Batman dengan Kota Gotham atau Clark Kent dengan Kota Metropolis. Usman membangun sendiri tempat yang mendukung kisahnya. Pantai Caraca, Pulau Madaskara, dan Selat Sisilia adalah tiga lokasi yang berperan penting dalam Perempuan Laut.
Saya yakin, jika tidak menemukan sebuah kota atau tempat yang pas untuk latar kisah, seorang penulis yang baik akan menciptakannya sendiri. Tidak heran jika akhirnya sebuah pulau kecil nan indah, dikelilingi lautan dengan gradasi warna biru yang lengkap, ditambah sekian banyak fasilitas premium dan sebuah perpustakaan modern, juga panggung kesenian supermegah, tercipta di benak Usman. Dan, ia namai tempat itu sebagai Pulau Madaskara.
Usman juga membangun set sebuah kafe dengan pajangan berupa bait-bait puisi milik penyair terkenal. Tersebut nama-nama seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, W. S. Rendra, dan Goenawan Mohammad dalam naskah. Tak tanggung-tanggung, diceritakan bahwa lembar-lembar puisi berpigura mewah itu dilengkapi dengan tanda tangan para penciptanya. “Aku merasa Pulau Madaskara ini lebih berfungsi sebagai lumbung dokumentasi kesenian ketimbang destinasi wisata.” (halaman 37)
Mungkin kalimat itu semacam afirmasi terselubung Usman terhadap negeri ini. Saya pun yakin, ini tidak sekadar bangunan set untuk cerita yang ia susun. Kita lazim menyadari, bahwa pada sebuah karya, selalu ada secuil jiwa penulisnya ikut serta di sana. Jiwa-jiwa indah selalu memiliki harapan-harapan yang indah pula. Ada yang dipendam sendiri, ada yang rela berbagi dengan sesamanya, termasuk Usman. “Saya memiliki cinta, dan saya harus menyampaikannya sebagai gagasan utama dalam sebuah karangan.” (halaman 6)
Sebagian orang mungkin tidak percaya adanya cinta, sebagian lagi menganggap cinta hanyalah efek dari serangkaian hormon dalam tubuh. Akan tetapi, akan selalu ada orang-orang seperti Usman Arrumy, yang menuangkan cintanya sedemikian rupa dengan tulus ke dalam sebuah kisah kasih klasik. Sekian.
Judul buku : Perempuan Laut
Penulis : Usman Arrumy
Penerbit : DIVA Press
Cetak : Pertama, Maret 2022
Tebal : 152 halaman
ISBN : 978-623-293-652-2
Editor, penulis, pengulas buku, hidup di Bali
Konon, laut merupakan tempat hidup organisme pertama di planet ini. Air yang kaya nutrisi menjadi media yang tepat bagi tumbuhnya makhluk bersel satu, cikal bakal evolusi miliaran jenis spesies lainnya. Usman Arrumy memakai laut untuk menggambarkan awal tumbuhnya sebentuk cinta pada diri seorang perempuan. Ah, dan juga pada diri lelaki tentunya.
Perempuan Laut adalah buku pertama dari trilogi yang sedang digagas penulis kelahiran Demak ini. Para penggemar karyanya tentu tahu bahwa selama ini Usman adalah seorang penyair. Sekian karyanya sukses membawa para pembaca menyelami jagat rasa, memberi makna pada objek tak kasatmata yang dimiliki tiap individu. Akan tetapi, kali ini Usman sadar, bahwa tidak semua rasa dalam sebuah kisah dapat diceritakan melalui puisi. Ada kisah-kisah tertentu yang hanya bisa dipaparkan dengan baik melalui bentuk novel.
Seperti kisah klasik lainnya, novel ini dibuka dengan pertemuan antara dua orang asing. Kenyamanan yang segera saja datang, membuat si lelaki―seorang penulis yang tengah melakukan riset di tempat itu―dengan ringannya memberi nama Lare Segara kepada si perempuan. Oh, si perempuan bukannya tidak memiliki nama. Ia punya, tetapi kehidupan ternyata mengombang-ambingkan dirinya sehingga tak jarang membuat ia seolah-olah tidak mengenal dirinya sendiri.
Seperti pula kisah klasik lainnya, sebuah pertemuan memiliki dua percabangan, yaitu penyatuan atau perpisahan. Si lelaki, yang belakangan diketahui bernama Kidung Sorandaka, terikat jadwal untuk berkeliling ke sejumlah tempat demi rampungnya riset. Mereka memang berpisah, tetapi ternyata takdir cukup iseng untuk membuat mereka kembali berjumpa di situasi yang agak berbeda. Ya, situasi kala keduanya telah jatuh cinta. Apakah sebegitu mudahnya seseorang jatuh cinta? Mengapa logika seolah-olah hilang ketika momen itu datang? Apakah tidak bisa seseorang jatuh cinta dengan tetap mengedepankan nalar dan akal? Jawabannya tentu sangat kompleks.
Pertama, kondisi seseorang tentu berbeda dengan individu lainnya, baik fisik maupun batin. Menurut ahli, jatuh cinta adalah peristiwa yang melibatkan sejumlah hormon. Kadarnya sudah pasti berbeda di tiap individu. Jika tipis-tipis saja, mungkin ia masih bisa menggandeng nalar dan akal untuk memutuskan sebuah tindakan: apakah akan diteruskan, atau cukup sampai di titik tertentu. Kedua, pengalaman merupakan guru yang berharga. Masa lalu membentuk seseorang menjadi pribadi saat ini. Segala momen, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan, memberi pengetahuan yang pastinya ia jadikan landasan untuk membuat sebuah keputusan.
Lare Segara tentu punya pertimbangan tertentu ketika memutuskan memberi lukisan pertamanya kepada Kidung Sorandaka. Padahal, lukisan itulah yang membawa Lare Segara mendapat segala hal yang menjadikannya seperti sekarang―membuatnya memiliki kehidupan. Pun, itu bukan lukisan dengan objek luar biasa bagi awam. Hanya segelintir orang yang akan memahami bahwa lukisan itu adalah hidup Lare. Sora adalah salah satu dari yang hanya segelintir itu.
Dan, Kidung Sorandaka sendiri tidak akan memeluk erat lukisan itu jika sekiranya memberatkan diri menyelamatkan hidup di tengah amukan badai lautan. Bagi Sora, kini lukisan itu adalah hidupnya. Tidak pernah ia merasa begitu ‘jatuh’ ketika bertemu seorang perempuan. Ya, sebagai penyair, hidup Sora dikelilingi banyak perempuan. Satu, dua dari mereka tentu pernah menjadi yang spesial di hati Sora. Hanya saja, tidak ada yang seekstrem pesona Lare Segara.
“Lare tidak secantik perempuan kebanyakan yang pernah kutemui, tetapi wajahnya tidak gampang dilupakan. Itu sebabnya, sepanjang perjalanan menuju Madaskara, aku sibuk berupaya mendeskripsikan kecantikannya dalam bentuk puisi.” (halaman 32)
Proses Kreatif
Membaca buku ini, saya jadi teringat salah satu novel Colleen Hoover yang berjudul Slammed, sebuah novel romantis yang salah satu karakternya ternyata pencinta puisi. Ya, tentu saja, sejumlah bait-bait tersebar di beberapa bagian naskah. Usman sendiri menempatkan puisi-puisi itu di awal bab, serta beberapa di tengah dan akhir bab.
Selayaknya sebuah kisah cinta, puisi-puisi yang tersaji adalah ungkapan sukacita dan dukacita. Diksinya sederhana saja. Tidak ada lema yang sulit dimengerti atau jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Alurnya pun mengalir lancar, meskipun saya yakin, pambaca akan sedikit dibuat gemas dengan tingkah dua tokoh utama kita.
Satu lagi yang cukup menarik perhatian adalah set lokasi yang dipakai Usman. Ini kembali mengingatkan saya akan karya fiksi lain, seperti Batman dengan Kota Gotham atau Clark Kent dengan Kota Metropolis. Usman membangun sendiri tempat yang mendukung kisahnya. Pantai Caraca, Pulau Madaskara, dan Selat Sisilia adalah tiga lokasi yang berperan penting dalam Perempuan Laut.
Saya yakin, jika tidak menemukan sebuah kota atau tempat yang pas untuk latar kisah, seorang penulis yang baik akan menciptakannya sendiri. Tidak heran jika akhirnya sebuah pulau kecil nan indah, dikelilingi lautan dengan gradasi warna biru yang lengkap, ditambah sekian banyak fasilitas premium dan sebuah perpustakaan modern, juga panggung kesenian supermegah, tercipta di benak Usman. Dan, ia namai tempat itu sebagai Pulau Madaskara.
Usman juga membangun set sebuah kafe dengan pajangan berupa bait-bait puisi milik penyair terkenal. Tersebut nama-nama seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, W. S. Rendra, dan Goenawan Mohammad dalam naskah. Tak tanggung-tanggung, diceritakan bahwa lembar-lembar puisi berpigura mewah itu dilengkapi dengan tanda tangan para penciptanya. “Aku merasa Pulau Madaskara ini lebih berfungsi sebagai lumbung dokumentasi kesenian ketimbang destinasi wisata.” (halaman 37)
Mungkin kalimat itu semacam afirmasi terselubung Usman terhadap negeri ini. Saya pun yakin, ini tidak sekadar bangunan set untuk cerita yang ia susun. Kita lazim menyadari, bahwa pada sebuah karya, selalu ada secuil jiwa penulisnya ikut serta di sana. Jiwa-jiwa indah selalu memiliki harapan-harapan yang indah pula. Ada yang dipendam sendiri, ada yang rela berbagi dengan sesamanya, termasuk Usman. “Saya memiliki cinta, dan saya harus menyampaikannya sebagai gagasan utama dalam sebuah karangan.” (halaman 6)
Sebagian orang mungkin tidak percaya adanya cinta, sebagian lagi menganggap cinta hanyalah efek dari serangkaian hormon dalam tubuh. Akan tetapi, akan selalu ada orang-orang seperti Usman Arrumy, yang menuangkan cintanya sedemikian rupa dengan tulus ke dalam sebuah kisah kasih klasik. Sekian.
Judul buku : Perempuan Laut
Penulis : Usman Arrumy
Penerbit : DIVA Press
Cetak : Pertama, Maret 2022
Tebal : 152 halaman
ISBN : 978-623-293-652-2
(hdr)