Rokok: Mengingat Iklan, Mencatat Berita
loading...
A
A
A
Bandung Mawardi
Penulis buku Selingan dan Nukilan (2022)
Ingat rokok, ingat Pram! Kita sejenak memikirkan rokok dan pengarang ampuh sepanjang masa di Indonesia. Foto-foto Pram sedang merokok mengingatkan sejarah dan “marah”. Selama puluhan tahun, kita terlena dengan adegan Chairil Anwar merokok. Kini, kita mengganti dengan Pram.
Penggantian bukan foto tapi pengisahan berlatar penjara di Bukit Duri. Pada suatu hari, penghuni di situ mendapat pembagian “dua bungkus rokok, sekotak geretan, dan sebatang sabun”. Pram dalam Mereka jang Dilumpuhkan (1951) menulis: “Anehnja, waktu aku mulai merokok, segala pikiranku jang pelik-pelik hilang dengan sendirinja. Perlahan-lahan aku mulai berdendang. Dadaku lapang. Pikiranku tenang.”
Kalimat-kalimat itu bisa “dicomot” dalam iklan rokok bila ada perusahaan nekat ingin menampilkan Pram. Kita mengandaikan ada merek rokok beriklan bersenjatakan kata-kata dan foto Pram. Rokok itu mungkin laris dan “legendaris”. Sekian merek rokok memilih para artis (film atau musik) dalam beriklan di koran, majalah, dan televisi. Kita pun menduga Pram atau ahli waris bakal menolak bila ada permintaan menjadikan Pram dan kutipan dari buku tergunakan dalam persaingan iklan di pasar rokok.
Kita sedang menghadapi buku tebal berjudul Penebar Rayuan, memuat ulasan-ulasan sembarangan mengenai iklan dan berita rokok di pelbagai majalah masa 1990-an. Pembuat kliping atau penulis memberi penjelasan tak panjang. Kita membaca sejenak-sejenak, berharap mengerti keragaman gambar, kata, warna, dan segala hal dalam periklanan rokok. Singgungan atau kutipan dari sastra kadang terbaca tapi sedikit. Buku tak mewajibkan ada daftar pustaka. Pembaca saja membuat daftar pustaka sambil menandai perkara-perkara penting tersaji dalam buku.
Pesan dari penulis: “… jika dilihat sebagai upaya dokumentasi, buku ini akan menjadi artefak penting untuk mengetahui dunia periklanan rokok.” Kita membenarkan dengan memanggil sekian buku untuk membaca Penebar Rayuan. Kita ingin buku tak kesepian. Sekian buku terpanggil mungkin menambahi bobot pembacaan kliping tergarap selama wabah.
Kita mulai dengan buku berjudul Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya (2011) susunan Rudy Badil. Buku besar dan mahal. Buku itu dokumentatif. Sekian gambar dan foto disajikan dalam buku membuat pembaca terpikat. Sekian tulisan dari orang-orang ampuh mengimbuhi kesan tak terlupakan bagi pembaca memikirkan rokok, dari masa ke masa. Kalimat bujukan: “Kenangan manis dari temuan sisa benda budaya kretek itu, sungguh memperlihatkan ‘lintas budaya’ dari zaman pendudukan Belanda, Balatentara Jepang, dan selewat masa kemerdekaan yang merdeka!” Halaman-halaman memuat sejarah dan kisah.
Kita simak saja daftar merek rokok kretek dihasilkan dan beredar di Indonesia, sejak masa 1930-an sampai 1970-an: Djempol, Moeka Adjaib, Koentjoeng, Poetri Goenoeng, Besut, Mastoer, Soelastri, Siti, Djambul, Sungut, Glatik, Kresno, Gudel, Kerbau, Ketjubung, Krokot, Pari, Kembang Mlati, Kuda Terbang, Siluman, Besek, Kendi, Pantji, Sendok, Ungkal, Paku, Lampu Ting, Pentoel, Roda Api, Blangkon, Sapu Tangan, Lajar Poetih, Seriboe Satoe, Matahari Terbit, Terang Bulan, dan lain-lain. Sekian merek itu masa lalu atau nostalgia. Di buku Penebar Rayuan, kita disuguhi merek-merek terkenal dan terakrabi publik di kota dan desa gara-gara serbuan iklan.
Kita diajak melihat iklan Gudang Garam dimuat di majalah Matra edisi September 1994. Iklan memberi seruan bahwa rokok itu “selera pemberani”. Rokok bagi lelaki berani mencari tantangan dan membuktikan keperkasaan. Pilihan rokok menjamin mutu lelaki. Kita boleh mufakat atau meragu saja.
Seruan bertambah: “Pria Punya Selera”. Kata-kata itu milik Gudang Garam. Iklan merek Djarum Super mengajukan kata-kata: “Bukan Sembarang Pria!” Perbandingan kata-kata dari dua merek rokok kondang menghasilkan penjelasan: “Pria diharapkan mendapatkan legitimasi ‘kejantanan’ mereka lewat merek-merek rokok yang mereka pilih.” Kita tak menemukan penjelasan iseng penggunaan sebutan “pria”. Sebutan mungkin terasa mantap ketimbang “lelaki” atau “laki-laki”.
Penulis buku Selingan dan Nukilan (2022)
Ingat rokok, ingat Pram! Kita sejenak memikirkan rokok dan pengarang ampuh sepanjang masa di Indonesia. Foto-foto Pram sedang merokok mengingatkan sejarah dan “marah”. Selama puluhan tahun, kita terlena dengan adegan Chairil Anwar merokok. Kini, kita mengganti dengan Pram.
Penggantian bukan foto tapi pengisahan berlatar penjara di Bukit Duri. Pada suatu hari, penghuni di situ mendapat pembagian “dua bungkus rokok, sekotak geretan, dan sebatang sabun”. Pram dalam Mereka jang Dilumpuhkan (1951) menulis: “Anehnja, waktu aku mulai merokok, segala pikiranku jang pelik-pelik hilang dengan sendirinja. Perlahan-lahan aku mulai berdendang. Dadaku lapang. Pikiranku tenang.”
Kalimat-kalimat itu bisa “dicomot” dalam iklan rokok bila ada perusahaan nekat ingin menampilkan Pram. Kita mengandaikan ada merek rokok beriklan bersenjatakan kata-kata dan foto Pram. Rokok itu mungkin laris dan “legendaris”. Sekian merek rokok memilih para artis (film atau musik) dalam beriklan di koran, majalah, dan televisi. Kita pun menduga Pram atau ahli waris bakal menolak bila ada permintaan menjadikan Pram dan kutipan dari buku tergunakan dalam persaingan iklan di pasar rokok.
Kita sedang menghadapi buku tebal berjudul Penebar Rayuan, memuat ulasan-ulasan sembarangan mengenai iklan dan berita rokok di pelbagai majalah masa 1990-an. Pembuat kliping atau penulis memberi penjelasan tak panjang. Kita membaca sejenak-sejenak, berharap mengerti keragaman gambar, kata, warna, dan segala hal dalam periklanan rokok. Singgungan atau kutipan dari sastra kadang terbaca tapi sedikit. Buku tak mewajibkan ada daftar pustaka. Pembaca saja membuat daftar pustaka sambil menandai perkara-perkara penting tersaji dalam buku.
Pesan dari penulis: “… jika dilihat sebagai upaya dokumentasi, buku ini akan menjadi artefak penting untuk mengetahui dunia periklanan rokok.” Kita membenarkan dengan memanggil sekian buku untuk membaca Penebar Rayuan. Kita ingin buku tak kesepian. Sekian buku terpanggil mungkin menambahi bobot pembacaan kliping tergarap selama wabah.
Kita mulai dengan buku berjudul Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya (2011) susunan Rudy Badil. Buku besar dan mahal. Buku itu dokumentatif. Sekian gambar dan foto disajikan dalam buku membuat pembaca terpikat. Sekian tulisan dari orang-orang ampuh mengimbuhi kesan tak terlupakan bagi pembaca memikirkan rokok, dari masa ke masa. Kalimat bujukan: “Kenangan manis dari temuan sisa benda budaya kretek itu, sungguh memperlihatkan ‘lintas budaya’ dari zaman pendudukan Belanda, Balatentara Jepang, dan selewat masa kemerdekaan yang merdeka!” Halaman-halaman memuat sejarah dan kisah.
Kita simak saja daftar merek rokok kretek dihasilkan dan beredar di Indonesia, sejak masa 1930-an sampai 1970-an: Djempol, Moeka Adjaib, Koentjoeng, Poetri Goenoeng, Besut, Mastoer, Soelastri, Siti, Djambul, Sungut, Glatik, Kresno, Gudel, Kerbau, Ketjubung, Krokot, Pari, Kembang Mlati, Kuda Terbang, Siluman, Besek, Kendi, Pantji, Sendok, Ungkal, Paku, Lampu Ting, Pentoel, Roda Api, Blangkon, Sapu Tangan, Lajar Poetih, Seriboe Satoe, Matahari Terbit, Terang Bulan, dan lain-lain. Sekian merek itu masa lalu atau nostalgia. Di buku Penebar Rayuan, kita disuguhi merek-merek terkenal dan terakrabi publik di kota dan desa gara-gara serbuan iklan.
Kita diajak melihat iklan Gudang Garam dimuat di majalah Matra edisi September 1994. Iklan memberi seruan bahwa rokok itu “selera pemberani”. Rokok bagi lelaki berani mencari tantangan dan membuktikan keperkasaan. Pilihan rokok menjamin mutu lelaki. Kita boleh mufakat atau meragu saja.
Seruan bertambah: “Pria Punya Selera”. Kata-kata itu milik Gudang Garam. Iklan merek Djarum Super mengajukan kata-kata: “Bukan Sembarang Pria!” Perbandingan kata-kata dari dua merek rokok kondang menghasilkan penjelasan: “Pria diharapkan mendapatkan legitimasi ‘kejantanan’ mereka lewat merek-merek rokok yang mereka pilih.” Kita tak menemukan penjelasan iseng penggunaan sebutan “pria”. Sebutan mungkin terasa mantap ketimbang “lelaki” atau “laki-laki”.