Kisah Sonaun, Petani yang Baru Sholat di Umur 25 Tahun Bersyukur Bisa Naik Haji
loading...
A
A
A
Sonaun mengaku penghasilannya dari dunia pertanian selama setahun sekitar Rp250 juta: keuntungan Rp100 juta, biaya produksinya Rp150 juta. "Penghasilan saya Rp250 juta setahun itu rata-rata ya, jika sedang panen bagus dan harganya bagus," katanya.
Ikhtiar Sonaun di bidang pertanian tidak cuma menghantarkannya ke tanah suci menunaikan rukun Islam kelima, tapi juga berhasil membuat anak-anaknya mengenyam pendidikan lebih baik darinya yang cuma lulusan SD, begitu juga istri, cuma lulusan SD. Selain sekolah, anak-anaknya juga mendapatkan pendidikan agama di pesantren.
Anak pertamanya (Siti Mutmainnah) dan anak keduanya (Muhammad Yusuf) alumni Pesantren An-Nur Mojolawaran, Gabus, Pati. Pesantren ini didirikan oleh KH Nur Kholis. Anak terakhirnya, Abdul Hidayat, masih nyantri di Pesantren Al-Kholil, Pasuruan, Kayen, Pati. "Awalnya di Kudus, tapi musim korona saya pindah yang dekat rumah saja," katanya.
Meminjam istilah Clifford Geertz, Sonaun sekarang telah menjadi santri seutuhnya, yakni telah melaksanakan lima rukun Islam. Yang dulu tidak sembayang, sekarang sembayang, yang dulu tidak puasa, sudah puasa. Bahkan saat jelang umur 50 aktif di pengajian Yasinan dan Tahlilan.
"Saya menyesal tidak bisa mengaji. Sampai sekarang saya harus mikir jika ditanya batalnya wudu apa saja. Tapi Alhamdulillah anak saya mengerti agama tingkat dasar, bahkan Siti Mutmainnah ngajar di TPQ, suaminya guru di pesantren. Anak kedua Muhammad Yusuf (lahir 1998), tamat SMA. Sekarang sudah kerja jadi tukang kayu. Dia tidak mau disekolahkan, gak mau. Abdul Hidayat yang lahir 2003 masih mesantren," jelasnya.
Kendati demikian, usai disinggung hidupnya telah sempurna, Sonaun merespons, "Ya belum, dan tidak ada yang sempurna. Doakan orang tua saya diampuni dosa-dosanya. Doakan saya juga Mas, setelah haji nanti saya bisa istikamah menjalankan kebaikan, terutama salat, mempersiapkan untuk mati." tandasnya.
Ikhtiar Sonaun di bidang pertanian tidak cuma menghantarkannya ke tanah suci menunaikan rukun Islam kelima, tapi juga berhasil membuat anak-anaknya mengenyam pendidikan lebih baik darinya yang cuma lulusan SD, begitu juga istri, cuma lulusan SD. Selain sekolah, anak-anaknya juga mendapatkan pendidikan agama di pesantren.
Anak pertamanya (Siti Mutmainnah) dan anak keduanya (Muhammad Yusuf) alumni Pesantren An-Nur Mojolawaran, Gabus, Pati. Pesantren ini didirikan oleh KH Nur Kholis. Anak terakhirnya, Abdul Hidayat, masih nyantri di Pesantren Al-Kholil, Pasuruan, Kayen, Pati. "Awalnya di Kudus, tapi musim korona saya pindah yang dekat rumah saja," katanya.
Meminjam istilah Clifford Geertz, Sonaun sekarang telah menjadi santri seutuhnya, yakni telah melaksanakan lima rukun Islam. Yang dulu tidak sembayang, sekarang sembayang, yang dulu tidak puasa, sudah puasa. Bahkan saat jelang umur 50 aktif di pengajian Yasinan dan Tahlilan.
"Saya menyesal tidak bisa mengaji. Sampai sekarang saya harus mikir jika ditanya batalnya wudu apa saja. Tapi Alhamdulillah anak saya mengerti agama tingkat dasar, bahkan Siti Mutmainnah ngajar di TPQ, suaminya guru di pesantren. Anak kedua Muhammad Yusuf (lahir 1998), tamat SMA. Sekarang sudah kerja jadi tukang kayu. Dia tidak mau disekolahkan, gak mau. Abdul Hidayat yang lahir 2003 masih mesantren," jelasnya.
Kendati demikian, usai disinggung hidupnya telah sempurna, Sonaun merespons, "Ya belum, dan tidak ada yang sempurna. Doakan orang tua saya diampuni dosa-dosanya. Doakan saya juga Mas, setelah haji nanti saya bisa istikamah menjalankan kebaikan, terutama salat, mempersiapkan untuk mati." tandasnya.
(muh)