Kisah Sonaun, Petani yang Baru Sholat di Umur 25 Tahun Bersyukur Bisa Naik Haji

Rabu, 08 Juni 2022 - 08:59 WIB
loading...
Kisah Sonaun, Petani yang Baru Sholat di Umur 25 Tahun Bersyukur Bisa Naik Haji
Sonaun, jamaah haji asal Pati, Jawa Tengah akan berulang tahun ke-57 di Madinah pada 10 Juni nanti. Foto/Kemenag
A A A
JAKARTA - Sonaun, seorang petani kelahiran Pati, 10 Juni 1965 tak henti-hentinya mengucapkan syukur. Pada 10 Juni nanti dia genap berusia ke-57. Ulang tahunnya itu akan menjadi istimewa karena dia tengah berada di Madinah, Arab Saudi, menjadi tamu Allah sebagai jamaah haji .

"Saya bersyukur sekali bisa naik haji. Waktu masih muda ya tidak terpikir. Wong saya ini sembahyang lima waktu saja baru mulai umur 25 tahun." ujar Sonaun dikutip MPI dalam laman resmi kemenag, Rabu (8/6/2022).

Sonaun masuk Embarkasi Solo pada 3 Juni 2022. Dia tergabung dengan kloter 1 Embarkasi Solo (SOC 1) yang berangkat 4 Juni, pukul 00.30 WIB. Pesawat Garuda yang mengantarnya mendarat di Bandara Amir Mohammad bin Abdul Aziz (AMAA), Madinah, pada hari yang sama, sekitar pukul 08.58 waktu Arab Saudi (WAS).



Sonaun berasal dari Desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dia adalah satu-satunya jamaah haji dari desanya itu. Sebagai petani, Sonaun terbilang istimewa. Dia punya sawah seluas 1 hektare. Ikhtiarnya mampu mengantarkan Sonaun dan istrinya Kusriwati, 47, berangkat ke Tanah Suci. "Hasil tani saya tabung. Kebutuhan hidup sehari-hari dari istri yang pedagang kelontong," terang bapak tiga anak dan dua cucu ini.

Sonaun bercerita, dia mendaftar haji tahun 2011 dengan total setoran untuk suami-istri sebesar Rp50 juta. "Beruntung sekali istri saya itu jualan, jadi saya bisa nabung," tegasnya.

Pembayaran haji dilunasi pada tahun 2020 sebelum adanya kebijakan untuk membatalkan keberangkatan dikarenakan pandemi Covid-19 mengguncang Tanah Air. Suami istri membayar masing-masing Rp11.250.000. Biaya haji total Rp36,3 juta.

Untuk ukuran petani di Kecamatan Kayen, Sonaun tidak masuk golongan petani kecil, karena dia menggarap lahan seluas 5 hektare. Sonaun menanami lahannya dengan padi dan jagung. "Pernah menanam bawang tapi gagal, harganya anjlok. Setelah itu, saya tanami padi dan jagung terus."

"Yang setengah hektare warisan orang tua, setengahnya lagi saya beli sendiri dari jual sapi pejantan tiga ekor, gemuk-gemuk. Awal tahun 1990-an, saya jual Rp2 juta dan hasilnya dibelikan sawah setengah hektare," ungkapnya.

Sonaun saat masa anak-anak adalah seorang penggembala. Menginjak remaja, Sonaun mulai membantu ayahnya di sawah. "Yang bantu bapak di sawah cuma saya, karena kakak saya perempuan, sementara empat adik saya masih kecil."

Sonaun mengaku penghasilannya dari dunia pertanian selama setahun sekitar Rp250 juta: keuntungan Rp100 juta, biaya produksinya Rp150 juta. "Penghasilan saya Rp250 juta setahun itu rata-rata ya, jika sedang panen bagus dan harganya bagus," katanya.

Ikhtiar Sonaun di bidang pertanian tidak cuma menghantarkannya ke tanah suci menunaikan rukun Islam kelima, tapi juga berhasil membuat anak-anaknya mengenyam pendidikan lebih baik darinya yang cuma lulusan SD, begitu juga istri, cuma lulusan SD. Selain sekolah, anak-anaknya juga mendapatkan pendidikan agama di pesantren.



Anak pertamanya (Siti Mutmainnah) dan anak keduanya (Muhammad Yusuf) alumni Pesantren An-Nur Mojolawaran, Gabus, Pati. Pesantren ini didirikan oleh KH Nur Kholis. Anak terakhirnya, Abdul Hidayat, masih nyantri di Pesantren Al-Kholil, Pasuruan, Kayen, Pati. "Awalnya di Kudus, tapi musim korona saya pindah yang dekat rumah saja," katanya.

Meminjam istilah Clifford Geertz, Sonaun sekarang telah menjadi santri seutuhnya, yakni telah melaksanakan lima rukun Islam. Yang dulu tidak sembayang, sekarang sembayang, yang dulu tidak puasa, sudah puasa. Bahkan saat jelang umur 50 aktif di pengajian Yasinan dan Tahlilan.

"Saya menyesal tidak bisa mengaji. Sampai sekarang saya harus mikir jika ditanya batalnya wudu apa saja. Tapi Alhamdulillah anak saya mengerti agama tingkat dasar, bahkan Siti Mutmainnah ngajar di TPQ, suaminya guru di pesantren. Anak kedua Muhammad Yusuf (lahir 1998), tamat SMA. Sekarang sudah kerja jadi tukang kayu. Dia tidak mau disekolahkan, gak mau. Abdul Hidayat yang lahir 2003 masih mesantren," jelasnya.

Kendati demikian, usai disinggung hidupnya telah sempurna, Sonaun merespons, "Ya belum, dan tidak ada yang sempurna. Doakan orang tua saya diampuni dosa-dosanya. Doakan saya juga Mas, setelah haji nanti saya bisa istikamah menjalankan kebaikan, terutama salat, mempersiapkan untuk mati." tandasnya.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1540 seconds (0.1#10.140)