Menanti Jurus LBP bagi Sengkarut Minyak Goreng

Jum'at, 03 Juni 2022 - 16:58 WIB
loading...
Menanti Jurus LBP bagi Sengkarut Minyak Goreng
Bawono Kumoro (Foto: Ist)
A A A
Bawono Kumoro
Associate Researcher di Indikator Politik Indonesia

SELAMA beberapa bulan terakhir ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng menjadi persoalan paling pelik di antara berbagai persoalan lain terkait kebutuhan pokok masyarakat. Sengkarut persoalan minyak goreng mulai terasa saat harga di dalam negeri mengalami lonjakan menjelang akhir tahun lalu.

Merespons hal itu pada pertengahan Januari lalu pemerintah turun tangan merespons kenaikan harga minyak goreng yang terus melambung. Efek domino pandemi dan perang Rusia-Ukraina ditengarai menjadi sebab utama kenaikan harga bahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil) di pasar internasional sehingga berdampak terhadap harga minyak goreng di dalam negeri. Menteri Perdagangan M Lutfi mengeluarkan jurus kebijakan minyak goreng satu harga, Rp14.000 per liter. Alih-alih harga turun, justru terus merangkak naik perlahan-lahan. Tidak hanya itu, pasokan minyak goreng di pasaran pun mulai tersendat.

Pada Februari Mendag Lutfi kembali mengeluarkan jurus baru dengan memberlakukan harga eceran tertinggi minyak goreng senilai Rp14.000 per liter bagi minyak goreng kemasan, Rp13.500 per liter untuk kemasan sederhana, dan Rp11.500 untuk minyak goreng curah. Bersamaan dengan pemberlakuan kebijakan itu, diberlakukan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) terhadap seluruh produsen minyak goreng.

Sebagaimana jurus pertama pada Januari 2022, jurus kedua dari Mendag ini juga tidak membuahkan hasil positif. Setelah pemberlakuan kebijakan harga eceran tertinggi, minyak goreng di pasaran tiba-tiba menjadi barang sangat langka. Masyarakat berteriak mengeluh kesulitan dalam memperoleh minyak goreng di pasaran.

Melihat serangkaian kebijakan yang dikeluarkan oleh Mendag tersebut tidak kunjung membuahkan hasil positif, pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, kemudian mengambil langkah mundur berupa pencabutan kebijakan harga eceran tertinggi minyak goreng serta kebijakan pemenuhan DMO dan DPO yang sebelumnya dikeluarkan oleh Mendag Lutfi.

Pada pertengahan Maret 2022 harga minyak goreng pun dilepas mengikuti harga keekonomian. Untuk membantu masyarakat berpendapatan rendah dan usaha kecil menengah, diberikan subsidi agar harga minyak goreng curah dapat terjaga paling mahal pada harga Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per liter.

Kebijakan Menko Airlangga tersebut memang berhasil dalam mengatasi persoalan kelangkaan minyak goreng. Namun, kebijakan ini tidak berhasil untuk menurunkan harga minyak goreng. Alih-alih turun, harga minyak goreng justru melesat ke Rp25.000 per liter atau Rp54.000 per dua liter.

Hingga kini harga minyak goreng terpantau masih sangat tinggi. Beberapa merek terpantau masih bertengger pada kisaran harga Rp52.000 per dua liter. Selain itu, harga minyak goreng curah juga masih belum berada pada harga Rp14.000 per liter sebagaimana diinginkan pemerintah.

Persepsi publik terhadap persoalan minyak goreng juga terekam melalui survei nasional Indikator Politik Indonesia periode 5 - 10 Mei 2022. Hasil survei menunjukkan 56,4% responden merasa kesulitan dalam memperoleh minyak goreng dalam beberapa bulan terakhir. Dari 56,4% responden tersebut 64,0% mengaku karena harga tidak terjangkau dan 34,4% karena ketersediaan barang tidak terdapat di pasaran.

Temuan survei itu juga menunjukkan 1,3% responden mengaku harga minyak goreng sangat terjangkau, 23,3% responden merasa harga minyak goreng terjangkau, 53,8% mengaku harga minyak goreng kurang terjangkau, 19,0% responden mengaku harga minyak goreng sangat tidak terjangkau, dan 2,6% responden tidak tahu/tidak jawab.

Menanti Kiprah Luhut
Jengkel terhadap persoalan minyak goreng yang tidak kunjung tuntas, tidak lama setelah mencabut larangan ekspor crude palm oil dan berbagai produk turunan, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) untuk menuntaskan persoalan itu.

Pro dan kontra pun bermunculan menanggapi keputusan Presiden untuk menugaskan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi untuk menuntaskan persoalan minyak goreng. Mengemban penugasan dari Presiden untuk mengatasi persoalan-persoalan di luar lingkup bidang maritim dan investasi memang bukan hal baru bagi LBP. Mulai 2014 hingga sekarang LBP tercatat pernah mengemban kurang lebih 10 jabatan di pemerintahan, baik jabatan itu bersifat definitif, adhoc, maupun ad interim.

Mengapa LBP begitu sangat dipercaya oleh Presiden untuk mengemban berbagai tugas strategis? Terlepas dari sikap sinis sejumlah pihak terhadap hal itu, realitas di lapangan menunjukkan LBP mampu menyelesaikan tugas-tugas penting dan tidak mudah yang diamanatkan oleh Presiden. Terakhir, sebagai koordinator pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat mikro darurat di Pulau Jawa dan Bali, dia mampu menangani pandemi di Pulau Jawa dan Bali. Penanganan pandemi di Indonesia pun menuai pujian dari dunia internasional.

Sulit dimungkiri, penunjukan LBP oleh Presiden untuk mengemban berbagai tugas penting tersebut boleh jadi didasarkan pada pertimbangan kapasitasnya, terutama kapasitas dalam melakukan koordinasi sekaligus memastikan pelaksanaan eksekusi di lapangan agar implementasi sebuah kebijakan dapat berjalan efektif. Kalau ditelaah lebih jauh, penunjukan LBP oleh Presiden untuk mengatasi berbagai persoalan di luar bidang maritim dan investasi juga menunjukkan ketidakmampuan dari menteri-menteri teknis di bidang terkait.

Gebrakan perdana untuk mengatasi masalah minyak goreng langsung diperlihatkan oleh LBP melalui rencana untuk melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan minyak mentah sawit. Audit ini akan menjadi kali pertama dilakukan oleh pemerintah sepanjang sejarah. Audit terhadap perusahaan-perusahaan minyak sawit mentah itu akan meliputi pengecekan luas lahan perkebunan, surat izin usaha, hak guna usaha, hak pengelolaan lahan, dan juga lokasi kantor pusat perusahaan-perusahaan itu apakah di dalam negeri atau di luar negeri untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui pajak.

Selain itu, untuk menindaklanjuti pencabutan larangan ekspor crude palm oil dan berbagai produk turunan, pemerintah juga akan mencabut subsidi minyak goreng curah mulai akhir Mei lalu. Kebijakan itu akan diganti dengan menerapkan kembali DMO dan DPO minyak goreng curah. Kebijakan ini diambil atas evaluasi kondisi di lapangan. Saat ini pemerintah menyubsidi minyak goreng curah agar harga diperoleh masyarakat di pasaran diharapkan sebesar Rp14.000 per liter. Akan tetapi, kondisi di lapangan menunjukkan harga minyak goreng curah di pasaran lebih tinggi dari itu.

Hal yang membedakan kebijakan DMO dan DPO kali ini dengan kebijakan serupa beberapa bulan lalu adalah mekanisme validasi terhadap DMO dan DPO dari perusahaan-perusahaan eksportir akan dilakukan dengan berbasiskan pada data sistem informasi minyak goreng curah.

Sistem informasi minyak goreng curah merupakan platform bagi pengawasan distribusi minyak goreng curah bersubsidi yang akan digunakan sebagai bahan dasar pertimbangan pelaksanaan pemberian persetujuan ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan begitu, pemerintah berharap ke depan persetujuan dan pengajuan ekspor dilakukan secara otomatis melalui sebuah sistem terintegrasi sehingga tata kelola ekspor dapat menjadi jauh lebih baik.

Selain menerapkan kebijakan DMO dan DPO minyak goreng terhadap perusahaan-perusahaan eksportir, pemerintah juga mulai merancang transisi dari program minyak goreng curah rakyat menuju minyak goreng kemasan dengan harga eceran tertinggi Rp14.000 per liter agar dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun,untuk menuju arah sana, pemerintah harus cermat dalam melakukan penghitungan komponen biaya secara akurat agar dapat berjalan baik di lapangan. Bagi para perusahaan eksportir yang berpartisipasi dalam program ini juga bisa diberikan insentif-insentif tertentu.

Berbagai rencana langkah kebijakan dalam rangka mengatasi rumitnya persoalan minyak goreng tersebut menunjukkan pendekatan agak berbeda dibandingkan sejumlah kebijakan terdahulu. Kali ini lebih mengedepankan penuntasan masalah-masalah di sisi hulu, tidak melulu di sisi hilir. Meski demikian, bukan berarti sisi hilir dilupakan sama sekali dalam menyelesaikan persoalan minyak goreng.

Pemerintah tentu saja sadar betul apabila problem di sisi hilir seperti pelanggaran distribusi tidak turut dilakukan pengawasan akan membuat berbagai rancangan kebijakan di sisi hulu tadi menjadi percuma. Untuk itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah daerah dan aparat keamanan dalam membersihkan distribusi dengan cara menindak tegas pihak-pihak nakal, seperti pungutan-pungutan liar yang menyebabkan harga eceran di tingkat konsumen menjadi naik.

Semoga jurus yang digulirkan oleh pemerintah kali ini bagi penyelesaian sengkarut minyak goreng membuahkan hasil jauh lebih positif dan dapat membuat tenang hati masyarakat.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7226 seconds (0.1#10.140)