Dugaan Korupsi Helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh Rugikan Negara Rp224 Miliar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) akhirnya menahan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh (IKS) alias John Irfan Kenway (JIK) setelah melenggang bebas selama hampir lima tahun. Irfan Kurnia Saleh ditahan setelah diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka pada hari ini.
Irfan Kurnia Saleh merupakan tersangka kasus dugaan korupsi terkait pengadaan Helikopter angkut Agusta Westland (AW-101). Irfan bersama sejumlah pihak lainnya diduga telah merugikan keuangan negara sekira Rp224 miliar terkait pengadaan helikopter angkut jenis AW-101.
"Akibat perbuatan IKS, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat menggelar konferensi pers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (24/5/2022).
Lebih lanjut, Firli membeberkan konstruksi perkara korupsi pengadaan helikopter AW-101 ini. Mulanya, kata Firli, Irfan selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri sekaligus PT Karsa Cipta Gemilang berkoordinasi dengan salah satu pegawai PT Agusta Westland (PT AW) Lorenzo Pariani (LP).
Irfan dan Lorenzo kemudian menemui mantan Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI Angkatan Udara, Mohammad Syafei (MS) di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur, sekitar Mei 2015. Pertemuan tersebut membahas pengadaan helikopter AW-101 VIP atau VVIP untuk TNI AU.
"IKS yang juga menjadi salah satu agen AW diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS. Di mana, harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp514,5 miliar)," kata Firli.
Selanjutnya, sekitar November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU, mengundang Irfan Kurnia Saleh untuk hadir dalam tahap prakualifikasi. Rencananya, PT Diratama Jaya Mandiri akan ditunjuk langsung sebagai pemenang proyek.
"Dan hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung," tuturnya.
Pengadaan helikopter AW 101 untuk TNI AU tersebut kembali dilanjutkan pada 2016 dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar. Proses pengadaan saat itu menggunakan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh dua perusahaan.
"Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan IKS dalam menghitung nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) kontrak pekerjaan," katanya.
Adapun, harga penawaran yang diajukan Irfan Kurnia Saleh saat itu masih sama dengan harga penawaran di 2015 yakni, senilai 56,4 juta dolar AS. Harga penawaran tersebut kemudian disetujui oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
"IKS juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan FA (Fachri Adamy) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)," bebernya.
Lelang tersebut kemudian dimenangkan perusahaan Irfan Kurnia Saleh. Irfan diduga menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya untuk mengikuti proses lelang tersebut. Perusahaan Irfan kemudian disetujui oleh PPK.
Irfan diduga telah menerima proses pembayaran 100 persen dari pengadaan helikopter tersebut. Namun faktanya, ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak. Di antaranya, tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
Hal itu kemudian mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai Rp224 miliar. Atas perbuatannya, Irfan Kurnia Saleh disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Irfan Kurnia Saleh merupakan tersangka kasus dugaan korupsi terkait pengadaan Helikopter angkut Agusta Westland (AW-101). Irfan bersama sejumlah pihak lainnya diduga telah merugikan keuangan negara sekira Rp224 miliar terkait pengadaan helikopter angkut jenis AW-101.
"Akibat perbuatan IKS, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat menggelar konferensi pers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (24/5/2022).
Baca Juga
Lebih lanjut, Firli membeberkan konstruksi perkara korupsi pengadaan helikopter AW-101 ini. Mulanya, kata Firli, Irfan selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri sekaligus PT Karsa Cipta Gemilang berkoordinasi dengan salah satu pegawai PT Agusta Westland (PT AW) Lorenzo Pariani (LP).
Irfan dan Lorenzo kemudian menemui mantan Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI Angkatan Udara, Mohammad Syafei (MS) di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur, sekitar Mei 2015. Pertemuan tersebut membahas pengadaan helikopter AW-101 VIP atau VVIP untuk TNI AU.
"IKS yang juga menjadi salah satu agen AW diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS. Di mana, harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp514,5 miliar)," kata Firli.
Selanjutnya, sekitar November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU, mengundang Irfan Kurnia Saleh untuk hadir dalam tahap prakualifikasi. Rencananya, PT Diratama Jaya Mandiri akan ditunjuk langsung sebagai pemenang proyek.
"Dan hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung," tuturnya.
Pengadaan helikopter AW 101 untuk TNI AU tersebut kembali dilanjutkan pada 2016 dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar. Proses pengadaan saat itu menggunakan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh dua perusahaan.
"Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan IKS dalam menghitung nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) kontrak pekerjaan," katanya.
Adapun, harga penawaran yang diajukan Irfan Kurnia Saleh saat itu masih sama dengan harga penawaran di 2015 yakni, senilai 56,4 juta dolar AS. Harga penawaran tersebut kemudian disetujui oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
"IKS juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan FA (Fachri Adamy) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)," bebernya.
Lelang tersebut kemudian dimenangkan perusahaan Irfan Kurnia Saleh. Irfan diduga menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya untuk mengikuti proses lelang tersebut. Perusahaan Irfan kemudian disetujui oleh PPK.
Irfan diduga telah menerima proses pembayaran 100 persen dari pengadaan helikopter tersebut. Namun faktanya, ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak. Di antaranya, tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.
Hal itu kemudian mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai Rp224 miliar. Atas perbuatannya, Irfan Kurnia Saleh disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
(rca)