Di Rapat Terakhir Menteri, Jenderal Ini Memutuskan Setia pada Soeharto
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Soeharto memutuskan mengundurkan diri alias lengser dari jabatan yang telah diemban selama lebih dari 30 tahun pada 21 Mei 1998. Sebagian besar menteri Kabinet Pembangunan VII yang dilantik tiga bulan sebelumnya memutuskan meninggalkan Pak Harto di tengah tekanan hebat politik yang mendera.
Tekanan hebat kepada penguasa Orde Baru berawal dari krisis moneter yang melanda Asia pada November 1997. Untuk menanggulangi krisis ekonomi, Soeharto yang berada di ujung masa jabatan Presiden RI kali keenam, meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Namun, keadaan ekonomi tak kunjung membaik, bahkan krisis semakin menjadi.
Di tengah krisis ekonomi yang parah, pada 10 Maret 1998, Soeharto kembali ditetapkan oleh MPR menjadi Presiden RI untuk ketujuh kalinya. Sebagai wakil presiden adalah BJ Habibie. Hal ini memicu munculnya penolakan terhadap Soeharto. Ia pun dituntut mundur dari jabatannya.
Baca juga: Peristiwa 21 Mei, Ginandjar Kartasasmita: Reformasi Bukan Sebuah Foto tapi Film
Aksi unjuk rasa yang dimotori mahasiswa menuntut Presiden Soeharto lengser terus meluas ke sejumlah wilayah Indonesia. Puncaknya, empat mahasiswa Trisaksi tewas tertembak saat mengikuti demo pada 12 Mei 1998. Mereka adalah Hery Hartanto, Hafidhin Alifidin Royan, Elang Mulia Lesmana, dan Hendriawan Sie.
Meninggalnya empat mahasiswa ini memicu kerusuhan besar di Jakarta. Sejumlah wilayah Ibu Kota penuh dengan api. Asap tebal membumbung tinggi dari bangunan yang dibakar. Esok harinya, Soeharto baru pulang dari lawatan ke Mesir. Penguasa Orde Baru itu berupaya meredam gejolak politik yang terjadi saat itu tapi unjuk rasa mahasiswa dan rakyat tak mampu diredam. Mereka tetap meminta Soeharto mengundurkan diri.
Pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung MPR/DPR. Melihat situasi yang semakin tidak terkendali, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur pada 21 Mei 1998, tepatnya pukul 09.00 WIB.
Sehari sebelum Soeharto mengundurkan diri, Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita menggelar rapat koordinasi di Bappenas. Rapat sore hari, pukul 17.00-19.00 WIB itu diikuti 15 menteri. Tiga menteri tidak hadir, masing-masing Menteri KLH Juwono Sudarsono, Menteri Perdagangan Bob Hasan, dan Menteri Keuangan Fuad Bawazier.
Baca juga: Sjafrie Sjamsoeddin, Jenderal Tampan Peredam Kerusuhan Mei 98 di Jakarta
"Di Indonesia sekarang ini satu-satunya orang yang paling dekat dan paling dipercaya IMF adalah saya. IMF bahkan mengatakan 'I count on you' kepada saya," kata Ginanjar seperti dituturkan mantan Menteri Negara Agraria/Ketua BPN Letjen (Purn) Ary Mardjono dalam buku Pak Harto The Untold Stories, Minggu (22/5/2022).
Menurut Ginanjar, dari sisi ekonomi, usia Republik Indonesia tinggal 5 hari lagi. Situasi akan semakin gawat jika tidak mengambil langkah-langkah reformasi di segala bidang. Kabinet baru yang akan dibentuk Pak Harto, kata Ginanjar dinilai tidak akan menyelesaikan masalah. Atas dasar itu, Ginanjar menyatakan dirinya tidak akan duduk di kabinet.
"Kalau para menteri yang lain sependapat dengan saya, mari kita secara bersama-sama menulis surat untuk Pak Harto," kata Ginanjar.
Dari 15 menteri yang hadir, 14 di antaranya menyatakan setuju dengan pendapat Ginanjar. Hanya Ary Mardjono yang tidak sepakat dan bertahan menjadi menteri Soeharto.
Baca juga: Kilas Balik 21 Mei 1998, Demo Besar-besaran hingga Kerusuhan yang Berujung Mundurnya Soeharto
Dalam rapat tersebut, Ary yang merupakan jenderal pensiunan TNI itu mencoba agar para menteri tidak meninggal Soeharto yang tengah mendapatkan tekanan hebat. Ia mengingatkan ketika Pak Harto menelepon untuk memastikan kesediaan menjadi menteri di Kabinet Pembangunan VII.
"Tetapi ketika Pak Harto sedang menghadapi masalah besar, kita tidak mau membantunya bahkan justru meninggalkannya," kata Ary.
Mantan Direktur Pendidikan & Pengajaran Seskoad, Bandung itu juga mempertanyakan mengapa hanya Menko Ekuin yang mengadakan rapat koordinasi? Sementara menko-menko lain, seperti Menko Bidang Pengawasan Pembangunan dan Penertiban Aparatur Negara (Wasbangpan), Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Kesra dan Taskin), Menko Bindag Politik dan Keamanan (Polkam) tidak mengadakan rapat untuk menilai kondisi negara sesuai bidang masing-masing.
"Saya tidak tahu, mungkin Menko yang lain tidak ada waktu untuk mengadakan rapat," jawab Ginanjar.
Ary lalu menimpali jika keadaan negara sedang genting, semestinya keputusan tidak diambil hanya dari hasil evaluasi Menko Ekuin, tapi dari empat menko, sehingga komprehensif menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat. Setelah itu, baru dilaporkan ke presiden. Namun pertanyaan itu dinilai tidak berkaitan dengan materi rapat yang digelar Menko Ekuin.
"Mengapa Pak Ginanjar tidak mundur secara pribadi, mengapa pula harus mengajak seluruh menteri yang berada di bawah koordinasinya untuk mengundurkan diri bersama-sama pada saat Pak Harto menghadapi kesulitan mengatasi krisis? Ada apa di balik ajakan ini?" tanya Ary yang menjabat sebagai Sekjen Partai Golkar (1993-1998).
"Kalau Pak Ary Mardjono tidak mau mundur, juga tidak apa-apa," jawab Ginanjar.
"Saya tidak akan mundur dan tetap membantu Pak Harto," tandas Ary.
Rapat koordinasi Menko Ekuin akhrinya ditutup pukul 19.00 WIB. Surat pengunduran diri yang dibuat oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Pemukiman Akbar Tanjung lalu dikirimkan ke Presiden Soeharto. Isinya 14 menteri menyatakan akan tetap membantu pelaksanaan tugas Presiden dalam menyukseskan Catur Krida Kabinet Pembnguan VII. Namun, mereka menolak masuk dalam kabinet yang tengah disusun Presiden Soeharto.
Selepas rapat Ary lalu meluncur ke kediaman Pak Harto di Cendana. Ia menanyakan kepada Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut perihal surat pengunduran diri 14 menteri Kabinet Pembangunan VII.
"Pak Harto sudah menerima surat tersebut, dan besok pagi beliau akan menyatakan berhenti sebagai presiden," kata Mbak Tutut yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Sosial.
Dalam buku yang sama, Siti Hediati Hariyadi Soeharto menuturkan, malam sebelum mengundurkan diri, ayahnya memanggil seluruh putra-putrinya.
"Karena keadaan sudah semakin kacau dan saya tidak mau terjadi pertumpahan darah di antara sesama rakyat Indonesia, saya sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dan berhenti dari jabatan saya sebagai presiden. Dan besok akan saya umumkan," ucap Soeharto seperti dituturkan Siti Hediati.
Semua anak-anak diam. Selang beberapa menit, putra-putrinya memastikan apakah keputusan itu telah bulat.
"Biarlah nanti sejarah yang akan membuktikan apa yang sudah Bapak dan Ibumu lakukan untuk negara dan bangsa ini," ucap Soeharto.
Esok harinya, 21 Mei 1998, Ary Mardjono kembali ke Cendana. Ia melihat Presiden Soeharto bersiap menuju Istana untuk menyampaikan pidato berhenti dari jabatan yang telah disandang lebih dari 30 tahun.
"Pak Harto begitu tenang seperti tidak menghadapi masalah apa pun. Inilah putra terbaik Indonesia yang telah mencapai tingkatan negarawan paripurna," kata Ary.
Tekanan hebat kepada penguasa Orde Baru berawal dari krisis moneter yang melanda Asia pada November 1997. Untuk menanggulangi krisis ekonomi, Soeharto yang berada di ujung masa jabatan Presiden RI kali keenam, meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia. Namun, keadaan ekonomi tak kunjung membaik, bahkan krisis semakin menjadi.
Di tengah krisis ekonomi yang parah, pada 10 Maret 1998, Soeharto kembali ditetapkan oleh MPR menjadi Presiden RI untuk ketujuh kalinya. Sebagai wakil presiden adalah BJ Habibie. Hal ini memicu munculnya penolakan terhadap Soeharto. Ia pun dituntut mundur dari jabatannya.
Baca juga: Peristiwa 21 Mei, Ginandjar Kartasasmita: Reformasi Bukan Sebuah Foto tapi Film
Aksi unjuk rasa yang dimotori mahasiswa menuntut Presiden Soeharto lengser terus meluas ke sejumlah wilayah Indonesia. Puncaknya, empat mahasiswa Trisaksi tewas tertembak saat mengikuti demo pada 12 Mei 1998. Mereka adalah Hery Hartanto, Hafidhin Alifidin Royan, Elang Mulia Lesmana, dan Hendriawan Sie.
Meninggalnya empat mahasiswa ini memicu kerusuhan besar di Jakarta. Sejumlah wilayah Ibu Kota penuh dengan api. Asap tebal membumbung tinggi dari bangunan yang dibakar. Esok harinya, Soeharto baru pulang dari lawatan ke Mesir. Penguasa Orde Baru itu berupaya meredam gejolak politik yang terjadi saat itu tapi unjuk rasa mahasiswa dan rakyat tak mampu diredam. Mereka tetap meminta Soeharto mengundurkan diri.
Pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung MPR/DPR. Melihat situasi yang semakin tidak terkendali, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur pada 21 Mei 1998, tepatnya pukul 09.00 WIB.
Sehari sebelum Soeharto mengundurkan diri, Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita menggelar rapat koordinasi di Bappenas. Rapat sore hari, pukul 17.00-19.00 WIB itu diikuti 15 menteri. Tiga menteri tidak hadir, masing-masing Menteri KLH Juwono Sudarsono, Menteri Perdagangan Bob Hasan, dan Menteri Keuangan Fuad Bawazier.
Baca juga: Sjafrie Sjamsoeddin, Jenderal Tampan Peredam Kerusuhan Mei 98 di Jakarta
"Di Indonesia sekarang ini satu-satunya orang yang paling dekat dan paling dipercaya IMF adalah saya. IMF bahkan mengatakan 'I count on you' kepada saya," kata Ginanjar seperti dituturkan mantan Menteri Negara Agraria/Ketua BPN Letjen (Purn) Ary Mardjono dalam buku Pak Harto The Untold Stories, Minggu (22/5/2022).
Menurut Ginanjar, dari sisi ekonomi, usia Republik Indonesia tinggal 5 hari lagi. Situasi akan semakin gawat jika tidak mengambil langkah-langkah reformasi di segala bidang. Kabinet baru yang akan dibentuk Pak Harto, kata Ginanjar dinilai tidak akan menyelesaikan masalah. Atas dasar itu, Ginanjar menyatakan dirinya tidak akan duduk di kabinet.
"Kalau para menteri yang lain sependapat dengan saya, mari kita secara bersama-sama menulis surat untuk Pak Harto," kata Ginanjar.
Dari 15 menteri yang hadir, 14 di antaranya menyatakan setuju dengan pendapat Ginanjar. Hanya Ary Mardjono yang tidak sepakat dan bertahan menjadi menteri Soeharto.
Baca juga: Kilas Balik 21 Mei 1998, Demo Besar-besaran hingga Kerusuhan yang Berujung Mundurnya Soeharto
Dalam rapat tersebut, Ary yang merupakan jenderal pensiunan TNI itu mencoba agar para menteri tidak meninggal Soeharto yang tengah mendapatkan tekanan hebat. Ia mengingatkan ketika Pak Harto menelepon untuk memastikan kesediaan menjadi menteri di Kabinet Pembangunan VII.
"Tetapi ketika Pak Harto sedang menghadapi masalah besar, kita tidak mau membantunya bahkan justru meninggalkannya," kata Ary.
Mantan Direktur Pendidikan & Pengajaran Seskoad, Bandung itu juga mempertanyakan mengapa hanya Menko Ekuin yang mengadakan rapat koordinasi? Sementara menko-menko lain, seperti Menko Bidang Pengawasan Pembangunan dan Penertiban Aparatur Negara (Wasbangpan), Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Kesra dan Taskin), Menko Bindag Politik dan Keamanan (Polkam) tidak mengadakan rapat untuk menilai kondisi negara sesuai bidang masing-masing.
"Saya tidak tahu, mungkin Menko yang lain tidak ada waktu untuk mengadakan rapat," jawab Ginanjar.
Ary lalu menimpali jika keadaan negara sedang genting, semestinya keputusan tidak diambil hanya dari hasil evaluasi Menko Ekuin, tapi dari empat menko, sehingga komprehensif menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat. Setelah itu, baru dilaporkan ke presiden. Namun pertanyaan itu dinilai tidak berkaitan dengan materi rapat yang digelar Menko Ekuin.
"Mengapa Pak Ginanjar tidak mundur secara pribadi, mengapa pula harus mengajak seluruh menteri yang berada di bawah koordinasinya untuk mengundurkan diri bersama-sama pada saat Pak Harto menghadapi kesulitan mengatasi krisis? Ada apa di balik ajakan ini?" tanya Ary yang menjabat sebagai Sekjen Partai Golkar (1993-1998).
"Kalau Pak Ary Mardjono tidak mau mundur, juga tidak apa-apa," jawab Ginanjar.
"Saya tidak akan mundur dan tetap membantu Pak Harto," tandas Ary.
Rapat koordinasi Menko Ekuin akhrinya ditutup pukul 19.00 WIB. Surat pengunduran diri yang dibuat oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Pemukiman Akbar Tanjung lalu dikirimkan ke Presiden Soeharto. Isinya 14 menteri menyatakan akan tetap membantu pelaksanaan tugas Presiden dalam menyukseskan Catur Krida Kabinet Pembnguan VII. Namun, mereka menolak masuk dalam kabinet yang tengah disusun Presiden Soeharto.
Selepas rapat Ary lalu meluncur ke kediaman Pak Harto di Cendana. Ia menanyakan kepada Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut perihal surat pengunduran diri 14 menteri Kabinet Pembangunan VII.
"Pak Harto sudah menerima surat tersebut, dan besok pagi beliau akan menyatakan berhenti sebagai presiden," kata Mbak Tutut yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Sosial.
Dalam buku yang sama, Siti Hediati Hariyadi Soeharto menuturkan, malam sebelum mengundurkan diri, ayahnya memanggil seluruh putra-putrinya.
"Karena keadaan sudah semakin kacau dan saya tidak mau terjadi pertumpahan darah di antara sesama rakyat Indonesia, saya sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dan berhenti dari jabatan saya sebagai presiden. Dan besok akan saya umumkan," ucap Soeharto seperti dituturkan Siti Hediati.
Semua anak-anak diam. Selang beberapa menit, putra-putrinya memastikan apakah keputusan itu telah bulat.
"Biarlah nanti sejarah yang akan membuktikan apa yang sudah Bapak dan Ibumu lakukan untuk negara dan bangsa ini," ucap Soeharto.
Esok harinya, 21 Mei 1998, Ary Mardjono kembali ke Cendana. Ia melihat Presiden Soeharto bersiap menuju Istana untuk menyampaikan pidato berhenti dari jabatan yang telah disandang lebih dari 30 tahun.
"Pak Harto begitu tenang seperti tidak menghadapi masalah apa pun. Inilah putra terbaik Indonesia yang telah mencapai tingkatan negarawan paripurna," kata Ary.
(abd)