Kebangkitan Industri Perfilman Tanah Air
loading...
A
A
A
SEJUMLAH sektor industri di Tanah Air perlahan-lahan mulai bangkit, seiring dengan kebijakan pelonggaran yang diterapkan pemerintah pada musim libur Lebaran kemarin. Salah satu sektor industri yang mendulang cuan yakni pengusaha bioskop.
Jika pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 kapasitas bioskop dibatasi hanya 25% dan dilarang makan dan minum, saat ini pemerintah mengizinkan penonton untuk makan dan minum di dalam bioskop dengan kapasitas maksimal 75%.
Menariknya lagi, dua film box office yakni KKN di Desa Penari dan Doctor Strange in the Multiverse of Madness mendorong berjuta-juta penonton untuk datang ke bioskop.
Bahkan film KKN di Desa Penari telah menembus 5 juta penonton dalam 13 hari dan menobatkannya sebagai film horor nasional terlaris sepanjang masa. Kedua film tersebut bisa dibilang jadi pintu gerbang kebangkitan bisnis bioskop di Tanah Air di tengah tantangan sejumlah layanan film streaming.
Film KKN Di Desa Penari pun tidak hanya mendulang sukses besar di Indonesia. Di negara tetangga, Malaysia, Brunei, dan Singapura, film produksi MD Pictures itu juga menjaring banyak penonton. Pada hari pertama penayangan di Malaysia pada 12 Mei, film tersebut mengumpulkan 388.781 ringgit atau sekitar Rp1,3 miliar. Hari kedua diputar, pendapatan meningkat drastis menjadi 2,65 juta ringgit atau sekira Ro8,8 miliar. Naik Rp7,5 miliar.
Film Indonesia dengan pendapatan tertinggi di Malaysia sampai saat ini dipegang oleh Pengabdi Setan dengan 7,2 juta ringgit atau sekitar Rp23,9 miliar. Disusul film Makmum yang mengumpulkan 7,15 juta ringgit atau Rp23,8 miliar.
Bukan tidak mungkin pendapatan KKN di Desa Penari melebihi capaian Pengabdi Setan dan Makmum. Apalagi minat masyarakat Malaysia untuk menyaksikan film yang dibintangi Tissa Biani dan Aulia Sarah itu disebut-sebut masih sangat besar.
Pemerintah perlu memberikan sejumlah insentif untuk industri kreatif termasuk film di masa pandemi. Insentif ini diharapkan dapat membantu produksi konten-konten yang memiliki kualitas baik.
Insentif juga diharapkan dapat berdampak positif kepada ekosistem perfilman nasional. Sehingga nantinya bisa membuka peluang kerja bagi insan-insan perfilman nasional di mana satu produksi film bisa membuka lapangan pekerjaan.
Mengutip laporan Film Indonesia, selama pandemi terdapat 2.145 layar serta 517 bisokop atau masing-masing tumbuh 1,7% dan 1,8%. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2018 ketika terdapat 1.824 layar (naik 17,8%) dan 430 bioskop (19,8%). Pada 2016, jumlah layar baru sebanyak 1.330 buah dan 313 unit bioskop.
Pada 2019 menjadi puncak kejayaan dalam sejarah industri perfilman nasional. Saat itu, terdapat 53 juta tiket film nasional ludes terjual. Kalau diasumsikan rata-rata harga tiket adalah Rp40.000, nilai penjualan tiket film nasional diperkirakan mencapai Rp2,12 triliun.
Indikator kesuksesan industri film nasional juga terlihat dari pencapaian lainnya ketika untuk pertama kalinya terdapat 15 film nasional yang penjualan tiketnya mencapai lebih dari 1 juta. Setiap judul film terlaris itu mampu menyedot rata-rata 3,5-7 juta pembeli tiket alias penonton. Contohnya, film romantisme remaja tahun 1990-an, Dilan 1991 yang dinobatkan sebagai salah satu film terlaris di 2019. Sekuel dari Dilan 1990 dan diadaptasi dari novel Dia Adalah Dilanku Tahun 1991 karya Pidi Baiq ini mampu menyedot 6,7 juta penonton.
Pada 2019 film nasional menguasai 35% dari pasar film di dalam negeri. Artinya mampu bersaing dengan film asing yang merebut 65% pasar nasional. Angka 35% itu adalah petunjuk sehat ketika mayoritas negara di Asia pangsa pasar film nasionalnya justru masih di bawah 30%. Hanya ada empat negara Asia dengan penguasaan film nasional di atas 50%, yaitu China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Saatnya kita bangkitkan kembali industri perfilman nasional. Salah satunya dengan memilih film-film nasional berkualitas dan layak ditonton oleh keluarga Indonesia.
Jika pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 kapasitas bioskop dibatasi hanya 25% dan dilarang makan dan minum, saat ini pemerintah mengizinkan penonton untuk makan dan minum di dalam bioskop dengan kapasitas maksimal 75%.
Menariknya lagi, dua film box office yakni KKN di Desa Penari dan Doctor Strange in the Multiverse of Madness mendorong berjuta-juta penonton untuk datang ke bioskop.
Bahkan film KKN di Desa Penari telah menembus 5 juta penonton dalam 13 hari dan menobatkannya sebagai film horor nasional terlaris sepanjang masa. Kedua film tersebut bisa dibilang jadi pintu gerbang kebangkitan bisnis bioskop di Tanah Air di tengah tantangan sejumlah layanan film streaming.
Film KKN Di Desa Penari pun tidak hanya mendulang sukses besar di Indonesia. Di negara tetangga, Malaysia, Brunei, dan Singapura, film produksi MD Pictures itu juga menjaring banyak penonton. Pada hari pertama penayangan di Malaysia pada 12 Mei, film tersebut mengumpulkan 388.781 ringgit atau sekitar Rp1,3 miliar. Hari kedua diputar, pendapatan meningkat drastis menjadi 2,65 juta ringgit atau sekira Ro8,8 miliar. Naik Rp7,5 miliar.
Film Indonesia dengan pendapatan tertinggi di Malaysia sampai saat ini dipegang oleh Pengabdi Setan dengan 7,2 juta ringgit atau sekitar Rp23,9 miliar. Disusul film Makmum yang mengumpulkan 7,15 juta ringgit atau Rp23,8 miliar.
Bukan tidak mungkin pendapatan KKN di Desa Penari melebihi capaian Pengabdi Setan dan Makmum. Apalagi minat masyarakat Malaysia untuk menyaksikan film yang dibintangi Tissa Biani dan Aulia Sarah itu disebut-sebut masih sangat besar.
Pemerintah perlu memberikan sejumlah insentif untuk industri kreatif termasuk film di masa pandemi. Insentif ini diharapkan dapat membantu produksi konten-konten yang memiliki kualitas baik.
Insentif juga diharapkan dapat berdampak positif kepada ekosistem perfilman nasional. Sehingga nantinya bisa membuka peluang kerja bagi insan-insan perfilman nasional di mana satu produksi film bisa membuka lapangan pekerjaan.
Mengutip laporan Film Indonesia, selama pandemi terdapat 2.145 layar serta 517 bisokop atau masing-masing tumbuh 1,7% dan 1,8%. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2018 ketika terdapat 1.824 layar (naik 17,8%) dan 430 bioskop (19,8%). Pada 2016, jumlah layar baru sebanyak 1.330 buah dan 313 unit bioskop.
Pada 2019 menjadi puncak kejayaan dalam sejarah industri perfilman nasional. Saat itu, terdapat 53 juta tiket film nasional ludes terjual. Kalau diasumsikan rata-rata harga tiket adalah Rp40.000, nilai penjualan tiket film nasional diperkirakan mencapai Rp2,12 triliun.
Indikator kesuksesan industri film nasional juga terlihat dari pencapaian lainnya ketika untuk pertama kalinya terdapat 15 film nasional yang penjualan tiketnya mencapai lebih dari 1 juta. Setiap judul film terlaris itu mampu menyedot rata-rata 3,5-7 juta pembeli tiket alias penonton. Contohnya, film romantisme remaja tahun 1990-an, Dilan 1991 yang dinobatkan sebagai salah satu film terlaris di 2019. Sekuel dari Dilan 1990 dan diadaptasi dari novel Dia Adalah Dilanku Tahun 1991 karya Pidi Baiq ini mampu menyedot 6,7 juta penonton.
Pada 2019 film nasional menguasai 35% dari pasar film di dalam negeri. Artinya mampu bersaing dengan film asing yang merebut 65% pasar nasional. Angka 35% itu adalah petunjuk sehat ketika mayoritas negara di Asia pangsa pasar film nasionalnya justru masih di bawah 30%. Hanya ada empat negara Asia dengan penguasaan film nasional di atas 50%, yaitu China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Saatnya kita bangkitkan kembali industri perfilman nasional. Salah satunya dengan memilih film-film nasional berkualitas dan layak ditonton oleh keluarga Indonesia.
(bmm)