RUU TPKS Tak Mencantumkan Pemerkosaan dan Aborsi, Pakar Hukum Ungkap Fakta Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ( TPKS ) tidak mencantumkan secara detail terkait pemerkosaan dan aborsi, karena disebut-sebut akan diatur dalam revisi RUU KUHP. Hal ini direspons Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti.
Baca juga: RUU TPKS Diminta Segera Disahkan
"Yang digunakan dalam penerapan adalah yang lebih khusus, jadi ada satu adagium dalam hukum yakni lex specialis derogat legi generali. Artinya, yang memang sudah lebih khusus mengatur harusnya digunakan, dibandingkan yang lebih umum," ujar Bivitri Susanti, Jumat (8/4/2022).
Ia mengungkapkan, RUU KUHP mencakup lebih luas seperti induk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana.
"Dia (RUU KUHP) seperti ibunya semua peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan pidana, tapi kalau untuk kasus kekerasan seksual nanti uang yang akan digunakan adalah RUU TPKS ini," jelas Bivitri Susanti.
Bivitri Susanti menyebutkan pihaknya mendengar revisi RUU KUHP akan dilangsungkan pada Juni 2022 ia melihat seharusnya ada rumusan yang lebih baik dari RUU KUHP sekarang.
"Masalah di KUHP yang sekarang itu bukan sekadar hukuman ringan atau tidak ringan, tapi ada ada unsur-unsur pidana yang ada di dalam RUU KUHP itu tidak menguntungkan bagi korban terutama khususnya kaum perempuan," ungkap Bivitri Susanti.
Padahal kata Bivitri, pada praktiknya dalam pemerkosaan itu tidak selalu perempuan tapi juga ada korban laki-laki. Bahkan dari data yang ada, 63 persen laporan yang masuk dalam Komnas Perempuan itu adalah pemerkosaan.
"Jadi urgensi terkait aturan pemerkosaan ini luar biasa tinggi. Di RUU KUHP yang ada sekarang hanya ada pasal perkosaan dan pencabulan tapi definisinya sangat rancu," tegas Bivitri Susanti
"Kalau di RUU KUHP itu penetrasi alat kelamin, padahal kita tahu pemerkosaan tidak hanya penetrasi alat kelamin tapi paksaan-paksaan untuk berhubungan seksual. Hal ini sangat urgen," tambahnya.
Ia menegaskan, keberadaan pengaturan pemerkosaan di RUU TPKS tidak masalah dicantumkan meskipun nanti akan adalagi tercantum dalam RUU KUHP.
"Menurut saya tidak akan ada redundant. Tidak masalah kalau pemerkosaan dan aborsi ada di RUU TPKS meskipun nanti akan diatur dalam RUU KUHP. RUU TPKS ini bukan soal hukuman lebih tinggi tapi bagaimana penanganan kasus untuk kepentingan korban," jelas Bivitri.
Ia memberikan contoh terkait ada seorang perempuan yang melapor ke kepolisian karena sudah menjadi korban kekerasan seksual pemerkosaan.
"Misalkan, ada korban datang lapor ke polisi bukannya dilayani secara psikologis malah ditanya kenapa kamu pulang malam, itu terjadi. Dengan RUU TPKS ini itu semua diubah, itu yang menurut saya sangat penting agar kita semua menghargai dan berpihak pada korban," ucapnya.
Bahkan kata Bivitri, jika mereka (korban pemerkosaan) diputuskan sebagai korban mereka bisa mendapatkan layanan psikolog atau pendamping dan ada ganti kerugian restitusi diatur dalam RUU TPKS.
"Mereka bisa mengakses layanan disana, seperti psikolog, ada ganti kerugian restitusi juga diatur, bukan hanya soal sanksi lebih berat tapi keberpihakan terhadap korban. Kita harus memahami pentingnya pemerkosaan di RUU TPKS sebagai landasan RUU KUHP," kata Bivitri Susanti.
Ia menyebutkan, bagi korban kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan aborsi meskipun saat ini tidak dicantumkan secara detail di RUU TPKS namun korban kedua kategori tersebut harus tetap dapat mengakses layanan bagi korban yang ada di RUU TPKS.
"Bagaimana memulihkan korban, memberikan pendidikan yang cukup. Memang RUU TPKS ini penuh dengan negosiasi politik, kita ingat November-Desember 2021 itu, setengah dari fraksi di DPR itu sempat hendak menolak. Melihat pesatnya proses yang ada saat ini sudah luar biasa," ungkap Bivitri.
Namun demikian kata Bivitri Susanti bukan berarti RUU TPKS yang ada saat ini sudah sempurna. "Tetap harus dinarasikan bahwa ada yang kurang di RUU TPKS ini. PRnya masih ada dan panjang dalam RUU TPKS ini yang harus di kawal," pungkas Bivitri Susanti.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) RI, Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan pemerkosaan dan aborsi tidak dimasukkan ke dalam RUU TPKS karena sudah diatur di revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Saya mampu meyakinkan, satu ini (RUU TPKS) tidak akan pernah tumpang tindih dengan RUU KUHP karena kita membuat matriks ketika kita akan menyusun RUU TPKS ini. Dan khusus memang mengenai pemerkosaan itu sudah diatur rinci di dalam RUU KUHP," kata Edward Omar Sharif Hiariej dalam rapat panitia kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (31/3/2022).
"Mengapa soal aborsi itu kami usul dihapus karena itu diatur dalam Pasal 469 yang dikatakan kemarin mengenai pemaksaan aborsi. Pemaksaan itu kan artinya tanpa persetujuan. Di dalam RUU KUHP itu perempuan yang tanpa persetujuannya kemudian dilakukan pengguguran janin dan sebagainya masuk dalam konteks tindak pidana," tambah Edward.
Lihat Juga: Trik Agus Penyandang Disabilitas di NTB Manipulasi Belasan Wanita, Kaum Hawa Patut Waspada
Baca juga: RUU TPKS Diminta Segera Disahkan
"Yang digunakan dalam penerapan adalah yang lebih khusus, jadi ada satu adagium dalam hukum yakni lex specialis derogat legi generali. Artinya, yang memang sudah lebih khusus mengatur harusnya digunakan, dibandingkan yang lebih umum," ujar Bivitri Susanti, Jumat (8/4/2022).
Ia mengungkapkan, RUU KUHP mencakup lebih luas seperti induk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana.
"Dia (RUU KUHP) seperti ibunya semua peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan pidana, tapi kalau untuk kasus kekerasan seksual nanti uang yang akan digunakan adalah RUU TPKS ini," jelas Bivitri Susanti.
Bivitri Susanti menyebutkan pihaknya mendengar revisi RUU KUHP akan dilangsungkan pada Juni 2022 ia melihat seharusnya ada rumusan yang lebih baik dari RUU KUHP sekarang.
"Masalah di KUHP yang sekarang itu bukan sekadar hukuman ringan atau tidak ringan, tapi ada ada unsur-unsur pidana yang ada di dalam RUU KUHP itu tidak menguntungkan bagi korban terutama khususnya kaum perempuan," ungkap Bivitri Susanti.
Padahal kata Bivitri, pada praktiknya dalam pemerkosaan itu tidak selalu perempuan tapi juga ada korban laki-laki. Bahkan dari data yang ada, 63 persen laporan yang masuk dalam Komnas Perempuan itu adalah pemerkosaan.
"Jadi urgensi terkait aturan pemerkosaan ini luar biasa tinggi. Di RUU KUHP yang ada sekarang hanya ada pasal perkosaan dan pencabulan tapi definisinya sangat rancu," tegas Bivitri Susanti
"Kalau di RUU KUHP itu penetrasi alat kelamin, padahal kita tahu pemerkosaan tidak hanya penetrasi alat kelamin tapi paksaan-paksaan untuk berhubungan seksual. Hal ini sangat urgen," tambahnya.
Ia menegaskan, keberadaan pengaturan pemerkosaan di RUU TPKS tidak masalah dicantumkan meskipun nanti akan adalagi tercantum dalam RUU KUHP.
"Menurut saya tidak akan ada redundant. Tidak masalah kalau pemerkosaan dan aborsi ada di RUU TPKS meskipun nanti akan diatur dalam RUU KUHP. RUU TPKS ini bukan soal hukuman lebih tinggi tapi bagaimana penanganan kasus untuk kepentingan korban," jelas Bivitri.
Ia memberikan contoh terkait ada seorang perempuan yang melapor ke kepolisian karena sudah menjadi korban kekerasan seksual pemerkosaan.
"Misalkan, ada korban datang lapor ke polisi bukannya dilayani secara psikologis malah ditanya kenapa kamu pulang malam, itu terjadi. Dengan RUU TPKS ini itu semua diubah, itu yang menurut saya sangat penting agar kita semua menghargai dan berpihak pada korban," ucapnya.
Bahkan kata Bivitri, jika mereka (korban pemerkosaan) diputuskan sebagai korban mereka bisa mendapatkan layanan psikolog atau pendamping dan ada ganti kerugian restitusi diatur dalam RUU TPKS.
"Mereka bisa mengakses layanan disana, seperti psikolog, ada ganti kerugian restitusi juga diatur, bukan hanya soal sanksi lebih berat tapi keberpihakan terhadap korban. Kita harus memahami pentingnya pemerkosaan di RUU TPKS sebagai landasan RUU KUHP," kata Bivitri Susanti.
Ia menyebutkan, bagi korban kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan aborsi meskipun saat ini tidak dicantumkan secara detail di RUU TPKS namun korban kedua kategori tersebut harus tetap dapat mengakses layanan bagi korban yang ada di RUU TPKS.
"Bagaimana memulihkan korban, memberikan pendidikan yang cukup. Memang RUU TPKS ini penuh dengan negosiasi politik, kita ingat November-Desember 2021 itu, setengah dari fraksi di DPR itu sempat hendak menolak. Melihat pesatnya proses yang ada saat ini sudah luar biasa," ungkap Bivitri.
Namun demikian kata Bivitri Susanti bukan berarti RUU TPKS yang ada saat ini sudah sempurna. "Tetap harus dinarasikan bahwa ada yang kurang di RUU TPKS ini. PRnya masih ada dan panjang dalam RUU TPKS ini yang harus di kawal," pungkas Bivitri Susanti.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) RI, Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan pemerkosaan dan aborsi tidak dimasukkan ke dalam RUU TPKS karena sudah diatur di revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Saya mampu meyakinkan, satu ini (RUU TPKS) tidak akan pernah tumpang tindih dengan RUU KUHP karena kita membuat matriks ketika kita akan menyusun RUU TPKS ini. Dan khusus memang mengenai pemerkosaan itu sudah diatur rinci di dalam RUU KUHP," kata Edward Omar Sharif Hiariej dalam rapat panitia kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (31/3/2022).
"Mengapa soal aborsi itu kami usul dihapus karena itu diatur dalam Pasal 469 yang dikatakan kemarin mengenai pemaksaan aborsi. Pemaksaan itu kan artinya tanpa persetujuan. Di dalam RUU KUHP itu perempuan yang tanpa persetujuannya kemudian dilakukan pengguguran janin dan sebagainya masuk dalam konteks tindak pidana," tambah Edward.
Lihat Juga: Trik Agus Penyandang Disabilitas di NTB Manipulasi Belasan Wanita, Kaum Hawa Patut Waspada
(maf)