Begini Perjalanan Stafsus Andi Taufan Sebelum Hengkang dari Istana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Andi Taufan Garuda Putra resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Staf Khusus (Stafsus) Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pengunduran diri tersebut dia sampaikan dalam bentuk surat pada 17 April lalu dan telah disetujui Presiden. (Baca juga: Setelah Belva, Giliran Andi Taufan Mundur dari Stafsus Presiden)
“Perkenankan saya untuk menyampaikan informasi pengunduran diri saya sebagai Staf Khusus Presiden RI yang telah saya ajukan melalui surat pada 17 April 2020 dan kemudian disetujui oleh Bapak Presiden,” kata Andi dalam surat tersebut, Jumat (24/4/2020). (Baca juga: Istana Didorong Evaluasi Posisi dan Status Stafsus Milenial)
Andi menyebut pengunduran diri ini dilakukan agar dapat mengabdi secara penuh pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya di bidang usaha mikro dan kecil. “Saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Bapak Presiden atas kepercayaan, pelajaran, dan nilai-nilai yang diberikan selama perjalanan saya sebagai Staf Khusus Presiden,” terangnya. (Baca juga: Andi Taufan Mundur, Pengamat: Semoga Virus Budaya Malu Ini Segera Menular)
Dengan pengunduran diri tersebut, maka Andi hanya menjabat selama 5 bulan sebagai Stafsus Jokowi. Sebelumnya dia diperkenalkan Jokowi di teras Istana sebagai stafsus milenial bersama enam tokoh muda lainnya pada akhir November 2019 lalu. Ketika itu Jokowi menjelaskan penunjukkan tujuh anak muda ini sebagai staf sebagai rekan diskusi untuk mendapatkan masukan dan terobosan yang out of the box dalam menyelesaikan permasalahan negara.
Dia menegaskan stafsus milenial tak perlu setiap hari berkantor di Istana. Sebab, mereka juga mempunyai kegiatan di bidangnya masing-masing. “Tidak full time, (karena) beliau-beliau sudah memiliki kegiatan dan pekerjaan,” kata Jokowi.
Menilik rekam jejaknya, Andi Taufan masih aktif menjabat sebagai CEO dan pendiri PT Amartha Mikro Fintek, sebuah perusahaan fintech peer to peer (p2p) lending pendanaan yang menghubungkan pemodal dengan pelaku usaha mikro secara daring.
Bisnis yang menyasar usaha mikro masyarakat kelas bawah itu didirikannya pada 2010 di Ciseeng, Bogor, Jawa Barat. Usahanya kian meroket. Pada 2016, Amartha berkembang menjadi perusahaan fintech yang berupaya menjangkau jutaan pelaku usaha mikro di Indonesia.
Pada 2019, Amartha sudah memiliki sekitar 340.000 mitra pada segmen mikro dan perempuan di desa-desa. Ketika itu perusahaan mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan mencatatkan penyaluran pendanaan hingga Rp1,6 triliun.
Kurang lebih selama sepuluh tahun, Amartha mendapatkan banyak penghargaan. Salah satunya, penghargaan di SDG Finance Geneva Summit 2019 dari United Nations Development Programme (UNDP). Namun, polemik belakangan muncul lantaran surat kontroversialnya yang viral.
Surat dengan kop Sekretariat Kabinet itu berisi informasi dan permintaan dukungan kepada seluruh camat se-Indonesia terhadap PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) menjalankan program Relawan Desa Lawan COVID-19 yang diinisiasi Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Amartha siap berpartisipasi dalam program tersebut di Jawa, Sulawesi dan Sumatera.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai, surat tersebut sarat kepentingan. Menurutnya, nuansa konflik kepentingan sangat kental karena perusahaan yang ditunjuk adalah milik Andi pribadi.
Hal itu merujuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN, penyelenggara negara dilarang melakukan tindakan yang bermuatan konflik kepentingan. “Jelas surat ini aneh ya karena terbuka sekali permainan kepentingannya,” kata Feri kepada SINDOnews, Selasa, 14 April 2020.
Dia menuding pelanggaran itu bisa dikategorikan motif korupsi dan memiliki sanksi berat. “Motifnya mencari keuntungan karena menyalahgunakan kekuasaan. Kalau dilakukan di tengah bencana, ancamannya bisa 20 tahun atau hukuman mati karena dianggap memanfaat keadaan mencari keuntungan di tengah penderitaan publik luas,” kata dia.
Feri menyebut, tidak seharusnya Stafsus Presiden memiliki kewenangan untuk menentukan pihak yang berhak memberikan layanan jasa. Selain itu, menurut dia, tidak mungkin pengadaan barang dan jasa dengan cakupan wilayah seluruh desa di Indonesia dilakukan melalui mekanisme penunjukkan. “Pengadaan barang dan jasa berskala besar harus melalui open tender, bukan penunjukan langsung,” ujarnya.
“Perkenankan saya untuk menyampaikan informasi pengunduran diri saya sebagai Staf Khusus Presiden RI yang telah saya ajukan melalui surat pada 17 April 2020 dan kemudian disetujui oleh Bapak Presiden,” kata Andi dalam surat tersebut, Jumat (24/4/2020). (Baca juga: Istana Didorong Evaluasi Posisi dan Status Stafsus Milenial)
Andi menyebut pengunduran diri ini dilakukan agar dapat mengabdi secara penuh pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya di bidang usaha mikro dan kecil. “Saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Bapak Presiden atas kepercayaan, pelajaran, dan nilai-nilai yang diberikan selama perjalanan saya sebagai Staf Khusus Presiden,” terangnya. (Baca juga: Andi Taufan Mundur, Pengamat: Semoga Virus Budaya Malu Ini Segera Menular)
Dengan pengunduran diri tersebut, maka Andi hanya menjabat selama 5 bulan sebagai Stafsus Jokowi. Sebelumnya dia diperkenalkan Jokowi di teras Istana sebagai stafsus milenial bersama enam tokoh muda lainnya pada akhir November 2019 lalu. Ketika itu Jokowi menjelaskan penunjukkan tujuh anak muda ini sebagai staf sebagai rekan diskusi untuk mendapatkan masukan dan terobosan yang out of the box dalam menyelesaikan permasalahan negara.
Dia menegaskan stafsus milenial tak perlu setiap hari berkantor di Istana. Sebab, mereka juga mempunyai kegiatan di bidangnya masing-masing. “Tidak full time, (karena) beliau-beliau sudah memiliki kegiatan dan pekerjaan,” kata Jokowi.
Menilik rekam jejaknya, Andi Taufan masih aktif menjabat sebagai CEO dan pendiri PT Amartha Mikro Fintek, sebuah perusahaan fintech peer to peer (p2p) lending pendanaan yang menghubungkan pemodal dengan pelaku usaha mikro secara daring.
Bisnis yang menyasar usaha mikro masyarakat kelas bawah itu didirikannya pada 2010 di Ciseeng, Bogor, Jawa Barat. Usahanya kian meroket. Pada 2016, Amartha berkembang menjadi perusahaan fintech yang berupaya menjangkau jutaan pelaku usaha mikro di Indonesia.
Pada 2019, Amartha sudah memiliki sekitar 340.000 mitra pada segmen mikro dan perempuan di desa-desa. Ketika itu perusahaan mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan mencatatkan penyaluran pendanaan hingga Rp1,6 triliun.
Kurang lebih selama sepuluh tahun, Amartha mendapatkan banyak penghargaan. Salah satunya, penghargaan di SDG Finance Geneva Summit 2019 dari United Nations Development Programme (UNDP). Namun, polemik belakangan muncul lantaran surat kontroversialnya yang viral.
Surat dengan kop Sekretariat Kabinet itu berisi informasi dan permintaan dukungan kepada seluruh camat se-Indonesia terhadap PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) menjalankan program Relawan Desa Lawan COVID-19 yang diinisiasi Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Amartha siap berpartisipasi dalam program tersebut di Jawa, Sulawesi dan Sumatera.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai, surat tersebut sarat kepentingan. Menurutnya, nuansa konflik kepentingan sangat kental karena perusahaan yang ditunjuk adalah milik Andi pribadi.
Hal itu merujuk pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN, penyelenggara negara dilarang melakukan tindakan yang bermuatan konflik kepentingan. “Jelas surat ini aneh ya karena terbuka sekali permainan kepentingannya,” kata Feri kepada SINDOnews, Selasa, 14 April 2020.
Dia menuding pelanggaran itu bisa dikategorikan motif korupsi dan memiliki sanksi berat. “Motifnya mencari keuntungan karena menyalahgunakan kekuasaan. Kalau dilakukan di tengah bencana, ancamannya bisa 20 tahun atau hukuman mati karena dianggap memanfaat keadaan mencari keuntungan di tengah penderitaan publik luas,” kata dia.
Feri menyebut, tidak seharusnya Stafsus Presiden memiliki kewenangan untuk menentukan pihak yang berhak memberikan layanan jasa. Selain itu, menurut dia, tidak mungkin pengadaan barang dan jasa dengan cakupan wilayah seluruh desa di Indonesia dilakukan melalui mekanisme penunjukkan. “Pengadaan barang dan jasa berskala besar harus melalui open tender, bukan penunjukan langsung,” ujarnya.
(cip)