Mengakhiri Krisis Kekerasan Seksual di Sekolah

Kamis, 31 Maret 2022 - 16:47 WIB
loading...
Mengakhiri Krisis Kekerasan...
Robert Gass (Foto: Ist)
A A A
Robert Gass
UNICEF Representative a.i.

DALAM sebuah diskusi daring yang diselenggarakan bulan November tahun lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Makarim memperingatkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia sudah memasuki situasi darurat kekerasan seksual. Dari survei Kemendikbudristek tahun 2020, terungkap bahwa lembaga pendidikan tinggi memang tengah dicengkeram oleh “pandemi” kekerasan seksual.

Di dalam survei yang dilakukan terhadap 79 kampus di 29 kota tersebut, sebanyak 77% responden mengakui bahwa kekerasan seksual terjadi di kampusnya. Namun, 63% dari responden yang mengetahui kejadian seksual tidak melaporkan kasus itu kepada pengelola kampus. Selain itu, survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menemukan bahwa satu dari empat perempuan dan anak perempuan dari kelompok usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual (Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional, 2021)

Setiap tindakan kekerasan seksual menimbulkan luka dalam yang bertahan lama. Penelitian menunjukkan, seorang penyintas kekerasan seksual lebih mungkin mengalami gangguan kecemasan, depresi, trauma psikologis, dan dorongan untuk melukai diri sendiri dibandingkan dengan seseorang yang tidak pernah mengalaminya. Penyintas juga lebih berisiko mengalami cedera fisik, penyakit, kehamilan yang tidak diinginkan, HIV, dan bentuk-bentuk lain infeksi menular seksual.

Selain itu, kekerasan seksual, pada jenjang pendidikan yang mana pun juga, dapat menurunkan tingkat partisipasi sekolah, mengganggu pencapaian belajar, dan meningkatkan angka putus sekolah. Semua hal ini sangat merugikan bagi potensi keberhasilan dan kesejahteraan kaum muda, keluarga mereka, dan seluruh lapisan masyarakat.

Selama berpuluh-puluh tahun, dinamika relasi kekuasaan yang timpang antara guru dan murid, serta absennya kerangka peraturan yang tegas di kampus-kampus, menghambat upaya penanggulangan kekerasan seksual. Tak diketahui ada berapa banyak kasus yang tidak pernah dilaporkan. Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak yang pertama kali disahkan pada 2002. Namun, undang-undang ini hanya berlaku bagi seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, sehingga anak-anak muda yang memasuki jenjang pendidikan tinggi luput dari perlindungan hukum. Sementara itu, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, disahkan pada 2004, berlaku atas semua orang yang berada dalam suatu rumah tangga. Akan tetapi, penegakan undang-undang ini mengalami berbagai tantangan, terutama karena sedikitnya angka pelaporan kasus dan keterbatasan akses penyintas ke layanan-layanan pendukung.

Untuk mejawab celah hukum di atas, Kemendikbudristek baru-baru ini melakukan dobrakan dengan mengesahkan peraturan yang secara langsung merespons krisis kekerasan seksual. Pada akhir 2021, diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi (Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021). Peraturan ini berpihak kepada hak-hak penyintas agar kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi mendapat penanganan.

Melalui peraturan tersebut, perguruan tinggi dituntut untuk mengatasi isu kekerasan seksual di kampus dan menumbuhkan lingkungan belajar yang manusiawi, inklusif, dan kolaboratif, serta bebas dari kekerasan baik antara mahasiswa, pengajar, maupun staf lainnya.

Pejabat perguruan tinggi juga diwajibkan membuat kebijakan untuk mencegah kekerasan seksual, membuat sistem pengaduan dan penanganan kasus, dan sistem pemantauan terhadap implementasi kebijakan. Selain itu, harus ada layanan dukungan untuk penyintas kekerasan seksual, seperti konseling, bantuan medis, bantuan hukum, bantuan untuk memastikan penyintas tetap dapat menyelesaikan studinya, dan bantuan perlindungan terhadap ancaman fisik maupun nonfisik dari pelaku.

Permendikbudristek 30/2021 adalah solusi bagi permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan tinggi. Peraturan ini hendak memastikan hak mendapatkan pendidikan yang dimiliki semua penduduk, terutama perempuan, dapat dipenuhi. Yaitu, dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran untuk menghentikan kekerasan seksual dari akarnya, sekaligus menguatkan kemampuan sistem pendidikan untuk menangani kasus kekerasan seksual dengan mengedepankan keberpihakan kepada penyintas.

Peraturan menteri tersebut juga memberikan kerangka hukum yang selama ini amat dibutuhkan untuk melindungi penyandang disabilitas dan orang dari kelompok rentan. Namun, ketentuan dalam peraturan pun perlu dilaksanakan dan ditegakkan dengan benar. Menurut Permendikbud No. 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Sekolah, semua lembaga pendidikan harus mengambil langkah untuk sungguh-sungguh mendukung upaya pencegahan ini. Sekolah harus membangun budaya menolak kekerasan dalam bentuk apa pun yang melibatkan guru, murid, dan tenaga kependidikan. Jika terjadi kasus kekerasan, maka kasus harus ditangani melalui layanan yang aman, mudah diakses, dan komprehensif bagi penyintas—termasuk deteksi dini dan mekanisme pelaporan.

Disahkannya Permendikbudristek 30/2021 menunjukkan bahwa ada komitmen dari lembaga nasional yang berwenang atas sistem pendidikan untuk membasmi “tiga dosa besar” di sektor pendidikan: perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual. UNICEF mendukung peran aktif lembaga pendidikan dan anak-anak muda untuk mengatasi segala bentuk kekerasan yang dapat merusak kualitas sistem pendidikan di Indonesia. Anak dan anak muda, dari semua kelompok usia, perlu lingkungan belajar yang aman dan yang semua elemennya saling menghormati agar mereka dapat tumbuh untuk mewujudkan potensinya.

Tidak hanya sekolah, masyarakat yang lebih luas pun perlu bertindak. Kita tahu, penyintas kekerasan seksual enggan bersuara karena trauma yang harus mereka tanggung setelah kekerasan itu terjadi. Terlebih, di banyak kasus, penyintas justru tidak didukung saat ingin melaporkan kasusnya, bahkan disalahkan.

Kita semua punya tanggung jawab untuk mendukung para korban, menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka, dan turut bersuara melawan kekerasan seksual. Tindak kekerasan ini adalah masalah kita semua.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1723 seconds (0.1#10.140)