Komponen Cadangan Tidak Mendesak Dibentuk, Penolakan terhadap UU PSDN Menguat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keberadaan Komponen Cadangan ( Komcad ) yang diatur dalam UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) dinilai bukan merupakan sesuatu yang mendesak dan penting. TNI sebagai komponen utamalah yang harusnya diperkuat bukan malah membentuk Komcad.
Meskipun masyarakat sipil telah mengajukan uji materiil UU PSDN ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Mei 2021, namun Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al A'raf menduga kuat pemerintah mempunyai rencana B untuk berkelit dengan mengajukan rancangan UU baru yang mengatur hal tersebut dan dimasukkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
"Hal utama yang mendapatkan penolakan adalah aturan tentang perekrutan warga negara untuk Komcad. Komcad bukan merupakan prioritas utama secara geopolitik karena tidak ada negara yang mengancam dalam waktu dekat. Sebaiknya pemerintah fokus memperkuat kompnen utamanya" kata Al araf dalam diskusi pakar berjudul "Telaah Kritis UU PSDN dalam Perspektif Politik, Keamanan, Hukum, dan HAM, di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Rabu (23/3/2022).
Al A'raf membeberkan, masalah yang terdapat dalam UU PSDN tersebut seperti tujuan pembentukan Komcad yang sangat luas, yakni untuk menghadapi ancaman militer, non-militer, dan hibrida---yang multitafsir. Pelibatan komcad dalam menghadapi ancaman non militer dan hibrida berpotensi menjadi pemicu konflik horisontal.
UU itu juga cenderung mendorong kekerasan dan koersif dalam penyelesaian sengketa yang melanggar consensus of objection HAM. Padahal hak warga negara untuk menolak perang harus dihormati dalam perspektif HAM. "Dalam UU PSDN terdapat pemidanaan bagi komponen cadangan dan itu melanggar prinsip kesukarelaan," kata Al A'raf.
Lebih lanjut Al A'raf menyatakan, UU PSDN tak hanya mengatur orang tapi juga sumber daya alam maupun buatan dan itu sangat berpotensi menimbulkan kerancuan. Sementara itu, kata Al A'raf, mengenai anggaran, UU PSDN melanggar prinsip sentralisasi APBN dengan memperbolehkan adanya anggaran pertahanan selain APBN. Itu bertentangan dengan Pasal 66 UU 34/2004 tentang TNI yang mengatur anggaran pertahanan hanya melalui APBN.
"Pengaturan sumber anggaran Komcad yang tidak sentralistik sangat rentang menimbulkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan," tegasnya.
Sementara itu, dosen FH Universitas Brawijaya Milda Istiqomah menyebut UU PSDN cacat secara definitif, ruang lingkup pengaturan yang terlalu luas, multitafsir. UU itu hanya menunjukkan kesewenang-wenangan negara. Menurut Milda, UU PSDN sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan perilaku vigilante (penegakan hukum dengan cara sendiri-sendiri di masyarakat).
Dosen Fisip Universitas Brawijaya Arief Setiawan menyebut daripada membentuk Komcad, negara seharusnya mengembangkan teknologi dan kualitas pertahanan. Bukan mendorong cara kekerasan dan koersif dalam penyelesaian konflik.
Sekjen Sepaham Indonesia Cekli Setia Pratiwi, UU PSDN dibentuk dengan mengabaikan partisipasi publik sehingga dugaan kuat cacat prosedur seperti yang terjadi pada UU Cipta Kerja. Selain itu, UU ini condong menekankan ke territorial security bukan ke human security, negara dianggap lebih peduli optimalisasi daripada perlindungan HAM, territorial security mayoritas gagal dalam membangun manusia yang unggul.
“Jikalau UU PSDN dimaksudkan untuk mencegah perang, sudah seharusnya melihat hal-hak yang harus dibatasi dalam keadaan darurat contohnya kebebasan berpikir atau berkeyakinan tidak dapat dibatasi dalam konteks apapun. UU ini kehilangan legitimasinya. Pembatasan dalam UU PSDN ini tidak tersortir dan tidak memiliki tujuan yang jelas," ucapnya.
Lihat Juga: Budi Gunawan Tegaskan Kualitas Pilkada Ditentukan oleh Netralitas Penyelenggara, Termasuk Aparat dan ASN
Meskipun masyarakat sipil telah mengajukan uji materiil UU PSDN ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Mei 2021, namun Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al A'raf menduga kuat pemerintah mempunyai rencana B untuk berkelit dengan mengajukan rancangan UU baru yang mengatur hal tersebut dan dimasukkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
"Hal utama yang mendapatkan penolakan adalah aturan tentang perekrutan warga negara untuk Komcad. Komcad bukan merupakan prioritas utama secara geopolitik karena tidak ada negara yang mengancam dalam waktu dekat. Sebaiknya pemerintah fokus memperkuat kompnen utamanya" kata Al araf dalam diskusi pakar berjudul "Telaah Kritis UU PSDN dalam Perspektif Politik, Keamanan, Hukum, dan HAM, di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Rabu (23/3/2022).
Baca Juga
Al A'raf membeberkan, masalah yang terdapat dalam UU PSDN tersebut seperti tujuan pembentukan Komcad yang sangat luas, yakni untuk menghadapi ancaman militer, non-militer, dan hibrida---yang multitafsir. Pelibatan komcad dalam menghadapi ancaman non militer dan hibrida berpotensi menjadi pemicu konflik horisontal.
UU itu juga cenderung mendorong kekerasan dan koersif dalam penyelesaian sengketa yang melanggar consensus of objection HAM. Padahal hak warga negara untuk menolak perang harus dihormati dalam perspektif HAM. "Dalam UU PSDN terdapat pemidanaan bagi komponen cadangan dan itu melanggar prinsip kesukarelaan," kata Al A'raf.
Lebih lanjut Al A'raf menyatakan, UU PSDN tak hanya mengatur orang tapi juga sumber daya alam maupun buatan dan itu sangat berpotensi menimbulkan kerancuan. Sementara itu, kata Al A'raf, mengenai anggaran, UU PSDN melanggar prinsip sentralisasi APBN dengan memperbolehkan adanya anggaran pertahanan selain APBN. Itu bertentangan dengan Pasal 66 UU 34/2004 tentang TNI yang mengatur anggaran pertahanan hanya melalui APBN.
"Pengaturan sumber anggaran Komcad yang tidak sentralistik sangat rentang menimbulkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan," tegasnya.
Sementara itu, dosen FH Universitas Brawijaya Milda Istiqomah menyebut UU PSDN cacat secara definitif, ruang lingkup pengaturan yang terlalu luas, multitafsir. UU itu hanya menunjukkan kesewenang-wenangan negara. Menurut Milda, UU PSDN sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan perilaku vigilante (penegakan hukum dengan cara sendiri-sendiri di masyarakat).
Dosen Fisip Universitas Brawijaya Arief Setiawan menyebut daripada membentuk Komcad, negara seharusnya mengembangkan teknologi dan kualitas pertahanan. Bukan mendorong cara kekerasan dan koersif dalam penyelesaian konflik.
Sekjen Sepaham Indonesia Cekli Setia Pratiwi, UU PSDN dibentuk dengan mengabaikan partisipasi publik sehingga dugaan kuat cacat prosedur seperti yang terjadi pada UU Cipta Kerja. Selain itu, UU ini condong menekankan ke territorial security bukan ke human security, negara dianggap lebih peduli optimalisasi daripada perlindungan HAM, territorial security mayoritas gagal dalam membangun manusia yang unggul.
“Jikalau UU PSDN dimaksudkan untuk mencegah perang, sudah seharusnya melihat hal-hak yang harus dibatasi dalam keadaan darurat contohnya kebebasan berpikir atau berkeyakinan tidak dapat dibatasi dalam konteks apapun. UU ini kehilangan legitimasinya. Pembatasan dalam UU PSDN ini tidak tersortir dan tidak memiliki tujuan yang jelas," ucapnya.
Lihat Juga: Budi Gunawan Tegaskan Kualitas Pilkada Ditentukan oleh Netralitas Penyelenggara, Termasuk Aparat dan ASN
(cip)