Gelombang Protes Mengalir, Pemerintah Tepat Tunda RUU HIP

Rabu, 17 Juni 2020 - 08:30 WIB
loading...
Gelombang Protes Mengalir, Pemerintah Tepat Tunda RUU HIP
Menko Polhukam Mahfud MD. Foto: dok/SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Pemerintah merespons penolakan masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Pemerintah menyatakan menunda pembahasan RUU tersebut dengan DPR dan meminta lembaga legislatif lebih banyak berdialog dengan masyarakat dan menyerap berbagai masukan.

Pemerintah mengambil sikap ini setelah gelombang penolakan deras mengalir dari berbagai organisasi masyarakat (ormas), termasuk Majelis Ulama Indonesia di 34 provinsi di Indonesia. Penolakan juga disampaikan dua ormas terbesar di Tanah Air, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengaku telah diundang Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Istana untuk dimintai pandangan terkait RUU inisiatif DPR ini. Dia menjelaskan, setelah Presiden berbicara dengan banyak kalangan dan meminta masukan, pemerintah kemudian memutuskan tidak memenuhi permintaan DPR untuk membahas RUU tersebut.

"Meminta kepada DPR untuk berdialog dan menyerap aspirasi lebih banyak lagi dengan seluruh kekuatan atau elemen-elemen masyarakat," ujar Mahfud saat jumpa pers bersama Menteri Hukum dan HAM di Jakarta kemarin. (Baca: Siapa yang Membutuhkan RUU HIP?)

Pemerintah menegaskan sikapnya kepada DPR dengan tidak mengirimkan surat presiden (surpres) kepada parlemen. Itu merupakan aspek prosedural dalam pembahasan sebuah RUU. Pemerintah juga menyampaikan alasan substantif sehingga memilih menunda pembahasan bersama DPR. Menurut Mahfud, presiden menyatakan juga bahwa Tap MPRS XXV/MPRS/1966 masih berlaku, mengikat, dan tidak perlu dipersoalkan lagi.

Karena itu, pemerintah tetap berkomitmen bahwa Tap MPRS tentang Larangan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme itu merupakan suatu produk hukum peraturan perundang-undangan yang mengikat dan tidak bisa lagi dicabut oleh lembaga negara atau oleh undang-undang yang ada sekarang ini.

Mengenai rumusan Pancasila, pemerintah berpendapat yang sah itu rumusan yang disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945. “Itu yang sah," ucap mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini. Alasan lain menunda pembahasan RUU tersebut yakni pemerintah masih fokus dalam menangani pandemi Covid-19.

Respons positif disampaikan sejumlah ormas atas sikap pemerintah ini. Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan langkah pemerintah menunda pembahasan sejalan dengan aspirasi yang disampaikan ormas ini atas RUU kontroversial tersebut. “Kami mengapresiasi dan menyambut baik putusan pemerintah menunda pembahasan,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu,ti kepada KORAN SINDO kemarin.

Bahkan, PP Muhammadiyah meminta DPR menghentikan proses pembahasan di tengah maraknya penolakan atas substansi RUU tersebut. “Seharusnya pembahasan dihentikan sesuai aspirasi terbesar umat Islam dan masyarakat serta pemerintah,” ujarnya. (Baca juga: Polemik RUU HIP, PBNU: Pancasila Sudah Final)

Salah satu muatan RUU yang ditolak keras adalah Pasal 7 mengenai ciri pokok Pancasila sebagai trisila yang dikristalisasi ke dalam ekasila. Trisila yang diperas menjadi ekasila dinilai sebagai upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila. Pasal tersebut dinilai akan melumpuhkan eksistensi sila 1 Pancasila Ketuhanan yang Maha Esa dan menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan draf RUU HIP tertanggal 20 April 2020, trisila dan ekasila diatur melalui Pasal 6. Pada ayat (1), RUU itu menyatakan ada tiga ciri pokok Pancasila yang bernama trisila, yaitu ketuhanan, nasionalisme, dan gotong-royong. Pada ayat (2), trisila dikristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. Selain itu, draf RUU ini ditolak karena tidak memasukkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 menjadi bagian konsiderans.

MUI, melalui maklumatnya, menilai upaya memeras Pancasila menjadi trisila lalu menjadi ekasila, yakni gotong-royong, adalah nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila itu sendiri. Lebih dari itu, secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat 1 UUD Tahun 1945, serta menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Baca juga: Penusuk Wiranto Dituntut Hukuman 16 Tahun)

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), melalui pernyataan sikap, kemarin menyatakan Pancasila sebagai kesepakatan final yang tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945. “RUU HIP dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut oleh founding fathers bisa koyak kembali,” demikian pernyataan sikap PBNU yang ditandatangani Ketua Umum PBNU Aqil Siradj dan Sekretaris Jenderal A Helmy Faishal Zaini.

PBNU menegaskan bahwa tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila ke dalam undang-undang khusus seperti RUU HIP.

Ketua Umum Ikatan Cemdekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie mengatakan, seharusnya DPR tidak terburu-buru membahas RUU strategis di saat rakyat sedang fokus mengatasi Covid-19. Menurut dia, semua RUU harus dibahas melibatkan partisipasi publik sehingga ada ruang debat di dalamnya. “Apalagi, RUU HIP ini sangat mendasar. Jangan sampai polarisasi politik diberi legitimasi oleh undang-undang, malah menjustifikasi perpecahan,” ujarnya. (Lihat Videonya: Pemuda di Jombang Membuat Miniatur Sepeda dari Sampah)

Mengenai maraknya penolakan terhadap isi RUU ini, Jimly menyebut bahwa perdebatan merupakan hal yang biasa dan tidak perlu dihindari. “Perdebatkan saja mana yang benar supaya jadi pendidikan politik. Sekarang ormas ngamuk karena mencuriga ideologi komunis akan dihidupkan. Apa benar? Belum tentu. Tapi perdebatan dikelola saja, perdebatkan ide-ide, tapi bukan menggunakan asumsi penuh kebencian,” ujarnya ketika dihubungi.

Mengenai trisila dan ekasila, Jimly setuju itu tidak diungkit lagi karena sudah buat perpecahan di masa lalu. “Cukup jadi catatan sejarah, seperti halnya juga Piagam Jakarta, jangan diungkit lagi,” ujarnya.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan pembahasan RUU HIP masih jauh karena masih ada beberapa tahapan yang harus dilalui. “Selain harus menunggu surpres (surat presiden), pembahasan belum juga dilakukan karena nanti fraksi-fraksi akan menyampaikan DIM (daftar inventarisasi masalah),” katanya kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin. (Lihat fotonya: Hampir Tiga Bulan Tutup, Pasar Tanah Abang Kembali Beroperasi)

Soal kelanjutan pembahasan RUU HIP di DPR karena masifnya penolakan publik, Dasco menjelaskan bahwa setiap proses legislasi di DPR ada mekanisme dan tahapan-tahapannya. Artinya, kelanjutan RUU HIP akan bergantung pada proses yang berlangsung antara DPR dan pemerintah. “Keputusan apakah itu nanti dilanjutkan atau tidak, itu tergantung dari hasil, termasuk nanti masukan dari masyarakat,” kilahnya. (Kiswondari)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1823 seconds (0.1#10.140)