Mengurai Bias Pembangunan dalam Pemindahan IKN
loading...
A
A
A
Bias Politik Kekuasaan
Tentu saja setiap kebijakan tidak bisa dilepaskan dari campur tangan kepentingan politik. Namun, kita bisa mendalami apakah kepentingan politik tersebut untuk berpihak kepada rakyat ataukah lahir dari proses hubungan kekuasaan. Dan, tampaknya bahwa kebijakan pemindahan IKN ini lebih cenderung diproduksi dari relasi kuasa antarelite politik. Situasi ini yang menyebabkan kebijakan pemindahan IKN rentan terjebak dalam bias politik (political bias).
Penilaian ini bukan tidak mendasar. Keputusan pemindahan IKN yang tergesa-gesa menjadi satu penanda tersendiri. Proses penyusunan RUU IKN yang hanya membutuhkan 42 hari sangat berbeda dengan rancangan undang-undang lain yang masih macet tidak segera disahkan. Saya menilai bahwa suatu saat undang-undang ini akan berpolemik di kemudian hari. Selain itu, naskah akademik sebagai dasar penyusunan rancangan undang-undang tersebut menuai banyak kritik dari publik. Mengingat bahwa naskah tersebut sangat tidak layak secara akademis jika ditinjau dari substansinya.
Belum lagi jika kita melihat dari perspektif ekonomi politik. Fakta bahwa penguasaan lahan yang ada di wilayah dikuasai oleh elite politik dan pebisnis dari Jakarta yang menguasai pengelolaan hutan dan konsesi pertambangan tidak diragukan lagi. Bahkan, tidak sedikit publik menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan politik bagi-bagi jatah proyek. Terutama setelah masuknya gerbong oposisi politik dalam struktur pemerintahan.
Mendedah bias dalam kebijakan pemindahan IKN sebagai upaya menunjukkan kepada pemerintah untuk lebih berhati-hati merencanakan kebijakan tersebut. Mengingat kebijakan ini belum sepenuhnya urgen untuk diputuskan dan tidak didukung hasil kajian akademis yang relevan.
Tentu saja setiap kebijakan tidak bisa dilepaskan dari campur tangan kepentingan politik. Namun, kita bisa mendalami apakah kepentingan politik tersebut untuk berpihak kepada rakyat ataukah lahir dari proses hubungan kekuasaan. Dan, tampaknya bahwa kebijakan pemindahan IKN ini lebih cenderung diproduksi dari relasi kuasa antarelite politik. Situasi ini yang menyebabkan kebijakan pemindahan IKN rentan terjebak dalam bias politik (political bias).
Penilaian ini bukan tidak mendasar. Keputusan pemindahan IKN yang tergesa-gesa menjadi satu penanda tersendiri. Proses penyusunan RUU IKN yang hanya membutuhkan 42 hari sangat berbeda dengan rancangan undang-undang lain yang masih macet tidak segera disahkan. Saya menilai bahwa suatu saat undang-undang ini akan berpolemik di kemudian hari. Selain itu, naskah akademik sebagai dasar penyusunan rancangan undang-undang tersebut menuai banyak kritik dari publik. Mengingat bahwa naskah tersebut sangat tidak layak secara akademis jika ditinjau dari substansinya.
Belum lagi jika kita melihat dari perspektif ekonomi politik. Fakta bahwa penguasaan lahan yang ada di wilayah dikuasai oleh elite politik dan pebisnis dari Jakarta yang menguasai pengelolaan hutan dan konsesi pertambangan tidak diragukan lagi. Bahkan, tidak sedikit publik menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan politik bagi-bagi jatah proyek. Terutama setelah masuknya gerbong oposisi politik dalam struktur pemerintahan.
Mendedah bias dalam kebijakan pemindahan IKN sebagai upaya menunjukkan kepada pemerintah untuk lebih berhati-hati merencanakan kebijakan tersebut. Mengingat kebijakan ini belum sepenuhnya urgen untuk diputuskan dan tidak didukung hasil kajian akademis yang relevan.
(bmm)