Mengurai Bias Pembangunan dalam Pemindahan IKN
loading...
A
A
A
Abdul Kodir
Mahasiswa Doctoral Program-Human Geography and Environment University of York, Pengurus PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Sekjen PPI UK 2021/2022
SETUMPUK persoalan di DKI Jakarta yang tidak pernah terselesaikan merupakan fakta yang tidak bisa kita tolak. Namun, keputusan memindahkan ibu kota negara (IKN) ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, secara tergesa-gesa adalah persoalan lain.
Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur, Bappenas mempresentasikan hasil kajian cepatnya terkait alasan mengapa IKN harus pindah. Tentu saja, melalui paparannya, Bappenas menekankan bahwa urgensi pemindahan IKN dikarenakan terjadi penurunan daya dukung lingkungan yang ada di Jakarta. Selain itu, pemerintah berupaya mengurangi konsentrasi dan ketimpangan pertumbuhan penduduk dan perekonomian yang terpusat di Pulau Jawa.
Melalui telaah atas dokumen perencanaan pembangunan di wilayah IKN, proyeksi kebijakan ini tampak sangat rasional dan futuristik. Pemerintah yang didukung oleh para ahli perencana pembangunan meyakini bahwa kebijakan IKN akan berjalan sesuai dengan rencana tanpa ada masalah di kemudian hari. Keyakinan inilah yang menyebabkan pemangku kebijakan jatuh dalam bias manajemen proyek, yakni bias optimisme (optimism bias) (Flyvbjerg, 2021).
Bias Optimisme Perencanaan Pembangunan
Menurut Flyvbjerg (2021) bias optimisme merupakan kecenderungan sikap yang terlalu optimistis terhadap hasil yang akan direncanakan. Menonjolkan dampak positif dan mengabaikan konsekuensi negatif dalam perencanaan. Definisi ini sangat relevan dengan apa yang disampaikan oleh pemerintah dalam dokumen perencanaannya.
Dalam Buku Saku Pemindahan IKN, pemerintah memiliki desain besar dalam pembangunan IKN yang memiliki visi 1) cermin identitas bangsa; 2) keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan; dan 3) menjadi kota cerdas, modern, internasional. Bahkan dalam perencanaannya pun dilakukan secara mendetail dan berkala. Hingga 2045 kota ini nantinya ditargetkan sebagai 10 kota liveable city di dunia dengan mencapai net zero-carbon emission dan 100% energi terbarukan.
Tidak ada yang salah jika perencanaan pembangunan selalu tampak sempurna. Namun, yang menjadi persoalan ialah bagaimana merespons melalui upaya mitigasi jika ada banyak persoalan yang pasti muncul mengingat bahwa ini merupakan megaproyek. Karena bagaimanapun sifat dari pembangunan adalah kompleks dan syarat akan kepentingan politik. Sebagai misal, pemerintah harusnya juga memikirkan terkait ancaman kerusakan ekologis yang ditimbulkan dari proses pembangunan tersebut yang akan mengancam ekosistem Teluk Balikpapan karena lalu lintas kapal. Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan dampak sosial. Terutama konflik yang muncul secara horizontal, mengingat pemindahan IKN tidak hanya memindahkan gedung, melainkan memindahkan jutaan jiwa manusia ke tempat baru dengan corak dan ragam kebudayaan yang berbeda.
Bias Konfirmasi Perencana dan Ahli
Jika sebelumnya bias optimisme terletak pada perencanaannya, bias konfirmasi (confirmation bias) berada pada subjek perencana pembangunan. Bias konfirmasi ini biasanya dari lahir tenaga profesional yang terlibat langsung dalam perencanaan pembangunan. Para tenaga ahli ini sering tidak menyadari bahwa dalam proses perencanaan mereka membawa disiplin ilmu, kebudayaan, dan ideologi yang membuat mereka rentan terhadap bias konfirmasi.
Mereka yang terlibat dalam perencanaan pembangunan IKN tentu saja merupakan pakar dengan keahlian pada bidang tertentu. Mereka cenderung menilai informasi tersebut didasarkan atas latar belakang keilmuan. Sebagai misal, para ahli dari teknik lingkungan akan membuat perencanaan model pengembangan lingkungan di wilayah IKN yang dia yakini akan berhasil dan mengabaikan fakta persoalan lingkungan yang saat ini terjadi di wilayah Kalimantan Timur.
Selain itu, para perencana tersebut merupakan pakar yang tinggal di pusat pemerintahan Jakarta saat ini. Tentu saja, dalam proses perencanaan tersebut jelas akan berpengaruh. Mereka yang menghabiskan waktu di pusat ibu kota atau kota besar lain tentu akan memiliki standar yang sama untuk menilai daerah. Mereka meyakini bahwa cara “pusat” akan selalu berhasil menyelesaikan persoalan daerah.
Mahasiswa Doctoral Program-Human Geography and Environment University of York, Pengurus PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Sekjen PPI UK 2021/2022
SETUMPUK persoalan di DKI Jakarta yang tidak pernah terselesaikan merupakan fakta yang tidak bisa kita tolak. Namun, keputusan memindahkan ibu kota negara (IKN) ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, secara tergesa-gesa adalah persoalan lain.
Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur, Bappenas mempresentasikan hasil kajian cepatnya terkait alasan mengapa IKN harus pindah. Tentu saja, melalui paparannya, Bappenas menekankan bahwa urgensi pemindahan IKN dikarenakan terjadi penurunan daya dukung lingkungan yang ada di Jakarta. Selain itu, pemerintah berupaya mengurangi konsentrasi dan ketimpangan pertumbuhan penduduk dan perekonomian yang terpusat di Pulau Jawa.
Melalui telaah atas dokumen perencanaan pembangunan di wilayah IKN, proyeksi kebijakan ini tampak sangat rasional dan futuristik. Pemerintah yang didukung oleh para ahli perencana pembangunan meyakini bahwa kebijakan IKN akan berjalan sesuai dengan rencana tanpa ada masalah di kemudian hari. Keyakinan inilah yang menyebabkan pemangku kebijakan jatuh dalam bias manajemen proyek, yakni bias optimisme (optimism bias) (Flyvbjerg, 2021).
Bias Optimisme Perencanaan Pembangunan
Menurut Flyvbjerg (2021) bias optimisme merupakan kecenderungan sikap yang terlalu optimistis terhadap hasil yang akan direncanakan. Menonjolkan dampak positif dan mengabaikan konsekuensi negatif dalam perencanaan. Definisi ini sangat relevan dengan apa yang disampaikan oleh pemerintah dalam dokumen perencanaannya.
Dalam Buku Saku Pemindahan IKN, pemerintah memiliki desain besar dalam pembangunan IKN yang memiliki visi 1) cermin identitas bangsa; 2) keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan; dan 3) menjadi kota cerdas, modern, internasional. Bahkan dalam perencanaannya pun dilakukan secara mendetail dan berkala. Hingga 2045 kota ini nantinya ditargetkan sebagai 10 kota liveable city di dunia dengan mencapai net zero-carbon emission dan 100% energi terbarukan.
Tidak ada yang salah jika perencanaan pembangunan selalu tampak sempurna. Namun, yang menjadi persoalan ialah bagaimana merespons melalui upaya mitigasi jika ada banyak persoalan yang pasti muncul mengingat bahwa ini merupakan megaproyek. Karena bagaimanapun sifat dari pembangunan adalah kompleks dan syarat akan kepentingan politik. Sebagai misal, pemerintah harusnya juga memikirkan terkait ancaman kerusakan ekologis yang ditimbulkan dari proses pembangunan tersebut yang akan mengancam ekosistem Teluk Balikpapan karena lalu lintas kapal. Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan dampak sosial. Terutama konflik yang muncul secara horizontal, mengingat pemindahan IKN tidak hanya memindahkan gedung, melainkan memindahkan jutaan jiwa manusia ke tempat baru dengan corak dan ragam kebudayaan yang berbeda.
Bias Konfirmasi Perencana dan Ahli
Jika sebelumnya bias optimisme terletak pada perencanaannya, bias konfirmasi (confirmation bias) berada pada subjek perencana pembangunan. Bias konfirmasi ini biasanya dari lahir tenaga profesional yang terlibat langsung dalam perencanaan pembangunan. Para tenaga ahli ini sering tidak menyadari bahwa dalam proses perencanaan mereka membawa disiplin ilmu, kebudayaan, dan ideologi yang membuat mereka rentan terhadap bias konfirmasi.
Mereka yang terlibat dalam perencanaan pembangunan IKN tentu saja merupakan pakar dengan keahlian pada bidang tertentu. Mereka cenderung menilai informasi tersebut didasarkan atas latar belakang keilmuan. Sebagai misal, para ahli dari teknik lingkungan akan membuat perencanaan model pengembangan lingkungan di wilayah IKN yang dia yakini akan berhasil dan mengabaikan fakta persoalan lingkungan yang saat ini terjadi di wilayah Kalimantan Timur.
Selain itu, para perencana tersebut merupakan pakar yang tinggal di pusat pemerintahan Jakarta saat ini. Tentu saja, dalam proses perencanaan tersebut jelas akan berpengaruh. Mereka yang menghabiskan waktu di pusat ibu kota atau kota besar lain tentu akan memiliki standar yang sama untuk menilai daerah. Mereka meyakini bahwa cara “pusat” akan selalu berhasil menyelesaikan persoalan daerah.