Pancasila Sudah Final, Tinggal Implementasi Yang Benar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ( RUU HIP ) menuai kontroversi. Sejumlah ormas Islam, seperti Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, menolak RUU tersebut.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menilai kehadiran RUU HIP membuat energi rakyat terkuras. Anggota DPD RI Fahira Idris mengatakan tak bijak menyajikan RUU yang sarat kontroversi di tengah pagebluk Covid-19.
“Beban rakyat yang sekarang sudah berat jangan ditambah dengan hatus memikirkan sebuah produk hukum yang tidak terlalu mendesak. Ini karena salah satu persoalan ideologi Pancasila saat ini adalah di tataran pengamalan atau implementasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (16/6/2020).
(Baca: Sekjen MUI Sebut RUU HIP Bahayakan Masa Depan Eksistensi Negara)
Berbagai penolakan dan kontroversi RUU HIP itu disebabkan banyak hal, antara lain, tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1996 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Selain itu, ada pasal yang memungkinkan Pancasila dikerucutkan lagi menjadi trisila dan ekasila.
Fahira menegaskan Pancasila sudah jelas dan terang benderang. Sekarang yang perlu diperkuat itu pengamalan oleh cabang-cabang kekuasaan dan para penyelenggara negara. DPR dan Pemerintah harus memerintahkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk melakukan kajian dan audit mendalam tentang sejauh mana kelima sila Pancasila menjadi ruh dalam setiap kebijakan.
Dia menerangkan keadilan ekonomi, sosial, hukum, dan politik yang merupakan amanat Pancasila untuk dijalankan negara belum sepenuhnya dirasakan rakyat. Masalahnya, Pancasila lebih banyak diteriakkan dibandingkan diimplementasikan baik dalam kebijakan maupun tindakan.
(Baca: Muhammadiyah Nilai RUU HIP Tabrak UUD 1945)
“Yang dibutuhkan agar ideologi Pancasila benar-benar dirasakan keluhurannya adalah segera implementasikan secara murni dan konsekuen. Hal itu diwujudkan dalam praktik sikap dan perilaku para penyelenggara dan lembaga-lembaga negara,” ujar Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini.
Tanpa TAP MPRS Nomor XXV dan adanya pasal yang bisa “memeras” Pancasila ini dikhawatirkan akan menurunkan posisi Pancasila. Ingat Pancasila merupakan norma paling tinggi dalam kehidupan berbangsa dan negara.
“Ideologi Pancasila yang merupakan segala sumber hukum negara. Jika dijadikan sebuah UU, akan membuatnya setara dengan produk UU lain. Perumusan ideologi Pancasila dalam UU dikhawatirkan mendistorsi makna Pancasila itu sendiri. Ini tidak boleh terjadi,” katanya.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menilai kehadiran RUU HIP membuat energi rakyat terkuras. Anggota DPD RI Fahira Idris mengatakan tak bijak menyajikan RUU yang sarat kontroversi di tengah pagebluk Covid-19.
“Beban rakyat yang sekarang sudah berat jangan ditambah dengan hatus memikirkan sebuah produk hukum yang tidak terlalu mendesak. Ini karena salah satu persoalan ideologi Pancasila saat ini adalah di tataran pengamalan atau implementasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (16/6/2020).
(Baca: Sekjen MUI Sebut RUU HIP Bahayakan Masa Depan Eksistensi Negara)
Berbagai penolakan dan kontroversi RUU HIP itu disebabkan banyak hal, antara lain, tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1996 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Selain itu, ada pasal yang memungkinkan Pancasila dikerucutkan lagi menjadi trisila dan ekasila.
Fahira menegaskan Pancasila sudah jelas dan terang benderang. Sekarang yang perlu diperkuat itu pengamalan oleh cabang-cabang kekuasaan dan para penyelenggara negara. DPR dan Pemerintah harus memerintahkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk melakukan kajian dan audit mendalam tentang sejauh mana kelima sila Pancasila menjadi ruh dalam setiap kebijakan.
Dia menerangkan keadilan ekonomi, sosial, hukum, dan politik yang merupakan amanat Pancasila untuk dijalankan negara belum sepenuhnya dirasakan rakyat. Masalahnya, Pancasila lebih banyak diteriakkan dibandingkan diimplementasikan baik dalam kebijakan maupun tindakan.
(Baca: Muhammadiyah Nilai RUU HIP Tabrak UUD 1945)
“Yang dibutuhkan agar ideologi Pancasila benar-benar dirasakan keluhurannya adalah segera implementasikan secara murni dan konsekuen. Hal itu diwujudkan dalam praktik sikap dan perilaku para penyelenggara dan lembaga-lembaga negara,” ujar Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini.
Tanpa TAP MPRS Nomor XXV dan adanya pasal yang bisa “memeras” Pancasila ini dikhawatirkan akan menurunkan posisi Pancasila. Ingat Pancasila merupakan norma paling tinggi dalam kehidupan berbangsa dan negara.
“Ideologi Pancasila yang merupakan segala sumber hukum negara. Jika dijadikan sebuah UU, akan membuatnya setara dengan produk UU lain. Perumusan ideologi Pancasila dalam UU dikhawatirkan mendistorsi makna Pancasila itu sendiri. Ini tidak boleh terjadi,” katanya.
(muh)