Wawancara Khusus Konsul Jenderal RI New York, Arifi Saiman: Mengutamakan Inovasi Pelayanan
loading...
A
A
A
Sejauh mana tingkat kecintaan warga kita di AS dengan Indonesia?
Yang membedakan WNI di AS dengan WNI negara lain adalah di AS adalah WNI yang berpendidikan dengan pengetahuannya melebih kita. Itu menjadi tantangan. Kalau ada acara, kita mesti hadir. Kita menjaga sensitivitas, biar mereka tidak bisa. Menghadapi masyarakat WNI, kita menekankan kami hadir bukan untuk dilayani, untuk melayani. Kami membuka konsulat selama 24 jam. Kami undang para WNI secara bergelir ke Wisma. Para WNI di AS juga memiliki banyak perkumpulan, seperti batak, sunda, kelompok senior. Selama pandemi, kami juga undang mereka dengan protokol kesehatan.
Kita menggunakan alat fasilitas digital, seperti whatsapp group (WAG) dengan membentuk kelompok. Kita membuat kemudahan untuk kerumuman orang dalam forum digital. Ada kelompok WAG untuk industri fashion, ada chef, ada juga masjid. Bahkan, kita memiliki kelompok pengajian. Sekali mencet, semuanya WNI bisa mendapatkan informasi. Kemudian, mereka menganggap kita sebagai pengayom dan rumah.
Bagaimana kontribusi diaspora ke Indonesia?
Kita tidak melupakan warga diaspora yang tidak lagi memiliki status WNI. Nasionalisme ada di hati, bukan hanya di paspor. Banyak diaspora yang memiliki kecintaan kepada Indonesia. Diaspora kita sangat jago di berbagai bidang. Diaspora tidak memiliki hak (pelayanan), tetapi menjaga hubungan dengan mereka.
Misalnya, banyak diaspora yang menjadi warga AS ikut memberikan bantuan saat terjadi bencana di Indonesia. Kemudian, ketika kita membangun pembangkit listrik tenaga nuklir atau tenaga surya, warga AS keturunan Indonesia akan lebih mudah diajak kerja sama. Bukan hanya generasi pertama diaspora Indonesia, tetapi juga berlanjut ke generasi kedua dan ketiga juga terus dipupuk sehingga tidak ada mata rantai yang terputus.
Hal-hal yang baik apa saja yang dilakukan warga New York dalam menghadapi pandemi?
Masyarakat New York memiliki kemiripan dengan kita. Banyak warga di New York yang tidak mau divaksin. Kalau di New York, divaksin dapat USD100. Kalau mau lanjut kuliah, mereka dikasih beasiswa. Itu cara mereka melibatkan vaksin. Sekitar 80 juta warga AS tidak mau divaksin karena alasan agama, konspirasi, kesehatan, hingga tak punya alasan.
Yang patut dipelajari, kalau mau jujur. Kita sangat berhasil dalam menekan pandemi. Kasus Covid di Indonesia relatif kecil. Dibandingkan ketika New York menjadi episentrum pandemi, New York langsung tiarap dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Ujian yang dihadapi New York, sepertinya tidak ada negara lain yang bisa menandingi. Saat itu Covid-19 sedang meningkat, terjadi demonstrasi George Floyd yang tidak mengindahkan protokol kesehatan. New York dihadapkan dengan penjarahan. New York yang belum pernah menerapkan jam malam, ternyata memberlakukan jam malam. Kebencian terhadap warga Asia meningkat di mana ada warga kita yang menjadi korban.
Jadi bencana itu datang serempak. Namun demikian, patut yang kita pelajari adalah kepolisian New York tetap menjalankan tugasnya dengan baik di tengah tekanan massa. Akhirnya, semuanya bisa terkontrol dan terkendali.
Anda sedang menyiapkan buku diplomasi santri? Bagaimana ceritanya?
Kami memang sedang mulai tahap akhir penulisan buku. Kami memanfaatkan pengamal surat Wal Ashr, menghargai waktu. Waktu itu kalau sudah pergi, maka tidak kembali. Walau memiliki kerjaan di kantor, kami harus mengatur waktu yang ada untuk berpikir dan menulis. Mudah-mudahan dalam beberapa bulan ke depan, buku tersebut diluncurkan, buku tentang diplomasi santri. Diplomasi yang dimainkan kaum santri dari zaman indonesia hingga abad 21. Makanya, diplomasi santri terdiri dari diplomasi yang identik dengan bumi, santri diidentikkan dengan bulan sabit. Diplomasi massa juga bisa menegakkan amar makruf nahi mungkar.
Yang membedakan WNI di AS dengan WNI negara lain adalah di AS adalah WNI yang berpendidikan dengan pengetahuannya melebih kita. Itu menjadi tantangan. Kalau ada acara, kita mesti hadir. Kita menjaga sensitivitas, biar mereka tidak bisa. Menghadapi masyarakat WNI, kita menekankan kami hadir bukan untuk dilayani, untuk melayani. Kami membuka konsulat selama 24 jam. Kami undang para WNI secara bergelir ke Wisma. Para WNI di AS juga memiliki banyak perkumpulan, seperti batak, sunda, kelompok senior. Selama pandemi, kami juga undang mereka dengan protokol kesehatan.
Kita menggunakan alat fasilitas digital, seperti whatsapp group (WAG) dengan membentuk kelompok. Kita membuat kemudahan untuk kerumuman orang dalam forum digital. Ada kelompok WAG untuk industri fashion, ada chef, ada juga masjid. Bahkan, kita memiliki kelompok pengajian. Sekali mencet, semuanya WNI bisa mendapatkan informasi. Kemudian, mereka menganggap kita sebagai pengayom dan rumah.
Bagaimana kontribusi diaspora ke Indonesia?
Kita tidak melupakan warga diaspora yang tidak lagi memiliki status WNI. Nasionalisme ada di hati, bukan hanya di paspor. Banyak diaspora yang memiliki kecintaan kepada Indonesia. Diaspora kita sangat jago di berbagai bidang. Diaspora tidak memiliki hak (pelayanan), tetapi menjaga hubungan dengan mereka.
Misalnya, banyak diaspora yang menjadi warga AS ikut memberikan bantuan saat terjadi bencana di Indonesia. Kemudian, ketika kita membangun pembangkit listrik tenaga nuklir atau tenaga surya, warga AS keturunan Indonesia akan lebih mudah diajak kerja sama. Bukan hanya generasi pertama diaspora Indonesia, tetapi juga berlanjut ke generasi kedua dan ketiga juga terus dipupuk sehingga tidak ada mata rantai yang terputus.
Hal-hal yang baik apa saja yang dilakukan warga New York dalam menghadapi pandemi?
Masyarakat New York memiliki kemiripan dengan kita. Banyak warga di New York yang tidak mau divaksin. Kalau di New York, divaksin dapat USD100. Kalau mau lanjut kuliah, mereka dikasih beasiswa. Itu cara mereka melibatkan vaksin. Sekitar 80 juta warga AS tidak mau divaksin karena alasan agama, konspirasi, kesehatan, hingga tak punya alasan.
Yang patut dipelajari, kalau mau jujur. Kita sangat berhasil dalam menekan pandemi. Kasus Covid di Indonesia relatif kecil. Dibandingkan ketika New York menjadi episentrum pandemi, New York langsung tiarap dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Ujian yang dihadapi New York, sepertinya tidak ada negara lain yang bisa menandingi. Saat itu Covid-19 sedang meningkat, terjadi demonstrasi George Floyd yang tidak mengindahkan protokol kesehatan. New York dihadapkan dengan penjarahan. New York yang belum pernah menerapkan jam malam, ternyata memberlakukan jam malam. Kebencian terhadap warga Asia meningkat di mana ada warga kita yang menjadi korban.
Jadi bencana itu datang serempak. Namun demikian, patut yang kita pelajari adalah kepolisian New York tetap menjalankan tugasnya dengan baik di tengah tekanan massa. Akhirnya, semuanya bisa terkontrol dan terkendali.
Anda sedang menyiapkan buku diplomasi santri? Bagaimana ceritanya?
Kami memang sedang mulai tahap akhir penulisan buku. Kami memanfaatkan pengamal surat Wal Ashr, menghargai waktu. Waktu itu kalau sudah pergi, maka tidak kembali. Walau memiliki kerjaan di kantor, kami harus mengatur waktu yang ada untuk berpikir dan menulis. Mudah-mudahan dalam beberapa bulan ke depan, buku tersebut diluncurkan, buku tentang diplomasi santri. Diplomasi yang dimainkan kaum santri dari zaman indonesia hingga abad 21. Makanya, diplomasi santri terdiri dari diplomasi yang identik dengan bumi, santri diidentikkan dengan bulan sabit. Diplomasi massa juga bisa menegakkan amar makruf nahi mungkar.
(ynt)