Wawancara Khusus Konsul Jenderal RI New York, Arifi Saiman: Mengutamakan Inovasi Pelayanan
loading...
A
A
A
Konsul Jenderal (Konjen) Republik Indonesia New York Arifi Saiman mentransformasi pelayanan warga negara Indonesia (WNI) dengan mengutamakan inovasi digital, melalui Smart Consulate Office (SCO).
Inovasi ini memudahkan hubungan dan mendekatkan antara para staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) New York dengan 32.000 WNI yang berada di New York dan beberapa negara bagian lainnya.
Arifi juga membuat program yang menjembatani antara pengusaha Indonesia, terutama start up dengan investor asal Amerika Serikat (AS). Selain itu, berusaha mempromosikan pariwisata Indonesia dengan mengundang YouTuber asal Negeri Paman Sam. Berbagai hal lain juga diungkapkan Arifi Saiman dalam wawancara khusus dengan KORAN SINDO secara onine beberapa waktu lalu.
Apakah pandemi pengaruh terhadap diplomasi? Mengubah cara pendekatan dalam diplomasi? Pelajaran apa yang bisa didapat?
Pandemi, terus terang, kita tidak bisa menebak. Kita masuk ke era pandemi yang tidak jelas kapan berakhir. Kita berangkat ke New York beberapa bulan sebelum pandemi muncul. Terkait teknologi digital, kita sudah memikirkan sebelum berangkat. Kita sudah memasukkan visi dan misi sebagai konjen New York. Salah satunya pengembangan aplikasi, Smart Consulate Office (SCO). Semangat yang kita bangun, bukan untuk menghadapi pandemi. Kita ingin membantu mempermudah pelayanan KJRI New York. Itu saja sebenarnya.
SCO menjadi solusi saat pandemi, karena pandemi memaksa orang untuk stay at home, sistem aplikasi semuanya bisa berjalan. Hikmah dibalik pengembangan digital teknologi, dan pandemi, ternyata SCO sangat bermanfaat. Saya kagum Charles Darwin, spesies yang bisa survive adalah yang bisa beradaptasi dengan situasi baru, bukan yang kuat. Ini bagian dari adaptasi. Saya juga gandrung dengan teknologi, kita harus beradaptasi dengan era digital.
Selain melakukan pelayanan kekonsuleran, sebelum berangkat ke New York, diberi misi oleh pemerintah, diplomasi ekonomi, diplomasi budaya, ketika melihat saat itu New York, ibu kota dunia menjadi kolaps. Bagaimana menjalankan misi tersebut?
Pada awal-awal pandemi juga kaget. Yang tadinya bisa bertemu, terus tidak bisa ketemu. Setelah kita selami, kita memiliki keingintahuan, ternyata di saat New York mengalami krisis, saya melihat terdapat peluang. Yang tadinya ada, terus tidak ada. Dua hal yang tidak terdampak adalah kesehatan dan makanan. Kesehatan karena pandemi dan manusia harus makan.
Ternyata, produk Indonesia meningkat seperti ikan beku. Selain itu, furnitur juga mengalami peningkatan. Banyak orang stay at home, yang tadinya tidak ada meja, terus membutuhkan meja. Ternyata, setiap kesulitan selalu ada peluang. Selanjutnya, kita memperjuangan ISO pakaian alat pelindung diri (APD), produk tekstil bahannya dari dalam negeri, bukan impor. APD itu juga anti virus dan produk asli bangsa kita, termasuk bahannya.
Bagaimana kelanjutan forum bisnis yang menjembatani antara pengusaha Indonesia dan investor asal AS?
Pada konferensi G20 pada pertengahan Juni mendatang, kita akan mendatangkan investor potensial yang besar ke Indonesia. Kita akan membawa produsen baterei lithium. Nantinya, kita memproduksi baterei lithium yang bebas nikel. Melaui kerja sama tersebut, hingga pada suatu saat, kita bisa menguasai teknologi ini. Selain itu, kita juga mengundang perwakilan beberapa perusahaan alat kesehatan global dan teknologi digital. Kita juga mencarikan mitra. Nanti ada pertengahan tahun ini, kita akan membawa para investor itu ke Indonesia.
Pada 2021, bulan Agustus lalu, kita membuat forum Indonesian American Business Council. Itu merupakan lembaga baru yang berbeda American Camber yang fokus pada perdagangan. Dengan lembaga baru tersebut, kita bisa identifikasi investasi yang dibutuhkan oleh Indonesia. Selain itu, kita menangani perusahaan Indonesia yang melakukan IPO (penjualan saham perdana) di New York Stock Exchange.
Hubungan Indonesia dan AS memiliki kedekatan. Sebagai masyarakat adidaya, bagaimana mereka melihat Indonesia sekarang?
Kalau kita mau jujur, kita harus membedakan antara warga Amerika yang paham tentang kita, dan Amerika pada umumnya. Banyak orang Amerika belum paham dengan Indonesia. Mereka mengenal mulai Indonesia memang terlambat, begitu mereka mempelajari, mereka akan lebih tahu dari kita.
Inovasi ini memudahkan hubungan dan mendekatkan antara para staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) New York dengan 32.000 WNI yang berada di New York dan beberapa negara bagian lainnya.
Arifi juga membuat program yang menjembatani antara pengusaha Indonesia, terutama start up dengan investor asal Amerika Serikat (AS). Selain itu, berusaha mempromosikan pariwisata Indonesia dengan mengundang YouTuber asal Negeri Paman Sam. Berbagai hal lain juga diungkapkan Arifi Saiman dalam wawancara khusus dengan KORAN SINDO secara onine beberapa waktu lalu.
Apakah pandemi pengaruh terhadap diplomasi? Mengubah cara pendekatan dalam diplomasi? Pelajaran apa yang bisa didapat?
Pandemi, terus terang, kita tidak bisa menebak. Kita masuk ke era pandemi yang tidak jelas kapan berakhir. Kita berangkat ke New York beberapa bulan sebelum pandemi muncul. Terkait teknologi digital, kita sudah memikirkan sebelum berangkat. Kita sudah memasukkan visi dan misi sebagai konjen New York. Salah satunya pengembangan aplikasi, Smart Consulate Office (SCO). Semangat yang kita bangun, bukan untuk menghadapi pandemi. Kita ingin membantu mempermudah pelayanan KJRI New York. Itu saja sebenarnya.
SCO menjadi solusi saat pandemi, karena pandemi memaksa orang untuk stay at home, sistem aplikasi semuanya bisa berjalan. Hikmah dibalik pengembangan digital teknologi, dan pandemi, ternyata SCO sangat bermanfaat. Saya kagum Charles Darwin, spesies yang bisa survive adalah yang bisa beradaptasi dengan situasi baru, bukan yang kuat. Ini bagian dari adaptasi. Saya juga gandrung dengan teknologi, kita harus beradaptasi dengan era digital.
Selain melakukan pelayanan kekonsuleran, sebelum berangkat ke New York, diberi misi oleh pemerintah, diplomasi ekonomi, diplomasi budaya, ketika melihat saat itu New York, ibu kota dunia menjadi kolaps. Bagaimana menjalankan misi tersebut?
Pada awal-awal pandemi juga kaget. Yang tadinya bisa bertemu, terus tidak bisa ketemu. Setelah kita selami, kita memiliki keingintahuan, ternyata di saat New York mengalami krisis, saya melihat terdapat peluang. Yang tadinya ada, terus tidak ada. Dua hal yang tidak terdampak adalah kesehatan dan makanan. Kesehatan karena pandemi dan manusia harus makan.
Ternyata, produk Indonesia meningkat seperti ikan beku. Selain itu, furnitur juga mengalami peningkatan. Banyak orang stay at home, yang tadinya tidak ada meja, terus membutuhkan meja. Ternyata, setiap kesulitan selalu ada peluang. Selanjutnya, kita memperjuangan ISO pakaian alat pelindung diri (APD), produk tekstil bahannya dari dalam negeri, bukan impor. APD itu juga anti virus dan produk asli bangsa kita, termasuk bahannya.
Bagaimana kelanjutan forum bisnis yang menjembatani antara pengusaha Indonesia dan investor asal AS?
Pada konferensi G20 pada pertengahan Juni mendatang, kita akan mendatangkan investor potensial yang besar ke Indonesia. Kita akan membawa produsen baterei lithium. Nantinya, kita memproduksi baterei lithium yang bebas nikel. Melaui kerja sama tersebut, hingga pada suatu saat, kita bisa menguasai teknologi ini. Selain itu, kita juga mengundang perwakilan beberapa perusahaan alat kesehatan global dan teknologi digital. Kita juga mencarikan mitra. Nanti ada pertengahan tahun ini, kita akan membawa para investor itu ke Indonesia.
Pada 2021, bulan Agustus lalu, kita membuat forum Indonesian American Business Council. Itu merupakan lembaga baru yang berbeda American Camber yang fokus pada perdagangan. Dengan lembaga baru tersebut, kita bisa identifikasi investasi yang dibutuhkan oleh Indonesia. Selain itu, kita menangani perusahaan Indonesia yang melakukan IPO (penjualan saham perdana) di New York Stock Exchange.
Hubungan Indonesia dan AS memiliki kedekatan. Sebagai masyarakat adidaya, bagaimana mereka melihat Indonesia sekarang?
Kalau kita mau jujur, kita harus membedakan antara warga Amerika yang paham tentang kita, dan Amerika pada umumnya. Banyak orang Amerika belum paham dengan Indonesia. Mereka mengenal mulai Indonesia memang terlambat, begitu mereka mempelajari, mereka akan lebih tahu dari kita.