Sistem Resi Gudang, Mengapa Belum Dilirik?
loading...
A
A
A
Selanjutnya dari sisi bank pelaksana, profil risiko kredit SRG dirasa cukup tinggi, sehingga perbankan cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit untuk SRG. Sementara itu, suku bunga kredit yang ditetapkan relatif rendah, yaitu sebesar suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) (3,5%) ditambah 5%. Formula tersebut dirasa tak lagi relevan, mengingat ketika aturan tersebut dibuat, suku bunga penjaminan LPS masih berada di kisaran 9%. Dengan demikian, daya tarik kredit SRG menurun di mata perbankan seiring dengan turunnya bunga LPS.
Sebagai ilustrasi lain, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), atau suku bunga kredit yang digunakan sebagai dasar oleh bank kepada nasabah untuk kredit mikro rata-rata masih di atas 10%, sedangkan SBDK untuk kredit ritel masih di atas 9%. Artinya perbankan harus mengorbankan banyak hal apabila mengejar penyaluran kredit SRG, sehingga hal tersebut menjadi salah satu alasan kenapa kredit SRG belum dilirik serius oleh perbankan.
Terakhir dari sisi lembaga pengelola SRG, biaya gudang yang cukup tinggi dan terbatasnya pengelola gudang yang kompeten menjadi kendala tersendiri dalam operasional SRG.
Reformulasi Sistem Resi Gudang
Selama lebih dari satu dekade, manfaat yang diberikan SRG sudah cukup banyak, namun SRG perlu untuk terus berbenah. Reformulasi kebijakan menjadi sebuah keharusan, mengingat aspek sosial dan ekonomi yang telah banyak berubah. Pertama, saat ini, gudang SRG telah tersebar di 105 Kabupaten/Kota di 25 provinsi. Untuk itu, pembangunan gudang-gudang baru yang berdekatan dengan lumbung pertanian masih diperlukan. Selain itu, sinergi pengelolaan dengan Pemda melalui dana transfer ke daerah dapat dipertimbangkan.
Kemudian yang tak kalah penting adalah mendesain sistem subsidi bunga untuk SRG. Saat ini, penetapan formula suku bunga kredit SRG perlu ditinjau ulang, namun dengan tetap mempertimbangkan subsidi bunga yang berkeadilan, baik bagi debitur maupun kreditur, serta kemampuan negara dalam menyediakan alokasi subsidi. Skema subsidi bunga KUR bisa menjadi acuan bagi desain subsidi SRG ke depan mengingat kemiripan segmen penerimanya.
Ketiga, SRG harus beradaptasi dengan perkembangan digitalisasi yang masif dalam beberapa tahun terakhir. Ke depan, pengelola SRG harus berupaya dalam penyediaan katalog komoditas secara digital, yang mudah diakses oleh produsen maupun konsumen. Hal tersebut sekaligus dapat mempermudah lembaga jasa keuangan dalam melakukan asesmen kredit.
Praktik tersebut telah dilakukan di India, di mana Pemerintah setempat menyediakan digital warehouse bagi komoditas hasil pertanian. Tujuannya adalah untuk mempertemukan penjual dan pembeli dengan lebih efisien. Platform tersebut juga dilengkapi fasilitas online payment, dan bahkan membuka kesempatan bagi produk-produk unggulan untuk dijadikan sebagai produk ekspor. Era digitalisasi memang harus dimanfaatkan untuk memperkuat bursa komoditas yang selama ini masih tertinggal di Indonesia, sehingga terbentuk pasar yang transparan, dan mudah diakses oleh semua pihak.
Terakhir, sinkronisasi kebijakan antar lembaga juga menjadi kunci untuk memperkuat SRG. Dari sisi Pemerintah, perbaikan pengelolaan gudang, dan proses bisnis yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan bersama dengan Pemda bisa menjadi elemen penting. Selanjutnya, Kementerian Keuangan juga terus menyusun desain kebijakan subsidi SRG yang relevan dengan perkembangan terkini dan tepat sasaran.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan perlu mendukung SRG melalui dukungan kebijakan pembiayaan, seperti penetapan plafon dan persyaratan kredit. Dan sebagai penutup, SRG yang bisa digunakan oleh BI sebagai instrumen stabilitas harga harus mendapatkan dukungan kebijakan dari bank sentral. Melalui sinkronisasi kebijakan antarlembaga tersebut, tak ayal SRG akan menjadi sebuah instrumen kunci untuk menjawab diskursus yang selama ini berkembang. Semoga!
Sebagai ilustrasi lain, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), atau suku bunga kredit yang digunakan sebagai dasar oleh bank kepada nasabah untuk kredit mikro rata-rata masih di atas 10%, sedangkan SBDK untuk kredit ritel masih di atas 9%. Artinya perbankan harus mengorbankan banyak hal apabila mengejar penyaluran kredit SRG, sehingga hal tersebut menjadi salah satu alasan kenapa kredit SRG belum dilirik serius oleh perbankan.
Terakhir dari sisi lembaga pengelola SRG, biaya gudang yang cukup tinggi dan terbatasnya pengelola gudang yang kompeten menjadi kendala tersendiri dalam operasional SRG.
Reformulasi Sistem Resi Gudang
Selama lebih dari satu dekade, manfaat yang diberikan SRG sudah cukup banyak, namun SRG perlu untuk terus berbenah. Reformulasi kebijakan menjadi sebuah keharusan, mengingat aspek sosial dan ekonomi yang telah banyak berubah. Pertama, saat ini, gudang SRG telah tersebar di 105 Kabupaten/Kota di 25 provinsi. Untuk itu, pembangunan gudang-gudang baru yang berdekatan dengan lumbung pertanian masih diperlukan. Selain itu, sinergi pengelolaan dengan Pemda melalui dana transfer ke daerah dapat dipertimbangkan.
Kemudian yang tak kalah penting adalah mendesain sistem subsidi bunga untuk SRG. Saat ini, penetapan formula suku bunga kredit SRG perlu ditinjau ulang, namun dengan tetap mempertimbangkan subsidi bunga yang berkeadilan, baik bagi debitur maupun kreditur, serta kemampuan negara dalam menyediakan alokasi subsidi. Skema subsidi bunga KUR bisa menjadi acuan bagi desain subsidi SRG ke depan mengingat kemiripan segmen penerimanya.
Ketiga, SRG harus beradaptasi dengan perkembangan digitalisasi yang masif dalam beberapa tahun terakhir. Ke depan, pengelola SRG harus berupaya dalam penyediaan katalog komoditas secara digital, yang mudah diakses oleh produsen maupun konsumen. Hal tersebut sekaligus dapat mempermudah lembaga jasa keuangan dalam melakukan asesmen kredit.
Praktik tersebut telah dilakukan di India, di mana Pemerintah setempat menyediakan digital warehouse bagi komoditas hasil pertanian. Tujuannya adalah untuk mempertemukan penjual dan pembeli dengan lebih efisien. Platform tersebut juga dilengkapi fasilitas online payment, dan bahkan membuka kesempatan bagi produk-produk unggulan untuk dijadikan sebagai produk ekspor. Era digitalisasi memang harus dimanfaatkan untuk memperkuat bursa komoditas yang selama ini masih tertinggal di Indonesia, sehingga terbentuk pasar yang transparan, dan mudah diakses oleh semua pihak.
Terakhir, sinkronisasi kebijakan antar lembaga juga menjadi kunci untuk memperkuat SRG. Dari sisi Pemerintah, perbaikan pengelolaan gudang, dan proses bisnis yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan bersama dengan Pemda bisa menjadi elemen penting. Selanjutnya, Kementerian Keuangan juga terus menyusun desain kebijakan subsidi SRG yang relevan dengan perkembangan terkini dan tepat sasaran.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan perlu mendukung SRG melalui dukungan kebijakan pembiayaan, seperti penetapan plafon dan persyaratan kredit. Dan sebagai penutup, SRG yang bisa digunakan oleh BI sebagai instrumen stabilitas harga harus mendapatkan dukungan kebijakan dari bank sentral. Melalui sinkronisasi kebijakan antarlembaga tersebut, tak ayal SRG akan menjadi sebuah instrumen kunci untuk menjawab diskursus yang selama ini berkembang. Semoga!
(bmm)