Meneropong Madura yang Lain

Senin, 21 Februari 2022 - 14:18 WIB
loading...
Meneropong Madura yang...
Meneropong Madura yang Lain
A A A
Moh Rofqil Bazikh
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang bermukim di Banguntapan Bantul

Membincang ihwal suku, golongan, atau sekelompok orang tertentu membuat kita butuh penanda, sebagai entitas yang akan mendefinisikan dengan sendirinya. Maka, ketika menulis hal yang berkelindan erat dengan kabilah, yang akan kita cari penanda terlebih dahulu. Sama halnya ketika seseorang mencoba untuk meneropong Madura. Orang itu tidak akan enggan untuk menggunakan entitas penanda tersebut—untuk mengesahkan kemaduraan.

Tetapi, hal negatif yang dituai dari penanda kadangkala kita hanya jatuh terhadap praduga tak objektif. Penanda-penanda yang tidak hanya dimiliki oleh Madura, namun lebih kencang ketika disimpul erat dengan Madura. Umpama lema udik dan primitif yang tidak jarang dilekatkan pada Madura.

Dari hal itu, kita akan melihat Royyan menggunakan kacamata lain, tanpa sedikitpun terburu-buru untuk memberikan penanda terhadap kemaduraan. Terlebih dahulu, ia melakukan semacam proses seleksi mana yang benar melambangkan kemaduraan dan bukan. Di fase tersebut, secara tidak langsung ia melibatkan suatu proses eksklusi. Di mana hal-hal yang sejatinya bukan kamaduraan (stereotipe bahkan) akan didepak.

Hal yang paling menarik bagi saya, ia mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi di balik Madura. Hal-hal yang barangkali jarang dibicarakan bahkan dalam taraf minimum. Dengan begitu, kita tidak hanya akan menemukan Madura dan romantisasi carok serta watak keras. Kita akan melampaui itu, musabab demikian kacamata Royyan meneropong Madura.

Ia memulai dengan ziarahnya ke masa lalu. Bukan sembarang ziarah. Ia mencoba mengulik bagaimana seonggok kuburun lebih dari sekadar gundukan tanah. Dalam pandangannya, yang ia tarik ke masa silam, semestinya ingatan tentang orang yang terbaring di liang lahat harus diruwat. Hanya dengan mengetahui kebenaran faktual tokoh historis, gundukan tanah tidak akan pernah sunyi—dalam arti yang hiperbolis.

Ia akan terus dan senantiasa hidup di kepala pengunjungnya. Ia amat menyayangkan sebab beberapa cagar budaya berupa makam kuno itu kurang terawat. Barangkali salah satu dari sekian penyababnya adalah minimnya literatur yang mencatat siapa yang terbaring di sana. Sementara tradisi oral (yang sedikit banyak mencatat itu) tidak serta merta dapat langgeng. Maka di sisi yang sama medium lain berupa tulisan harus hadir.

Hal tersebut juga mungkin punya kaitan erat dengan watak orang Madura yang diklaim pragmatis oleh Royyan. Dalam esai Kosmologi Pragmatis Manusia Madura, ia memulai dengan analisis komparatif dengan Jawa. Premisnya, Madura tidak mempunya ide-ide matafisik sebagaimana manusia Jawa. Kemurahan dan kesuburan tanah di Jawa memungkinkan orang di sana untuk merenungkan hal tersembunyi di balik semesta.

Di Madura tidak demikian, sebab waktu amat terbatas dan banyak dihabiskan untuk membajak tanah yang keras. Itulah yang sedikit banyak turut membentuk diri manusia Madura yang dinilai pekerja keras. Implikasinya nanti juga pada keberlangsungan makhluk hidup nonmanusia. Secara spesifik, relasi antara manusia Madura dengan alamnya punya ketimpangan.

Dalam esainya disebutkan, bahwa Madura memiliki watak ekologi-dangkal dan antroposentris, yang kaitannya dengan alam. Kepentingan manusia mempunyai hierarki paling tinggi dalam undakan kehidupan. Di seberangnya ada ekologi-dalam yang menyetarakan hierarki alam-manusia. Akibat ekologi-dangkal, tidak sedikit orang yang alpa terhadap keterawatan alam, kepentingan untuk senantiasa mengawetkannya.

Pemanfaatan terhadap sumber daya alam memang adalah hal yang niscaya, namun juga tidak harus sampai pada taraf eksploitatif. Semestinya, yang paling ideal, adalah ekologi-dalam ketika akan berbicara ihwal kelangsungkan makhluk hidup nonmanusia. Kesetaraan antara manusia dan nonmanusia hanya dicapai dalam pandangan ekologi-dalam(sebagaimana perspektif Royyan), bukan sebaliknya.

Secara empiris, kita memang akan disuguhkan dengan persoalan ekologi dalam taraf mengkhawatirkan. Tanah-tanah yang diperkosa oleh pemodal sehingga kehilangan daya magicnya. Sebagaimana yang disebutkan penulis, semula tanah tidak hanya petakan yang ditumbuhi tanaman. Ia adalah wasilah antara insan hidup dan moyang di dunia lain. Dengan begitu, menjual tanah adalah hal yang seharusnya dihindari serta tabu.

Di sisi yang sama, fakta menyuguhkan hal lain, watak pragmatis sebagaimana saya sebut di awal nyaris membabat habis semuanya. Tanah serasa tidak mempunyai daya magic, dan dengan gampang diperkosa oleh pemodal. Ini yang saya kira Madura yang lain dan yang tersembunyi di balik apa yang banyak dilihat orang luar.

Selain hal di atas, Royyan melakukan usaha seobjektif mungkin untuk menulis dirinya (Maduranya sendiri). Ia melakukan tambal sulam dan mengorek beberapa bagian yang dianggap tidak presisi. Langkahnya cukup berani melihat Madura dengan jalan penyortiran di tiap sisinya. Sebagaimana diakuinya, kebudayaan Madura senantiasa berjalan dialektis, mengalami rekonstruksi, bahkan tukar-tambah. Secara ontologis Madura inkonsisten, dalam kepalanya.

Judul : Madura Niskala

Penulis : Royyan Julian

Penerbit : Basabasi

Terbit : Januari, 2022

ISBN : 978-623-305-260-3
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1969 seconds (0.1#10.140)