Wadas dan Kecerdasan Ekologis

Sabtu, 19 Februari 2022 - 10:22 WIB
loading...
Wadas dan Kecerdasan Ekologis
Udi Utomo/FOTO/DOK SINDO
A A A
Udi Utomo
Guru SMPN 5 Pati, Jateng
Alumnus Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Rencana penambangan batu andesit sebagai material pembangunan Bendungan Bener mendapat penolakan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penolakan warga Wadas berujung ricuh dengan ditangkapnya sejumlah warga oleh aparat kepolisian pada Senin (8/2) lalu.

Alasan warga menolak penambangan karena dampak yang akan ditimbulkan yaitu merusak lingkungan seperti hilangnya habitat hewan, tumbuhan, dan matinya sumber mata air.

Dari kisruh penambangan di Wadas ini bisa kita jadikan momentum perubahan paradigma pembangunan dari merusak lingkungan menjadi pembangunan yang berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan sudah menjadi agenda global. Adanya krisis ekologis yang mendasari pentingnya pembangunan berkelanjutan. Krisis ekologis telah menyebabkan suhu bumi naik 2 derajat celcius pasca-Revolusi Industri (1880). Akibat krisis ekologis bencana ekstrem terus terjadi seperti banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, krisis air bersih, longsor, dan kenaikan permukaan laut. Kini negara-negara di dunia telah berkomitmen untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius.

Ironisnya, saat kesadaran dunia untuk menahan laju suhu global, justru emisi karbon dunia meningkat. Data Bloomberg yang diolah HSBC Global Private Banking menyebutkan pada 2020 total emisi karbon dunia mencapai 34.000 juta ton karbon dioksida (CO2). Peningkaatan paling signifikan disumbangkan oleh negara-negara Asia sejak dekade 2000 hingga 2020. Padahal, dekade sebelumnya, Eropa dan Amerika Serikat menjadi penyumbang emisi karbon terbesar.

Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris, melalui Undang-Undang No 16/2016 tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Perubahan Iklim. Persetujuan Paris merupakan perjanjian internasional yang ditandatangani oleh 196 negara pada Konferensi Perubahan Iklim (COP) 21 di Paris (12 Desember 2015). Perjanjian Paris mewajibkan setiap negara untuk mencegah kenaikan suhu bumi tidak melewati 2 derajat celcius.

Dalam dokumen Nationally Determenied Contribution (NDC), Indonesia berkomitmen mengupayakan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 41% pada 2030 dengan dukungan internasional atau 29% dengan usaha sendiri. Programnya pemerintah akan mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau yaitu pertumbuhan ekonomi yang kuat, tetapi juga ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta pembangunan yang inklusif secara sosial (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2021).

Ekopedagogik
Upaya untuk merawat kelestarian bumi harus menjadi tindakan nyata seluruh warga dunia. Ini bisa berjalan apabila setiap orang memiliki kesadaran dalam berperilaku yang ramah terhadap lingkungan.

Sikap tidak ramah lingkungan yang mengakibatkan terjadinya krisis ekologis akibat kelirunya manusia dalam memperlakukan alam. Oleh karenanya, Arne Naess (dalam Keraf, 2002) menyatakan krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal.

Sikap manusia dalam memperlakukan alam didasari oleh paradigma antroposentris. Menurut Keraf (2002) antroposentris adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia sebagai penguasa dan pusat dari alam sehingga beranggapan manusia bebas memanfaatkan lingkungan bahkan boleh mengeksploitasinya tanpa dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya.

Cara pandang ini harus diubah dengan pandangan ekosentris. Paradagima ekosentris menjadikan alam sebagai pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, orang memiliki kesadaran bahwa seluruh perilaku manusia akan membawa pengaruh terhadap alam.

Kesadaran ini sebaiknya ditanamkan sejak dini. Internalisasi nilai-nilainya dapat melalui pendidikan. Salah satu pendekatannya adalah pendekatan ekopedagogik. Menurut Khan (dalam Supriatna, 2016) mendefinisikan ekopedagogik sebagai gerakan akademik untuk menyadarkan siswa menjadi individu yang memiliki pemahaman, kesadaran dan keterampilan hidup selaras dengan kepentingan pelestarian alam.

Ekopedogik merupakan bagian dari pedagogik kritis. Pedagogik yang berpandangan pendidikan tidak saja pemerolehan pengetahuan tetapi pendidikan sebagai transformasi. Pendikan yang ouputnya siswa mampu memiliki kompetensi dalam ikut memberi solusi terhadap persoalan-persoalan di kehidupan sehari-hari.

Oleh karenanya pembelajarannya bersifat kontekstual. Persoalan-persoalan di kehidupan sehari-hari siswa menjadi materi pembelajaran. Pembelajaran menjadi bermakna karena apa yang dipelajari, siswa merasakan manfaatnya.

Pada pendekatan ekopedagogik dikembangan suatu kecerdasan ekologis. Menurut Goleman (2010), kecerdasan ekologis adalah suatu kepekaan seseorang yang mampu melihat keterkaitan antara tindakan manusia dan dampak yang ditimbulkan terhadap bumi. Ouputnya siswa memiliki perilaku hijau (green behavior).

Internalisasi pendekatan ekopedagogik di sekolah dapat melalui pengajaran pada mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup. Selain itu, internalisasi kecerdasan ekologis dapat melalui hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) pada seluruh mata pelajaran serta melalui budaya sekolah (kebiasaan-kebiasaan baik terkait lingkungan) seperti program sekolah Adiwiyata.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.6061 seconds (0.1#10.140)