Kontroversi Izin Tambang Ormas dan Energi sebagai Kekuatan Masa Depan
loading...
A
A
A
Soni Fahruri
Founder dan CEO CENITS
MUHAMMADIYAH akhirnya resmi memutuskan menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang batubara. Muhammadiyah menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) ketiga setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Islam (Persis).
Seperti halnya NU beberapa waktu lalu, keputusan Muhammadiyah itu tidak lepas dari reaksi pro dan kontra. Media sosial riuh dan bising dengan percakapan mengenai sikap Muhammadiyah yang dianggap tidak konsisten, tunduk pada rezim, dan sebagainya, hingga menjurus pada hal-hal tak substansial kendati telah dibantah.
Tulisan ini mencoba untuk membawa perdebatan tersebut kembali pada jalur substansial dengan mengajukan pertanyaan: Kapan Indonesia menjadi negara maju? Pertanyaan ini sangat layak diajukan mengingat Indonesia yang tak pernah beranjak dari status negara berkembang. Status ini bahkan sudah dipahat dalam buku-buku ajar sekolah sejak tahun 1980-an. Dan memang benar, faktanya Indonesia terus berproses dari negara berkembang menjadi negara berkembang, lagi dan lagi.
Kesimpulannya, Indonesia pada dasarnya tak pernah berkembang walaupun sejumlah kemajuan telah dicapai. Kemajuan ekonomi dan teknologi yang dirasakan masyarakat Indonesia selalu saja tertinggal selangkah di belakang beberapa negara lain, dalam hal ini yang disebut sebagai negara maju. Kembali ke pertanyaan semula, lalu kapan Indonesia bisa menyamai negara-negara maju tersebut? Maju ekonominya, maju teknologinya, maju standar hidupnya, dan pada akhirnya maju peradabannya?
Indonesia memang telah dicoret Amerika Serikat dari daftar negara berkembang pada 2020 dan dimasukkan sebagai bagian dari negara G-20. Tetapi status Indonesia belum bisa disebut naik menjadi negara maju. Indonesia masih harus berjuang untuk keluar dari middle income trap atau negara dengan pendapatan menengah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas 5% ternyata belum cukup membantu naik kelas. Upaya ekstra keras masih harus dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7% (Bappenas). Indonesia juga harus memacu sektor industri agar bisa berkontribusi sebesar 30% pada Produk Domestik Bruto (PDB). Indonesia juga masih harus memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia serta pendapatan masyarakat.
Saat ini, usaha pertambangan masih didominasi asing, baik secara langsung maupun tak langsung, plus segelintir pengusaha lokal. Mereka menguasai jutaan hektar lahan melalui izin usaha pertambangan. Berkat mereka inilah pendapatan per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2023, sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebesar Rp75 juta atau USD4.919,7, naik 2,8% dari 4.783,9 pada 2022. Tetapi seperti kita ketahui, pendapatan per kapita tersebut adalah rata-rata dari PDB terhadap jumlah penduduk yang tidak mencerminkan pemerataan pendapatan seluruh penduduk.
Dalam konteks inilah, Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2024 yang menjadi dasar kebijakan pemberian izin usaha pertambangan ormas keagamaan mendapatkan momentum. Sejarah dunia adalah sejarah energi. Penguasaan atas sumber-sumber energi telah menjadikan sebuah bangsa atau negara berdaya dan berjaya dalam pentas dunia. Karena itu, tidak bisa tidak, Indonesia dituntut mampu mengonversi kekayaan sumber daya energinya menjadi kekuatan pembangunan ekonomi masa depan untuk menghadapi tantangan ketersediaan pangan dunia. Sudah waktunya Indonesia mandiri dalam energi, sebagaimana angan-angan berdikari Soekarno. Tiba gilirannya masyarakat terlibat sebagai penyedia sekaligus konsumen energi, seperti cita-cita ekonomi kerakyatan Hatta.
Hal ini lalu mendorong ”kesadaran global” untuk menyelamatkan bumi, yang berarti menyelamatkan kehidupan manusia, melalui pengembangan konsep dan gerakan yang dewasa ini disebut sebagai green economy. Konsep ini menekankan agar aktivitas pembangunan ekonomi di saat yang bersamaan harus berorientasi pada aspek kelestarian lingkungan hidup dan sosial.
Tetapi konsep ini seolah dipahami sebagai larangan untuk melakukan aktivitas pertambangan minyak bumi dan batubara karena dituding sebagai penyumbang emisi karbon terbesar. Padahal bagi negara seperti Indonesia, tambang batubara masih akan sangat membantu memenuhi kebutuhan energi untuk bisa keluar dari middle income trap.
Founder dan CEO CENITS
MUHAMMADIYAH akhirnya resmi memutuskan menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang batubara. Muhammadiyah menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) ketiga setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Islam (Persis).
Seperti halnya NU beberapa waktu lalu, keputusan Muhammadiyah itu tidak lepas dari reaksi pro dan kontra. Media sosial riuh dan bising dengan percakapan mengenai sikap Muhammadiyah yang dianggap tidak konsisten, tunduk pada rezim, dan sebagainya, hingga menjurus pada hal-hal tak substansial kendati telah dibantah.
Tulisan ini mencoba untuk membawa perdebatan tersebut kembali pada jalur substansial dengan mengajukan pertanyaan: Kapan Indonesia menjadi negara maju? Pertanyaan ini sangat layak diajukan mengingat Indonesia yang tak pernah beranjak dari status negara berkembang. Status ini bahkan sudah dipahat dalam buku-buku ajar sekolah sejak tahun 1980-an. Dan memang benar, faktanya Indonesia terus berproses dari negara berkembang menjadi negara berkembang, lagi dan lagi.
Kesimpulannya, Indonesia pada dasarnya tak pernah berkembang walaupun sejumlah kemajuan telah dicapai. Kemajuan ekonomi dan teknologi yang dirasakan masyarakat Indonesia selalu saja tertinggal selangkah di belakang beberapa negara lain, dalam hal ini yang disebut sebagai negara maju. Kembali ke pertanyaan semula, lalu kapan Indonesia bisa menyamai negara-negara maju tersebut? Maju ekonominya, maju teknologinya, maju standar hidupnya, dan pada akhirnya maju peradabannya?
Indonesia memang telah dicoret Amerika Serikat dari daftar negara berkembang pada 2020 dan dimasukkan sebagai bagian dari negara G-20. Tetapi status Indonesia belum bisa disebut naik menjadi negara maju. Indonesia masih harus berjuang untuk keluar dari middle income trap atau negara dengan pendapatan menengah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas 5% ternyata belum cukup membantu naik kelas. Upaya ekstra keras masih harus dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7% (Bappenas). Indonesia juga harus memacu sektor industri agar bisa berkontribusi sebesar 30% pada Produk Domestik Bruto (PDB). Indonesia juga masih harus memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia serta pendapatan masyarakat.
Energi sebagai Kekuatan Masa Depan
Memerlukan lebih dari sekadar perbaikan strategi dan taktik untuk memenuhi indikator-indikator tersebut, apalagi untuk mencapai pertumbuhan hingga 8% yang diharapkan pemerintahan baru ke depan. Yang dibutuhkan Indonesia adalah perubahan paradigma pembangunan ekonomi. Upaya mensejahterakan masyarakat haruslah bertumpu pada kemampuan dan budaya bangsa dengan melibatkan peran masyarakat, tidak hanya menjadi membebankan tugas mulia tersebut pada segelintir elite. Dengan kata lain, pemerintah sebagai aktor utama dalam proses pembangunan tidak boleh memasung inisiatif dan kreativitas masyarakat.Saat ini, usaha pertambangan masih didominasi asing, baik secara langsung maupun tak langsung, plus segelintir pengusaha lokal. Mereka menguasai jutaan hektar lahan melalui izin usaha pertambangan. Berkat mereka inilah pendapatan per kapita masyarakat Indonesia pada tahun 2023, sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebesar Rp75 juta atau USD4.919,7, naik 2,8% dari 4.783,9 pada 2022. Tetapi seperti kita ketahui, pendapatan per kapita tersebut adalah rata-rata dari PDB terhadap jumlah penduduk yang tidak mencerminkan pemerataan pendapatan seluruh penduduk.
Dalam konteks inilah, Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2024 yang menjadi dasar kebijakan pemberian izin usaha pertambangan ormas keagamaan mendapatkan momentum. Sejarah dunia adalah sejarah energi. Penguasaan atas sumber-sumber energi telah menjadikan sebuah bangsa atau negara berdaya dan berjaya dalam pentas dunia. Karena itu, tidak bisa tidak, Indonesia dituntut mampu mengonversi kekayaan sumber daya energinya menjadi kekuatan pembangunan ekonomi masa depan untuk menghadapi tantangan ketersediaan pangan dunia. Sudah waktunya Indonesia mandiri dalam energi, sebagaimana angan-angan berdikari Soekarno. Tiba gilirannya masyarakat terlibat sebagai penyedia sekaligus konsumen energi, seperti cita-cita ekonomi kerakyatan Hatta.
Melawan Hegemoni Wacana Lingkungan
Dalam beberapa dekade terakhir, para ilmuwan menyimpulkan telah terjadi peningkatan suhu permukaan bumi yang dipicu rusaknya lapisan ozon di atmosfer akibat emisi karbon yang berlebih. Industri pertambangan minyak bumi dan batubara menjadi kambing hitam.Hal ini lalu mendorong ”kesadaran global” untuk menyelamatkan bumi, yang berarti menyelamatkan kehidupan manusia, melalui pengembangan konsep dan gerakan yang dewasa ini disebut sebagai green economy. Konsep ini menekankan agar aktivitas pembangunan ekonomi di saat yang bersamaan harus berorientasi pada aspek kelestarian lingkungan hidup dan sosial.
Tetapi konsep ini seolah dipahami sebagai larangan untuk melakukan aktivitas pertambangan minyak bumi dan batubara karena dituding sebagai penyumbang emisi karbon terbesar. Padahal bagi negara seperti Indonesia, tambang batubara masih akan sangat membantu memenuhi kebutuhan energi untuk bisa keluar dari middle income trap.