Fahri Hamzah Minta Rapat DPR dengan BUMN Ditiadakan karena Merusak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan rapat DPR RI dengan Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) tidak punya landasan hukum dan lebih banyak mudaratnya. Hal ini disampaikan Fahri menyoroti insiden pengusiran Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII.
"Karena itu sebaiknya dihentikan, cukup Kementerian BUMN yang rapat dengan DPR RI sebagai kuasa pemegang saham. Selain itu,, terlalu banyak efek buruknya bagi DPR RI, dan terlebih lagi bagi BUMN," kata dia melalui akun Twitter @Fahrihamzah, dikutip Rabu (16/2/2022).
Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia ini berpandangan, BUMN seharusnya didorong bekerja murni sebagai profesional. Jangan terlalu banyak politik yang bisa membuat wajah BUMN samar dan tidak jelas. Bahkan, rapat pemegang saham dan pengawasan pun cukup dihadiri komisaris dan para direksi saja, dan mereka pun tidak perlu datang ke DPR RI.
"Direksi BUMN adalah pejabat bisnis, bukan pejabat politik. Jadi, politisasi BUMN ini sudah terbukti jelek. Membiasakan mereka rapat di DPR RI, membuat mereka bermental politik. Inilah akar dari rusaknya professionalisme di BUMN. Mereka dipaksa melayani kepentingan politik eksekutif dan legislatif. Budaya korporasi rusak!," tulis Fahri.
Bahkan, ia sendiri menulis buku tentang BUMN dan dibagikan gratis oleh Partai Gelora Indonesia. Inti dari permasalahan BUMN adalah, adanya dilema antara 'dikuasai negara' dan 'untuk kesejahteraan rakyat'. "Salah satunya ya rapat di DPR RI itu. Dengan motif dikuasai, tapi negara sedang merusak kultur bisnis di BUMN," ujarnya.
Fahri pun melihat, ada kesalahan di hulu persoalan, karena Undang-Undang (UU) yang ambigu dan membiarkan kontradiksi di UU tentang BUMN dan UU tentang Perseroan Terbatas (PT), juga UU tentang Keuangan Negara. Harusnya diperjelas bahwa pengelolaan BUMN tunduk ke dalam rezim korporasi dan pertanggungjawaban pemegang saham di Kemen BUMN.
"Jadi, tidak fair membedah BUMN di depan umum oleh politisi sementara mereka punya pesaing yang selalu mengintip dapur mereka. Sementara itu, tidak jelas juga yang dibahas. Beda dengan rapat penyelidikan angket misalnya. Itu bebas. Jangankan BUMN, Presiden aja bisa dipanggil," pungkas politisi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.
"Karena itu sebaiknya dihentikan, cukup Kementerian BUMN yang rapat dengan DPR RI sebagai kuasa pemegang saham. Selain itu,, terlalu banyak efek buruknya bagi DPR RI, dan terlebih lagi bagi BUMN," kata dia melalui akun Twitter @Fahrihamzah, dikutip Rabu (16/2/2022).
Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia ini berpandangan, BUMN seharusnya didorong bekerja murni sebagai profesional. Jangan terlalu banyak politik yang bisa membuat wajah BUMN samar dan tidak jelas. Bahkan, rapat pemegang saham dan pengawasan pun cukup dihadiri komisaris dan para direksi saja, dan mereka pun tidak perlu datang ke DPR RI.
"Direksi BUMN adalah pejabat bisnis, bukan pejabat politik. Jadi, politisasi BUMN ini sudah terbukti jelek. Membiasakan mereka rapat di DPR RI, membuat mereka bermental politik. Inilah akar dari rusaknya professionalisme di BUMN. Mereka dipaksa melayani kepentingan politik eksekutif dan legislatif. Budaya korporasi rusak!," tulis Fahri.
Bahkan, ia sendiri menulis buku tentang BUMN dan dibagikan gratis oleh Partai Gelora Indonesia. Inti dari permasalahan BUMN adalah, adanya dilema antara 'dikuasai negara' dan 'untuk kesejahteraan rakyat'. "Salah satunya ya rapat di DPR RI itu. Dengan motif dikuasai, tapi negara sedang merusak kultur bisnis di BUMN," ujarnya.
Fahri pun melihat, ada kesalahan di hulu persoalan, karena Undang-Undang (UU) yang ambigu dan membiarkan kontradiksi di UU tentang BUMN dan UU tentang Perseroan Terbatas (PT), juga UU tentang Keuangan Negara. Harusnya diperjelas bahwa pengelolaan BUMN tunduk ke dalam rezim korporasi dan pertanggungjawaban pemegang saham di Kemen BUMN.
"Jadi, tidak fair membedah BUMN di depan umum oleh politisi sementara mereka punya pesaing yang selalu mengintip dapur mereka. Sementara itu, tidak jelas juga yang dibahas. Beda dengan rapat penyelidikan angket misalnya. Itu bebas. Jangankan BUMN, Presiden aja bisa dipanggil," pungkas politisi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.
(muh)