MUI Beberkan Alasan Ka'bah Metaverse Tak Bisa untuk Haji dan Umrah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ka'bah Virtual versi Metaverse yang baru saja diluncurkan oleh Pemerintah Arab Saudi menuai pro dan kontra. Isu ini pun mendapat perhatian serius dari Majelis Ulama Indonesia ( MUI ).
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorum Niam menilai platform Metaverse untuk melihat atau mengelilingi Ka'bah melalui virtual reality dimaknai sebagai simulasi haji, dan bukan termasuk ibadah.
"Mulai dari mana nanti tawafnya, kemudian di mana Al Mustajabah tempat-tempat mustajab, di mana Maqam Ibrahim, kemudian di mana Hajar Aswad, kemudian di mana Rukun Yamani, dan di mana Mas'a. Maka dengan teknologi itu bisa lebih mudah dikenali sehingga tergambar oleh calon jamaah," kata Asrorun Niam di Jakarta, Minggu (13/2/2022).
Asrorum Niam mengatakan, seseorang tidak dapat dikatakan sedang berhaji dengan Ka'bah Metaverse karena tidak memenuhi syarat-syarat haji. Sebab, pelaksanaan ibadah haji harus hadir secara fisik di tempat-tempat yang ditentukan dan pada Dzulhijjah. "Tetapi bukan berarti kita cukup dan boleh hanya melalui media virtual saja, kalau haji lewat metaverse ya tidak sah," katanya.
Menanggapi sisi lain dari Ka'bah Metaverse, Asrorun Niam menilai, platform ini bisa menjadi tambahan informasi bagi jamaah sebelum menjalani ibadah haji atau umrah. "Platform itu harus dimaknai secara positif untuk memudahkan calon jamaan hajibdan calon jamaah umrah untuk mengeksplor lokasi-lokasi di mana nanti akan dilaksanakan aktivitas ibadah, mengetahui secara presisi di mana lokasi Kabahnya," ujar Asrorun.
Untuk diketahui, sebelumnya Ka'bah Virtual versi Metaverse atau disebut Virtual Black Stone Initiative ini diluncurkan akhir 2021 oleh Imam Besar Masjidil Haram Syekh Abdurrahman Sudais. Platform ini dibentuk oleh Badan Urusan Pameran dan Museum Arab Saudi, bekerja sama dengan Universitas Umm al Qura.
Baca juga: Mau Haji di Metaverse?
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorum Niam menilai platform Metaverse untuk melihat atau mengelilingi Ka'bah melalui virtual reality dimaknai sebagai simulasi haji, dan bukan termasuk ibadah.
"Mulai dari mana nanti tawafnya, kemudian di mana Al Mustajabah tempat-tempat mustajab, di mana Maqam Ibrahim, kemudian di mana Hajar Aswad, kemudian di mana Rukun Yamani, dan di mana Mas'a. Maka dengan teknologi itu bisa lebih mudah dikenali sehingga tergambar oleh calon jamaah," kata Asrorun Niam di Jakarta, Minggu (13/2/2022).
Asrorum Niam mengatakan, seseorang tidak dapat dikatakan sedang berhaji dengan Ka'bah Metaverse karena tidak memenuhi syarat-syarat haji. Sebab, pelaksanaan ibadah haji harus hadir secara fisik di tempat-tempat yang ditentukan dan pada Dzulhijjah. "Tetapi bukan berarti kita cukup dan boleh hanya melalui media virtual saja, kalau haji lewat metaverse ya tidak sah," katanya.
Menanggapi sisi lain dari Ka'bah Metaverse, Asrorun Niam menilai, platform ini bisa menjadi tambahan informasi bagi jamaah sebelum menjalani ibadah haji atau umrah. "Platform itu harus dimaknai secara positif untuk memudahkan calon jamaan hajibdan calon jamaah umrah untuk mengeksplor lokasi-lokasi di mana nanti akan dilaksanakan aktivitas ibadah, mengetahui secara presisi di mana lokasi Kabahnya," ujar Asrorun.
Untuk diketahui, sebelumnya Ka'bah Virtual versi Metaverse atau disebut Virtual Black Stone Initiative ini diluncurkan akhir 2021 oleh Imam Besar Masjidil Haram Syekh Abdurrahman Sudais. Platform ini dibentuk oleh Badan Urusan Pameran dan Museum Arab Saudi, bekerja sama dengan Universitas Umm al Qura.
Baca juga: Mau Haji di Metaverse?
(abd)