Rekomendasi Iluni FH UI untuk Penguatan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Kamis, 03 Februari 2022 - 19:39 WIB
loading...
Rekomendasi Iluni FH...
Demonstran menagih janji untuk sahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai RUU Inisiatif DPR. Foto/Dok SINDOnews/Yulianto
A A A
JAKARTA - Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FH UI) menilai perlu adanya penguatan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).Iluni FH UI pun menyampaikan beberapa rekomendasi untuk penguatan RUU TPKS ini.

Iluni FH UI mengapresiasi langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR merampungkan RUU TPKS pada 8 Desember 2021, kemudian menetapkan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna 18 Januari 2022. Dalam siaran pers yang diteken Ketua Umum Iluni FH UI Rapin Mudiardjo, Sekretaris Umum Rian Hidayat, dan Kepala Divisi Kajian, Penelitian & Pelatihan Fahrurozi, Kamis (3/2/2022), Iluni FH UI terus mendukung Pemerintah Indonesia yang telah membahas RUU TPKS pada 31 Januari – 1 Februari 2022 agar dapat menjawab kebutuhan dan kepentingan korban, terlebih dengan semakin banyaknya perkara kekerasan seksual dengan berbagai modus operandi yang terjadi.



Secara garis besar, Iluni FH UI memandang sudah terdapat perkembangan positif dan penyempurnaan terhadap substansi RUU TPKS, antara lain dalam hal pengaturan tindak pidana, hukum acara, perlindungan korban, hak-hak korban, dan pencegahan kekerasan seksual. Beberapa hal yang perlu diapresiasi antara lain penghindaran duplikasi dengan existing laws yang termuat di dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak. "RUU TPKS saat ini juga telah mencoba menjawab kebutuhan perlindungan terhadap korban dan peningkatan kualifikasi dari Aparat Penegak Hukum dalam menangani perkara kekerasan seksual," demikian rilis tersebut.

Sejatinya, UU TPKS menjadi kebutuhan guna menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi dalam menangani kasus kekerasan seksual. Akan tetapi, Iluni FH UI beranggapan bahwa masih terdapat beberapa isu dan hal yang harus diperhatikan dalam upaya perumusan RUU TPKS. Di antaranya, terkait mekanisme untuk memperluas cakupan RUU TPKS, agar tidak hanya diberlakukan untuk tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di dalam RUU TPKS, namun juga dapat menjangkau kekerasan seksual yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO), UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dan pengaturan UU lain yang mengatur pemidanaan kekerasan seksual. Selain itu, diperlukan mekanisme untuk memberikan jaminan terhadap pembayaran ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga (restitusi) terhadap korban kekerasan seksual, mengingat banyak sekali korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan ganti kerugian atas proses rehabilitasi untuk kepentingan pemulihan korban.



Terkait dengan pengaturan tindak pidana mengenai kekerasan berbasis gender online (KBGO), Iluni FH UI mengapresiasi upaya draf Baleg DPR RI 8 Desember 2021 yang mengakomodir pengaturan tindak pidana pelecehan seksual berbasis elektronik dalam Pasal 5 RUU TPKS.

Namun, Iluni FH UI berpendapat bahwa terdapat pengaturan pada Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang penyebaran konten pelanggaran kesusilaan yang justru seringkali digunakan untuk menjerat korban. Pengaturan pelecehan seksual berbasis elektronik dalam RUU TPKS harus dibarengi dengan penghapusan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang perlu dimuat dalam ketentuan penutup RUU TPKS. Selain itu, untuk menjamin perlindungan korban yang mengalami KBGO, perlu diatur ketentuan yang dapat menjawab kebutuhan akan adanya tindakan-tindakan yang terjadi di dalam ruang cyber terkait dengan sextortion, grooming, dan metode lainnya yang terus berkembang. Mengenai pengaturan lain yang terkait dengan tindak pidana, RUU TPKS juga perlu memberikan rumusan pasal yang menjelaskan apa saja tindak pidana dalam UU lain yang dapat diklasifikasikan sebagai kekerasan seksual. Hal ini sangat penting untuk menjamin korban yang kasusnya diproses dengan UU lain, agar dapat memperoleh hak yang komprehensif sebagaimana diatur dalam RUU TPKS ini.

Terkait substansi hukum acara, Iluni FH UI berpendapat bahwa penting bagi korban kekerasan seksual mendapatkan jaminan hukum acara yang berperspektif korban, termasuk juga keberadaan aparat penegak hukum yang sensitif terhadap kebutuhan korban. Hal ini terutama untuk mencegah terjadinya kondisi keberulangan menjadi korban tindak kejahatan (reviktimisasi) terhadap korban kekerasan seksual. Dengan demikian, diperlukan penguatan terhadap implementasi perintah perlindungan sementara bagi korban dan/atau saksi, penggunaan bukti forensik, asesmen psikologis dan akomodasi yang layak bagi saksi dan/atau korban disabilitas, mekanisme perekaman elektronik bagi korban dewasa, serta pertemuan pendahuluan oleh penuntut umum yang tidak hanya dibatasi pada tahap penyidikan, namun juga dalam setiap tahapan proses peradilan.

Berangkat dari rumusan draf Baleg DPR RI 8 Desember 2021, perlu juga diatur pemulihan dan layanan perlindungan korban yang lebih komprehensif dengan memperkuat peran negara di dalamnya, dan memastikan kesiapan dan kemampuan sumber daya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).



"Untuk itu, Iluni FH UI mendorong agar pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah dilakukan dengan komprehensif dan mengupayakan agar kualitas substansi RUU TPKS mampu memberikan akses keadilan terhadap korban, serta menjamin perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban. Pembahasan yang dilakukan harus memberikan jaminan korban dapat memperoleh hak yang sama dalam mengupayakan perlindungan korban melalui penanganan secara keseluruhan."

Selanjutnya, Iluni FH UI merekomendasikan beberapa hal berikut ini:
1. Mendorong pengesahan segera RUU TPKS yang mengedepankan perlindungan dan kepentingan korban.
2. Perlu adanya pengaturan dalam RUU TPKS mengenai mekanisme hukum acara serta perlindungan bagi korban yang dapat menjangkau UU lain yang memiliki muatan kekerasan seksual, demi menjamin hak korban yang komprehensif, sekalipun penanganan kasusnya menggunakan UU lain.
3. RUU TPKS sebaiknya fokus pada upaya-upaya yang dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap korban, misalnya dalam hal mekanisme pemberian rumah aman, konseling psikologi, fasilitas kesehatan, dan akses bantuan hukum yang layak bagi korban.
4. RUU TPKS perlu menjamin adanya mekanisme perlindungan terhadap korban yang seringkali mendapatkan pelaporan balik oleh pelaku dan/atau keluarga pelaku kekerasan seksual, agar para korban kekerasan seksual ketika memperjuangkan hak hukumnya,
tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
5. RUU TPKS perlu mengatur mengenai mekanisme ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga (restitusi) yang dapat membantu proses rehabilitasi korban dengan melakukan sita eksekusi dalam perkara perdata terhadap aset pelaku kekerasan seksual.
6. RUU TPKS perlu mengatur mengenai mekanisme proses pelaksanaan hukum acara tindak pidana kekerasan seksual yang mengedepankan perlindungan korban agar tidak kembali menjadi korban tindak kejahatan (re-viktimisasi), antara lain dengan pemanfaatan perekaman elektronik.
7. RUU TPKS perlu mengatur mengenai mekanisme proses yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pencegahan kekerasan seksual dan pendampingan berbasis masyarakat, agar dapat diperkuat dan diberikan peningkatan kapasitas untuk mendampingi korban.
8. Pembahasan RUU TPKS perlu melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam penyusunannya untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi pembahasan RUU TPKS oleh DPR dan pemerintah.
9. RUU TPKS perlu mengatur mengenai mekanisme pelaporan, monitoring, dan evaluasi terhadap pelaksanaan RUU TPKS di berbagai tingkatan pemerintah.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2402 seconds (0.1#10.140)