TKDD, Transformasi Menuju 2045
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda, Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
ANGGARAN Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Angkanya meningkat signifikan dari Rp33,1 triliun pada 2000 menjadi Rp770,4 triliun di tahun ini.
Hal ini terjadi karena alokasi dana transfer ke daerah dan dana desa diyakini bisa mempercepat pembangunan prioritas yang berada di daerah termasuk desa. Sejatinya, TKDD diarahkan untuk mendukung perbaikan kualitas layanan dasar publik di daerah, akselerasi daya saing, dan mendorong belanja produktif yang dapat meningkatkan aset daerah. Melalui perbaikan layanan (delivery services) bukan hanya pertumbuhan ekonomi bisa meningkat, tetapi transformasi ekonomi bisa terwujud.
Transfer ke daerah adalah bagian dari mekanisme pengelolaan fiskal nasional, sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi fiskal sekaligus agar peningkatan kualitas belanja bisa lebih baik. TKDD ini berisi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Sumber Daya Alam, dan Dana Desa serta Dana kekhususan. Jumlah Dana yang terus meningkat ini menunjukkan besarnya komitmen pemerintah pusat dalam mendorong daerah untuk mengambil inisiasi pembangunan di wilayahnya. Tujuannya, agar lebih sesuai dengan keinginan masyarakat daerah tanpa harus keluar dari kepentingan prioritas nasional.
Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa kondisi yang diharapkan masih belum terwujud dengan baik. Ketimpangan fiskal antarwilayah baik horizontal dan vertikal masih lebar, kemiskinan masih bersikutat di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi basis kemiskinan, begitu juga dengan pengangguran dan pusat-pusat pertumbuhan, hampir tidak berubah selama hampir dua dekade.
Berdasarkan temuan tersebut, pemerintah melihat perlu ada perubahan dalam pengelolaan fiskal ini melalui UU HKPD (Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah) yang diharapkan mampu mewujudkan pengelolaan lebih baik, belanja lebih baik serta pengelolaan pegawai daerah/pusat yang lebih baik.
UU HKPD dan Transfromasi Ekonomi
Selama ini, tingginya ketergantungan daerah terhadap dana TKDD tak lain akibat masih terbelenggunya daerah pada tingginya alokasi belanja pegawai. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan mencatat bahwa rata–rata Dana Alokasi Umum (DAU) yang disedot dari APBN untuk belanja pegawai di lingkungan pemerintah daerah di atas 50%, bahkan ada beberapa kasus di atas 75%. Akibatnya, belanja pembangunan infrastruktur untuk layanan publik masih sangat rendah, yakni rata-rata 11,5%. Padahal, infrastruktur merupakah salah satu prasyarat untuk ekonomi menuju transformasi.
Lemahnya belanja infrastruktur ini sebagai investasi publik (public investment) membuat daerah tidak memiliki banyak pilihan. Alternatifnya, pertama, melakukan efisiensi besar-besaran terutama pada belanja pegawai, dan di mana ini menjadi butir penting pada UU HKPD yang menyebutkan belanja pegawai tidak boleh lebih dari 30% dengan masa transisi selama tiga tahun.
Kedua, pemerintah daerah membuka diri dengan melakukan pinjaman daerah, apakah melalui PT SMI sebagai special mission vehicle Kemenkeu atau melalui municipal bond (obligasi daerah).
Kedua pilihan diatas tentu akan membawa konsekuensi atau prasyarat yang harus dimiliki oleh daerah, seperti keterbukaan pengelolaan, perbaikan tata kelola organisasi, termasuk kualitas SDM pada birokrasi keuangan daerah. Tentu ini akan membawa perubahan yang sangat radikal dalam pengelolaan pemerintah daerah.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
ANGGARAN Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Angkanya meningkat signifikan dari Rp33,1 triliun pada 2000 menjadi Rp770,4 triliun di tahun ini.
Hal ini terjadi karena alokasi dana transfer ke daerah dan dana desa diyakini bisa mempercepat pembangunan prioritas yang berada di daerah termasuk desa. Sejatinya, TKDD diarahkan untuk mendukung perbaikan kualitas layanan dasar publik di daerah, akselerasi daya saing, dan mendorong belanja produktif yang dapat meningkatkan aset daerah. Melalui perbaikan layanan (delivery services) bukan hanya pertumbuhan ekonomi bisa meningkat, tetapi transformasi ekonomi bisa terwujud.
Transfer ke daerah adalah bagian dari mekanisme pengelolaan fiskal nasional, sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi fiskal sekaligus agar peningkatan kualitas belanja bisa lebih baik. TKDD ini berisi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Sumber Daya Alam, dan Dana Desa serta Dana kekhususan. Jumlah Dana yang terus meningkat ini menunjukkan besarnya komitmen pemerintah pusat dalam mendorong daerah untuk mengambil inisiasi pembangunan di wilayahnya. Tujuannya, agar lebih sesuai dengan keinginan masyarakat daerah tanpa harus keluar dari kepentingan prioritas nasional.
Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa kondisi yang diharapkan masih belum terwujud dengan baik. Ketimpangan fiskal antarwilayah baik horizontal dan vertikal masih lebar, kemiskinan masih bersikutat di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi basis kemiskinan, begitu juga dengan pengangguran dan pusat-pusat pertumbuhan, hampir tidak berubah selama hampir dua dekade.
Berdasarkan temuan tersebut, pemerintah melihat perlu ada perubahan dalam pengelolaan fiskal ini melalui UU HKPD (Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah) yang diharapkan mampu mewujudkan pengelolaan lebih baik, belanja lebih baik serta pengelolaan pegawai daerah/pusat yang lebih baik.
UU HKPD dan Transfromasi Ekonomi
Selama ini, tingginya ketergantungan daerah terhadap dana TKDD tak lain akibat masih terbelenggunya daerah pada tingginya alokasi belanja pegawai. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan mencatat bahwa rata–rata Dana Alokasi Umum (DAU) yang disedot dari APBN untuk belanja pegawai di lingkungan pemerintah daerah di atas 50%, bahkan ada beberapa kasus di atas 75%. Akibatnya, belanja pembangunan infrastruktur untuk layanan publik masih sangat rendah, yakni rata-rata 11,5%. Padahal, infrastruktur merupakah salah satu prasyarat untuk ekonomi menuju transformasi.
Lemahnya belanja infrastruktur ini sebagai investasi publik (public investment) membuat daerah tidak memiliki banyak pilihan. Alternatifnya, pertama, melakukan efisiensi besar-besaran terutama pada belanja pegawai, dan di mana ini menjadi butir penting pada UU HKPD yang menyebutkan belanja pegawai tidak boleh lebih dari 30% dengan masa transisi selama tiga tahun.
Kedua, pemerintah daerah membuka diri dengan melakukan pinjaman daerah, apakah melalui PT SMI sebagai special mission vehicle Kemenkeu atau melalui municipal bond (obligasi daerah).
Kedua pilihan diatas tentu akan membawa konsekuensi atau prasyarat yang harus dimiliki oleh daerah, seperti keterbukaan pengelolaan, perbaikan tata kelola organisasi, termasuk kualitas SDM pada birokrasi keuangan daerah. Tentu ini akan membawa perubahan yang sangat radikal dalam pengelolaan pemerintah daerah.