Hanya Mimpi Jadi Kapten, Putera Blora Ini Melambung Jadi Jenderal Kepercayaan Soeharto
loading...
A
A
A
Masa remaja yang dilalui Ali Moertopo sangat kontras dengan kembangan kariernya di kemudian hari. Bahkan cenderung bertolak belakang. Masa remaja, Ali Moertopo tidak pernah memilik angan-angan tergabung dalam kesatuan tentara. Dia bahkan bersikap antipati terhadap militer.
"Sewaktu masih SMP, bila teman orang tua atau paman yang menjadi tentara datang, saya tidak begitu senang. Pada zaman pendudukan Jepang, bila teman-teman lama yang masuk Peta datang ke rumah, rasanya menakutkan. Saya juga ndak pernah ikut latihan militer, seperti Seinendan dan Keibodan. "
Dalam perkembangannya baru pada awal proklamasi, Ali Moertopo tergerak ikut perjuangan. Rasa tidak nyaman yang sebelumnya ada pada tentara lambat laun ia hilangkan, bahkan kemudian menjadi sangat antusias.
Dalam militer, Ali Moertopo justru mendapatkan gairah baru. Karier militernya ia mulai dengan bergabung dalam Hisbullah. Jalan masuk ini ia ikuti bersama teman-teman sedaerahnya. Ketika kemudian memasuki AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan masih menjadi prajurit cita-citanya berkarier di bidang militer menjadi semakin mantap.
"Ketika masih bergerilya dengan pangkat prajurit, saya hanya menginginkan menjadi sersan mayor. Entah kenapa, tapi rasanya menjadi sersan mayor kok gagah. Setelah saya menjadi bintara, saya memimpikan menjadi kapten. "Tuhan, mbok saya diberi kesempatan menjadi kapten," doa saya se tiap habis menunaikan salat. Setelah menjadi kapten, saya tidak pernah punya ambisi lagi," tuturnya.
Ada satu hal menarik lagi mengenai sosok Ali Moertopo yang kemudian menjadi asisten presiden bidang politik dan disebut-sebut Aspri paling berkuasa. Pada satu fase masa remajanya, saat tengah menggandrungi dunia militer, ia pernah merasa tidak senang jika ada yang berbicara masalah politik, tetapi akan berbeda bila membicarakan topik strategi militer.
"Waktu masih perwira, saya tidak senang kalau ada orang bicara politik. Kalau teman-teman saya bicara politik, pistol yang saya cabut. Tapi kalau orang bicara teknik dan strategi kemiliteran, atau semangat korps, saya mau meladeninya. Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di medan pertempuran. "
Setiap bagian hidupnya kemudian berubah dan berkembang. Pertama, dia menyebutkan anti terhadap dunia militer, kemudian angin berhembus sebaliknya. Kedua, saat fase hidupnya menyukai militer namun enggan terhadap politik, tetapi kemudian justru mengenal Ali Moertopo yang selain mengusai militer, intelijen, juga politik.
"Bintang terang" Ali Moertopo sejak meniti karier dari prajurit biasa sudah mulai terlihat. Ia memiliki pemikiran yang moncer. Bisa dibilang, Ali sangat berbakat bila diposisikan dalam masa-masa labil.
Jenderal Yoga Soegama, satu atasannya pernah berkata begini. "Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat."
"Sewaktu masih SMP, bila teman orang tua atau paman yang menjadi tentara datang, saya tidak begitu senang. Pada zaman pendudukan Jepang, bila teman-teman lama yang masuk Peta datang ke rumah, rasanya menakutkan. Saya juga ndak pernah ikut latihan militer, seperti Seinendan dan Keibodan. "
Dalam perkembangannya baru pada awal proklamasi, Ali Moertopo tergerak ikut perjuangan. Rasa tidak nyaman yang sebelumnya ada pada tentara lambat laun ia hilangkan, bahkan kemudian menjadi sangat antusias.
Dalam militer, Ali Moertopo justru mendapatkan gairah baru. Karier militernya ia mulai dengan bergabung dalam Hisbullah. Jalan masuk ini ia ikuti bersama teman-teman sedaerahnya. Ketika kemudian memasuki AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan masih menjadi prajurit cita-citanya berkarier di bidang militer menjadi semakin mantap.
"Ketika masih bergerilya dengan pangkat prajurit, saya hanya menginginkan menjadi sersan mayor. Entah kenapa, tapi rasanya menjadi sersan mayor kok gagah. Setelah saya menjadi bintara, saya memimpikan menjadi kapten. "Tuhan, mbok saya diberi kesempatan menjadi kapten," doa saya se tiap habis menunaikan salat. Setelah menjadi kapten, saya tidak pernah punya ambisi lagi," tuturnya.
Ada satu hal menarik lagi mengenai sosok Ali Moertopo yang kemudian menjadi asisten presiden bidang politik dan disebut-sebut Aspri paling berkuasa. Pada satu fase masa remajanya, saat tengah menggandrungi dunia militer, ia pernah merasa tidak senang jika ada yang berbicara masalah politik, tetapi akan berbeda bila membicarakan topik strategi militer.
"Waktu masih perwira, saya tidak senang kalau ada orang bicara politik. Kalau teman-teman saya bicara politik, pistol yang saya cabut. Tapi kalau orang bicara teknik dan strategi kemiliteran, atau semangat korps, saya mau meladeninya. Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di medan pertempuran. "
Setiap bagian hidupnya kemudian berubah dan berkembang. Pertama, dia menyebutkan anti terhadap dunia militer, kemudian angin berhembus sebaliknya. Kedua, saat fase hidupnya menyukai militer namun enggan terhadap politik, tetapi kemudian justru mengenal Ali Moertopo yang selain mengusai militer, intelijen, juga politik.
"Bintang terang" Ali Moertopo sejak meniti karier dari prajurit biasa sudah mulai terlihat. Ia memiliki pemikiran yang moncer. Bisa dibilang, Ali sangat berbakat bila diposisikan dalam masa-masa labil.
Jenderal Yoga Soegama, satu atasannya pernah berkata begini. "Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat."