Jalan Mendaki Pembudayaan Olahraga
loading...
A
A
A
Agus Kristiyanto
Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga FKOR Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kolumnis Multi-perspektif Keolahragaan, Tim Pengembang Roadmap DBON 2022-2024
MEWUJUDKAN bangsa yang berbudaya olahraga kuat, kini menjadi sebuah orientasi yang “sangat serius” dikemas dan digerakkan dalam sebuah perencanaan strategik. Sebagaimana sudah sangat dipahami oleh khalayak, telah terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2021 Tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang merupakan wujud ikhtiar pemerintah dalam melakukan review total terhadap ekosistem keolahragaan nasional. Terdapat sebuah keharusan bahwa program pembudayaan olahraga dipastikan pada posisi on the right track untuk melangkah, berlari, dan melompat.
Fleksibilitas, koordinasi, dan endurance pun nampaknya perlu dikerahkan demi memberhasilkan pembudayaan olahraga ke depan. Pasalnya, mengacu pada tujuan yang hendak dicapai dan juga mencermati kondisi eksisting budaya olahraga, proses memberhasilkan capaian budaya olahraga memang harus melintasi jalan yang mendaki atau menanjak. Setidaknya ada pekerjaan rumah bersama, yakni bagaimana mencapai angka partisipasi 70% pada 2045 dari angka 32% di tahun ini. Juga mewujudkan angka kebugaran 65% pada 2045 dari angka kebugaran 24% di tahun ini. Artinya, pembudayaan olahraga harus melangkah dalam lintasan yang mendaki dan menanjak.
Potret Budaya Olahraga
Budaya olahraga merupakan ekspresi keperilakuan individu dan kolektif yang tak terbatas perwujudannya secara fisik, melainkan juga lengkap akan nilai filosofinya. Olahraga sebagai sebuah budaya akan mewujud sebagai gaya hidup sehat-aktif-produktif yang mengakumulasikan nilai fisik, mental, dan sosial dalam kehidupan keseharian sepanjang hayat. Budaya olahraga merupakan kandungan lengkap olahraga dari sisi pengetahuan, sikap, dan perilaku. Budaya olahraga berhubungan dengan wujud ekspresi dan partisipasi publik terhadap olahraga, baik secara individu maupun secara kolektif.
Sayangnya, data yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia usia 10 tahun ke atas yang rutin berolahraga hanya 27,6%. Masyarakat yang melakukan olahraga tiap hari atau 7 hari per minggu hanya sebesar 6%. Pada umumnya masyarakat melakukan olahraga satu kali per minggu, yakni sebesar 68%. Masyarakat sebagian besar melakukan olahraga pada hari libur, sementara banyak masyarakat yang justru juga tidak bisa melakukan olahraga di hari libur karena aktivitas sosial kemasyarakatan yang lain, atau terhalang oleh sebab-sebab lain. Pembudayaan olahraga memang merupakan wilayah yang multidimensional.
Terdapat kesadaran kolektif yang harus terbangun, terutama berhubungan dengan pemahaman yang sama dalam melihat parameter budaya olahraga di masyarakat. Pada lampiran DBON sudah sangat tersurat bahwa parameter yang digunakan adalah angka partisipasi dan angka kebugaran. Pertama, ukuran partisipasi berolahraga adalah frekuensi aktivitas olahraga per minggu. Individu partisipatif adalah individu yang memiliki “habituasi” olahraga minimal 3 kali per minggunya. Masyarakat partisipatif olahraga adalah masyarakat yang sebagian besar terdiri dari orang-orang partisipatif. Capaian yang akan dituju Indonesia pada 2045, yakni dipatok mencapai 70%. Sementara kondisi eksisting partisipasi rata-rata secara nasional adalah baru 0,328 atau 32,8 %, termasuk dalam kategori rendah.
Kedua, parameter angka kebugaran jasmani masyarakat. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara angka partisipasi dan kondisi kebugaran masyarakat. Masyarakat partisipatif merepresentasikan sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup aktif-sehat-produktif (baca: budaya olahraga) yang akan membawa kondisi bugar secara kolektif. Kebugaran jasmani masyarakat menjadi parameter inti dari sebuah “product” atau outcome gaya hidup sehat. Kebugaran masyarakat Indonesia masih dalam kondisi yang jauh dari ideal, rata-rata angka kebugaran kini masih 24%. Menjadi sebuah tantangan tersendiri yang membutuhkan langkah extra-ordinary untuk mewujudkan angka kebugaran 65% pada 2045 nanti.
Di samping angka partisipasi dan kebugaran, parameter pembudayaan olahraga perlu ditambah agar memberikan kontribusi pada tujuan keolahragaan yang lain. Skenario pembudayaan olahraga diharapkan dapat berperan sebagai daya dorong, bahkan daya pendobrak bagi perwujudan produktivitas olahraga prestasi nasional berskala dunia, juga tujuan memberhasilkan peningkatan ekonomi berbasis olahraga. Parameter yang ditambahkan tersebut adalah literasi fisik dan ruang terbuka olahraga untuk publik.
Ketiga, parameter literasi fisik menunjuk pada derajat keterdidikan masyarakat tentang olahraga dan/atau melalui olahraga. Tidak benar jika literasi fisik sebatas diperlukan oleh peserta didik pada lingkup olahraga pendidikan formal semata. Literasi fisik diperlukan for everyone yang mencakup keterdidikan paripurna dalam hal pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sebuah “menu bergizi” yang diperlukan pula oleh para atlet, pelatih, serta masyarakat luas. Bagi masyarakat luas diperlukan untuk penguatan pilar pembudayaan olahraga. Indeks Literasi fisik (LF) dalam SDI 2021 diperoleh rata-rata LF Indonesia baru sebesar 0,56 atau 56% dari angka optimalnya. Mendongkrak indeks LF ke 60 % pada Tahun 2024 pun cukup berat bila tidak dilakukan intervensi yang bersifat extraordinary.
Keempat, ruang terbuka olahraga adalah ruang yang diperlukan oleh publik untuk melakukan aktivitas fisik dan olahraga sebagai aktivitas harian. Konotasi ruang terbuka adalah berupa space (indoor maupun outdoor) yang aksesnya terbuka untuk publik. Ruang terbuka berupa space fungsional yang tersedia agar masyarakat leluasa melakukan aktivitas fisik/olahraga. Budaya olahraga akan beku, manakala ketersediaan ruang terbuka jauh dari nilai idealnya yang dibutuhkan. Sesuai dengan standar UNESCO, bahwa indeks ideal ruang terbuka setara dengan 3,5 meter per segi per orang. Berapa kondisi eksisting di Indonesia? Indeks ruang terbuka olahraga pada 2021 adalah baru sebesar: 50 %.
Memberhasilkan Pembudayaan Olahraga
Untuk mewujudkan akselerasi pada jalan mendaki pembudayaan olahraga berorientasi pada berbagai ikhtiar produktif meningkatkan partisipasi, kebugaran, literasi fisik, dan kecukupan ruang terbuka olahraga. Setidaknya ada 4 (empat) formulasi yang semestinya dilakukan secara komprehensif. Pertama, menumbuhkan karakter internal individu dalam berolahraga. Hal tersebut mutlak diperlukan untuk mewujudkan nilai passion individu dan kekuatan motif berolahraga secara internal. Formulasi karakter tersebut dikenal dengan istilah “penularan”. Penularan pertama adalah habituasi yang didesain melalui kebiasaan hidup sehari-hari, mulai dari aktivitas kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang. Berikutnya adalah melalui intervensi dalam keperilakuan, kemudian yang paling penting adalah keteladanan. Memberikan keteladan merupakan tantangan tersendiri dalam proses pembudayaan olahraga.
Kedua, pembudayaan olahraga dilakukan dengan basis komunitas informal, formal, dan nonformal. Jalur informal adalah lingkup yang berada di tataran lingkungan keluarga inti. Betapa keluarga itu dengan sangat kuatnya membentuk passion yang melekat. Pola asuh keluarga dan karakteristik keluarga menjadi faktor pembentuk. Ada sebuah ungkapan joke tapi sesuai fakta, bahwa: “seorang pembalap mobil hanya tumbuh di keluarga pembalap mobil”.
Pada tataran nonformal, komunitas olahraga memiliki habitat yang sangat luas dan lebih leluasa berkembang. Aneka komunitas olahraga tumbuh secara sangat alamiah, karena diikat oleh kegemaran dan hobi yang sama. Ikatan batin yang terbentuk antar anggota komunitas sangat kuat, sehingga iklim sosio-emosional sangat dahsyat. Diperlukan skenario besar untuk memberikan kondisi ideal tentang keberadaan komunitas agar tidak berkembang sebagai kelompok yang eksklusif dan “narsistik”. Keberadaan komunitas olahraga adalah sebuah kekayaan kolektif yang berkontribusi utnuk mengakselerasi pembudayaan olahraga.
Ketiga, formula kampanye inklusi olahraga dilakukan dengan basis olahraga untuk semua dan olahraga untuk membangun peradaban. Kampanye olahraga dikemas sebagai “panglima” dari aksi nondiskriminasi yang sebenarnya. Olahraga dikampanyekan juga untuk membangun peradaban masyarakat madani yang sejahtera (Baca: sehat, damai, dan makmur). Dalam kacamata yang demikian, maka kampanye bukan sekadar mendesain aktivitas sporadis dalam kegiatan massal yang berulang. Visi kampanye mengarah pada pembentukan literasi fisik kolektif publik. Kampanye sukses ketika berhasil memberikan “pekerjaan rumah” berupa keharusan berolahraga sepanjang hayat.
Keempat, capaian pertumbuhan budaya olahraga ditakar dengan parameter terpercaya. Kemajuan budaya olahraga tidak bisa direpresentasikan oleh banyaknya anggota masyarakat yang berolahraga di hari tertentu dan di tempat tertentu. Berjubelnya masyarakat berolahraga pada hari tertentu/event tertentu tidak serta merta bisa dijadikan kesimpulan bahwa budaya olahraga masyarakat sudah tinggi.
Memang pekerjaan besar pembudayaan olahraga utamanya adalah untuk mendongkrak angka partisipasi, kebugaran, literasi fisik, dan ruang terbuka olahraga publik. Akan tetapi karena lintasan pembudayaan berupa jalan yang mendaki, maka diperlukan aneka formulasi yang menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa. Pembudayaan olahraga bukan wilayah “ke-AKU-an”, juga bukan urusan “ke-KAMI-an”, tetapi berada di ranah “ke-KITA-an”. Memberhasilkan pembudayaan olahraga artinya memberikan kontribusi kolektif menuju bangsa yang digdaya dan bangsa yang sejahtera. Hal tersebut merupakan pesan moral berenergi yang sangat “seksi” dalam tahap-tahap capaian pembudayaan olahraga, walaupun bergerak pada lintasan menanjak dan mendaki.
.
Profesor Analisis Kebijakan Pembangunan Olahraga FKOR Universitas Sebelas Maret Surakarta, Kolumnis Multi-perspektif Keolahragaan, Tim Pengembang Roadmap DBON 2022-2024
MEWUJUDKAN bangsa yang berbudaya olahraga kuat, kini menjadi sebuah orientasi yang “sangat serius” dikemas dan digerakkan dalam sebuah perencanaan strategik. Sebagaimana sudah sangat dipahami oleh khalayak, telah terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2021 Tentang Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang merupakan wujud ikhtiar pemerintah dalam melakukan review total terhadap ekosistem keolahragaan nasional. Terdapat sebuah keharusan bahwa program pembudayaan olahraga dipastikan pada posisi on the right track untuk melangkah, berlari, dan melompat.
Fleksibilitas, koordinasi, dan endurance pun nampaknya perlu dikerahkan demi memberhasilkan pembudayaan olahraga ke depan. Pasalnya, mengacu pada tujuan yang hendak dicapai dan juga mencermati kondisi eksisting budaya olahraga, proses memberhasilkan capaian budaya olahraga memang harus melintasi jalan yang mendaki atau menanjak. Setidaknya ada pekerjaan rumah bersama, yakni bagaimana mencapai angka partisipasi 70% pada 2045 dari angka 32% di tahun ini. Juga mewujudkan angka kebugaran 65% pada 2045 dari angka kebugaran 24% di tahun ini. Artinya, pembudayaan olahraga harus melangkah dalam lintasan yang mendaki dan menanjak.
Potret Budaya Olahraga
Budaya olahraga merupakan ekspresi keperilakuan individu dan kolektif yang tak terbatas perwujudannya secara fisik, melainkan juga lengkap akan nilai filosofinya. Olahraga sebagai sebuah budaya akan mewujud sebagai gaya hidup sehat-aktif-produktif yang mengakumulasikan nilai fisik, mental, dan sosial dalam kehidupan keseharian sepanjang hayat. Budaya olahraga merupakan kandungan lengkap olahraga dari sisi pengetahuan, sikap, dan perilaku. Budaya olahraga berhubungan dengan wujud ekspresi dan partisipasi publik terhadap olahraga, baik secara individu maupun secara kolektif.
Sayangnya, data yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia usia 10 tahun ke atas yang rutin berolahraga hanya 27,6%. Masyarakat yang melakukan olahraga tiap hari atau 7 hari per minggu hanya sebesar 6%. Pada umumnya masyarakat melakukan olahraga satu kali per minggu, yakni sebesar 68%. Masyarakat sebagian besar melakukan olahraga pada hari libur, sementara banyak masyarakat yang justru juga tidak bisa melakukan olahraga di hari libur karena aktivitas sosial kemasyarakatan yang lain, atau terhalang oleh sebab-sebab lain. Pembudayaan olahraga memang merupakan wilayah yang multidimensional.
Terdapat kesadaran kolektif yang harus terbangun, terutama berhubungan dengan pemahaman yang sama dalam melihat parameter budaya olahraga di masyarakat. Pada lampiran DBON sudah sangat tersurat bahwa parameter yang digunakan adalah angka partisipasi dan angka kebugaran. Pertama, ukuran partisipasi berolahraga adalah frekuensi aktivitas olahraga per minggu. Individu partisipatif adalah individu yang memiliki “habituasi” olahraga minimal 3 kali per minggunya. Masyarakat partisipatif olahraga adalah masyarakat yang sebagian besar terdiri dari orang-orang partisipatif. Capaian yang akan dituju Indonesia pada 2045, yakni dipatok mencapai 70%. Sementara kondisi eksisting partisipasi rata-rata secara nasional adalah baru 0,328 atau 32,8 %, termasuk dalam kategori rendah.
Kedua, parameter angka kebugaran jasmani masyarakat. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara angka partisipasi dan kondisi kebugaran masyarakat. Masyarakat partisipatif merepresentasikan sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup aktif-sehat-produktif (baca: budaya olahraga) yang akan membawa kondisi bugar secara kolektif. Kebugaran jasmani masyarakat menjadi parameter inti dari sebuah “product” atau outcome gaya hidup sehat. Kebugaran masyarakat Indonesia masih dalam kondisi yang jauh dari ideal, rata-rata angka kebugaran kini masih 24%. Menjadi sebuah tantangan tersendiri yang membutuhkan langkah extra-ordinary untuk mewujudkan angka kebugaran 65% pada 2045 nanti.
Di samping angka partisipasi dan kebugaran, parameter pembudayaan olahraga perlu ditambah agar memberikan kontribusi pada tujuan keolahragaan yang lain. Skenario pembudayaan olahraga diharapkan dapat berperan sebagai daya dorong, bahkan daya pendobrak bagi perwujudan produktivitas olahraga prestasi nasional berskala dunia, juga tujuan memberhasilkan peningkatan ekonomi berbasis olahraga. Parameter yang ditambahkan tersebut adalah literasi fisik dan ruang terbuka olahraga untuk publik.
Ketiga, parameter literasi fisik menunjuk pada derajat keterdidikan masyarakat tentang olahraga dan/atau melalui olahraga. Tidak benar jika literasi fisik sebatas diperlukan oleh peserta didik pada lingkup olahraga pendidikan formal semata. Literasi fisik diperlukan for everyone yang mencakup keterdidikan paripurna dalam hal pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sebuah “menu bergizi” yang diperlukan pula oleh para atlet, pelatih, serta masyarakat luas. Bagi masyarakat luas diperlukan untuk penguatan pilar pembudayaan olahraga. Indeks Literasi fisik (LF) dalam SDI 2021 diperoleh rata-rata LF Indonesia baru sebesar 0,56 atau 56% dari angka optimalnya. Mendongkrak indeks LF ke 60 % pada Tahun 2024 pun cukup berat bila tidak dilakukan intervensi yang bersifat extraordinary.
Keempat, ruang terbuka olahraga adalah ruang yang diperlukan oleh publik untuk melakukan aktivitas fisik dan olahraga sebagai aktivitas harian. Konotasi ruang terbuka adalah berupa space (indoor maupun outdoor) yang aksesnya terbuka untuk publik. Ruang terbuka berupa space fungsional yang tersedia agar masyarakat leluasa melakukan aktivitas fisik/olahraga. Budaya olahraga akan beku, manakala ketersediaan ruang terbuka jauh dari nilai idealnya yang dibutuhkan. Sesuai dengan standar UNESCO, bahwa indeks ideal ruang terbuka setara dengan 3,5 meter per segi per orang. Berapa kondisi eksisting di Indonesia? Indeks ruang terbuka olahraga pada 2021 adalah baru sebesar: 50 %.
Memberhasilkan Pembudayaan Olahraga
Untuk mewujudkan akselerasi pada jalan mendaki pembudayaan olahraga berorientasi pada berbagai ikhtiar produktif meningkatkan partisipasi, kebugaran, literasi fisik, dan kecukupan ruang terbuka olahraga. Setidaknya ada 4 (empat) formulasi yang semestinya dilakukan secara komprehensif. Pertama, menumbuhkan karakter internal individu dalam berolahraga. Hal tersebut mutlak diperlukan untuk mewujudkan nilai passion individu dan kekuatan motif berolahraga secara internal. Formulasi karakter tersebut dikenal dengan istilah “penularan”. Penularan pertama adalah habituasi yang didesain melalui kebiasaan hidup sehari-hari, mulai dari aktivitas kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang. Berikutnya adalah melalui intervensi dalam keperilakuan, kemudian yang paling penting adalah keteladanan. Memberikan keteladan merupakan tantangan tersendiri dalam proses pembudayaan olahraga.
Kedua, pembudayaan olahraga dilakukan dengan basis komunitas informal, formal, dan nonformal. Jalur informal adalah lingkup yang berada di tataran lingkungan keluarga inti. Betapa keluarga itu dengan sangat kuatnya membentuk passion yang melekat. Pola asuh keluarga dan karakteristik keluarga menjadi faktor pembentuk. Ada sebuah ungkapan joke tapi sesuai fakta, bahwa: “seorang pembalap mobil hanya tumbuh di keluarga pembalap mobil”.
Pada tataran nonformal, komunitas olahraga memiliki habitat yang sangat luas dan lebih leluasa berkembang. Aneka komunitas olahraga tumbuh secara sangat alamiah, karena diikat oleh kegemaran dan hobi yang sama. Ikatan batin yang terbentuk antar anggota komunitas sangat kuat, sehingga iklim sosio-emosional sangat dahsyat. Diperlukan skenario besar untuk memberikan kondisi ideal tentang keberadaan komunitas agar tidak berkembang sebagai kelompok yang eksklusif dan “narsistik”. Keberadaan komunitas olahraga adalah sebuah kekayaan kolektif yang berkontribusi utnuk mengakselerasi pembudayaan olahraga.
Ketiga, formula kampanye inklusi olahraga dilakukan dengan basis olahraga untuk semua dan olahraga untuk membangun peradaban. Kampanye olahraga dikemas sebagai “panglima” dari aksi nondiskriminasi yang sebenarnya. Olahraga dikampanyekan juga untuk membangun peradaban masyarakat madani yang sejahtera (Baca: sehat, damai, dan makmur). Dalam kacamata yang demikian, maka kampanye bukan sekadar mendesain aktivitas sporadis dalam kegiatan massal yang berulang. Visi kampanye mengarah pada pembentukan literasi fisik kolektif publik. Kampanye sukses ketika berhasil memberikan “pekerjaan rumah” berupa keharusan berolahraga sepanjang hayat.
Keempat, capaian pertumbuhan budaya olahraga ditakar dengan parameter terpercaya. Kemajuan budaya olahraga tidak bisa direpresentasikan oleh banyaknya anggota masyarakat yang berolahraga di hari tertentu dan di tempat tertentu. Berjubelnya masyarakat berolahraga pada hari tertentu/event tertentu tidak serta merta bisa dijadikan kesimpulan bahwa budaya olahraga masyarakat sudah tinggi.
Memang pekerjaan besar pembudayaan olahraga utamanya adalah untuk mendongkrak angka partisipasi, kebugaran, literasi fisik, dan ruang terbuka olahraga publik. Akan tetapi karena lintasan pembudayaan berupa jalan yang mendaki, maka diperlukan aneka formulasi yang menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa. Pembudayaan olahraga bukan wilayah “ke-AKU-an”, juga bukan urusan “ke-KAMI-an”, tetapi berada di ranah “ke-KITA-an”. Memberhasilkan pembudayaan olahraga artinya memberikan kontribusi kolektif menuju bangsa yang digdaya dan bangsa yang sejahtera. Hal tersebut merupakan pesan moral berenergi yang sangat “seksi” dalam tahap-tahap capaian pembudayaan olahraga, walaupun bergerak pada lintasan menanjak dan mendaki.
.
(bmm)