BMKG Ungkap Sudah 10 Kali Tsunami Terjadi di Selat Sunda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Potensi gempa megathrust berkekuatan M 8,7 di Selat Sunda banyak dikaitkan dengan tsunami di Banten 2018 dan gempa M6,6 di Pandeglang, Banten 16 Januari 2022. Tetapi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memastikan kedua bencana itu tidak berkaitan dengan megathrust.
Menurut Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, gempa pada 16 Januari lalu tidak terjadi di bidang kontak seperti megathrust atau seduksi. Gempa dan tsunami M7,8 di Pangandaran 2006 serta gempa tsunami Bengkulu M8,5 pada 2007 lalu, bersumber zona megathrust yang sama.
“Artinya, masih ada proses akumulasi mega tegangan, akumulasi energi yang itu belum rilis. Itu yang kita khawatirkan, itu yang kita sebut seismic gap, kekosongan gempa dianggap karena zona potensi gempa besar,” terang Daryono dalam Polemik MNC Trijaya FM bertajuk Waspada Gempa Megathrust dan Bencana Hitrometrologi secara daring, Sabtu (22/1/2022).
Gempa dan tsunami di Banten 2018 lalu juga sama sekali tidak ada kaitannya dengan megathrust karena disebabkan plank collapse, yaitu runtuhnya badan gunung yang material reruntuhannya menimbulkan tsunami.
Sebagai catatan, Daryono mengungkap bahwa di Selat Sunda sendiri sudah terjadi sebanyak 10 kali tsunami, baik yang disebabkan oleh gempa maupun oleh erupsi Gunung Krakatau. Untuk yang disebabkan oleh gempa terjadi tahun 1722, 1852 dan 1958. Dan akibat erupsi Krakatau sebanyak 3 kali termasuk yang paling populer tahun 1803.
“Akibat erupsi Krakatau tahun 416, ada di kitab raja-raja namanya Kitab Raja Purwa, kalau enggak salah. 1803 itu letusan yang populer katastropik, selain material tumpah yang kontak dengan air laut, katastropik meletusnya seperti mercon, dan 1928,” kata dia.
Selain itu, Daryono menambahkan, akibat longsoran gunung Krakatau terjadi 4 kali, yakni 1851, 1883, 1889, dan terakhir 2018 kemarin sudah 10 kali. Dia mengakui bahwa dari beberapa kejadian itu ada potensi multihazard, tapi tentu tidak boleh pesimistis karena yang terpenting adalah memetakan mitigasi guna menjamin keselamatan masyarakat.
“Di sana ada potensi multihazard, kita tdk boleh pesimis atas apa yang terjadi, kita perlu memetakan mitigasi yang akhirnya bisa menjamin keselamatan masyarakat, kita akan lakukan,” pungkas Daryono.
Menurut Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, gempa pada 16 Januari lalu tidak terjadi di bidang kontak seperti megathrust atau seduksi. Gempa dan tsunami M7,8 di Pangandaran 2006 serta gempa tsunami Bengkulu M8,5 pada 2007 lalu, bersumber zona megathrust yang sama.
“Artinya, masih ada proses akumulasi mega tegangan, akumulasi energi yang itu belum rilis. Itu yang kita khawatirkan, itu yang kita sebut seismic gap, kekosongan gempa dianggap karena zona potensi gempa besar,” terang Daryono dalam Polemik MNC Trijaya FM bertajuk Waspada Gempa Megathrust dan Bencana Hitrometrologi secara daring, Sabtu (22/1/2022).
Gempa dan tsunami di Banten 2018 lalu juga sama sekali tidak ada kaitannya dengan megathrust karena disebabkan plank collapse, yaitu runtuhnya badan gunung yang material reruntuhannya menimbulkan tsunami.
Sebagai catatan, Daryono mengungkap bahwa di Selat Sunda sendiri sudah terjadi sebanyak 10 kali tsunami, baik yang disebabkan oleh gempa maupun oleh erupsi Gunung Krakatau. Untuk yang disebabkan oleh gempa terjadi tahun 1722, 1852 dan 1958. Dan akibat erupsi Krakatau sebanyak 3 kali termasuk yang paling populer tahun 1803.
“Akibat erupsi Krakatau tahun 416, ada di kitab raja-raja namanya Kitab Raja Purwa, kalau enggak salah. 1803 itu letusan yang populer katastropik, selain material tumpah yang kontak dengan air laut, katastropik meletusnya seperti mercon, dan 1928,” kata dia.
Selain itu, Daryono menambahkan, akibat longsoran gunung Krakatau terjadi 4 kali, yakni 1851, 1883, 1889, dan terakhir 2018 kemarin sudah 10 kali. Dia mengakui bahwa dari beberapa kejadian itu ada potensi multihazard, tapi tentu tidak boleh pesimistis karena yang terpenting adalah memetakan mitigasi guna menjamin keselamatan masyarakat.
“Di sana ada potensi multihazard, kita tdk boleh pesimis atas apa yang terjadi, kita perlu memetakan mitigasi yang akhirnya bisa menjamin keselamatan masyarakat, kita akan lakukan,” pungkas Daryono.
(muh)