Tamasya Filsafat
loading...
A
A
A
Ahmad Kurnia Sidik
Peresensi
Konon, filsafat itu menjemukan. Ia berisi tulisan yang mengawang-awang diatas langit, diktum rumit dan berbelit yang seolah enggan masuk ke kepala, dan terlalu banyak nama-nama agung yang juga harus dihapalkan. Ini semua membuat kata filsafat itu sendiri seolah momok amat mengerikan yang harus dihindari.
Bagi banyak orang, antipati terhadap filsafat sudah semestinya dilakukan. Eric Weiner tak mau masuk ke dalam golongan banyak orang-orang tadi. Bahkan, ia ingin mendobrak dan menyingkap portal akal yang menghalangi pemiliknya dari dunia kefilsafatan. Dengan seutas kebanggaan, Dirinya menjadi amplifikasi dari filsuf Prancis, Maurice Riseling, yang mengatakan “lambat laun, hidup mengubah kita semua menjadi filsuf”.
Berfilsafat menjadi sebuah keharusan. Filsafat itu, kata Eric Weiner adalah transformasi diri, terapi jiwa, dan hal yang dapat dipraktikan (h.26). Hal ini semacam penegasan dari perkataan Jules Evans (2012), “Filsafat adalah pembelajaran, serangkaian latihan mental dan fisik harian yang menjadi lebih mudah dilakukan karean sering diterapakan”.
Pusparagam produk teknologi hari ini menggampangkan kita dalam akses informasi. Ponsel pintar nan ajaib di genggaman mampu memberi semua informasi dan pengetahuan manusia, mulai dari zaman mesopotamia sampai detik ini. Tapi apakah cukup hanya dengan informasi dan pengetahuan yang campur aduk fakta-faktanya itu?
Dibutuhkan kebijaksanaan untuk mengurai fakta-fakta tersebut sehingga berguna bagi kita, dan hadirnya filsafat untuk memberikan kebijaksaan itu. Filsafat bersifat preskiptif, tidak hanya menggambarkan dunia sebagaimana adanya tapi juga dunia seandainya, membukakan mata kita terhadap kemungkinan (h.27).
Eric Weiner, melalui The Socrates Express ini hadir dengan membawa serta keintiman filsafat yang (mungkin) telah lama hilang. Mencoba menabrak anggapan bahwa filsafat adalah hal yang anakronisme, yang menyebabkan antipati di telinga banyak orang. Buku bersampul apik ini mencoba menata ulang kesalahan-kesalahan yang dilakukan sekolah-sekolah yang hanya mengajarkan “tentang” filsafat, bukan filsafat. Filsafat, kata Eric Weiner lagi, bukan batang tubuh pengetahuan, melainkan cara berpikir – cara hidup ditengah dunia. Bukan “apa” atau “mengapa” melainkan “bagaimana”.
Anda sekalian, mungkin sudah membaca buku-buku filsafat lain yang katanya ramah terhadap pemula, ringan bobot bahasanya, dan sedap cerita-ceritanya, seperti Dunia Sophie yang agak tebal itu, atau Perempuan Bernama Arjuna yang berjilid-jilid itu. Membaca The Socrates Express akan menemukan suatu ekstase yang tidak kita dapatkan dari buku-buku tadi. Kita seolah mendengar langsung cuap-cuapnya Eric Weiner.
Keasyikan perjalanan dalam menyusuri sudut-sudut kota dan desa di berbagai belahan dunia tempat para filsuf-filsuf yang dibahas buku ini membuat kita lupa sudah berapa halaman yang kita baca. Tak mengherankan mengapa raja-raja filsuf di Indonesia seperti Bambang Sugiharto, Martin Suryajaya, atau lainnya sangat menikmati karya ini dan berkata “buku ini membuat filsafat intim, hangat, dan menyegarkan”.
Kembali ke definisi filsafat bagi Eric Weiner yang katanya adalah berpikir bagaimana cara hidup di tengah dunia ini. Hal tersebut membuat The Socrates Express dipenuhi dengan pertanyaan “bagaimana”. Setiap tajuk babnya dimulai dengan “bagaimana”. “Bagaimana Bangun dari Rebahan seperti Marcus Aurelius”, “Bagaimana Menikmati seperti Epicurus”, “Bagaimana Hidup Tanpa Penyesalan seperti Nietzsche”, dan lain sebagainya.
Peresensi
Konon, filsafat itu menjemukan. Ia berisi tulisan yang mengawang-awang diatas langit, diktum rumit dan berbelit yang seolah enggan masuk ke kepala, dan terlalu banyak nama-nama agung yang juga harus dihapalkan. Ini semua membuat kata filsafat itu sendiri seolah momok amat mengerikan yang harus dihindari.
Bagi banyak orang, antipati terhadap filsafat sudah semestinya dilakukan. Eric Weiner tak mau masuk ke dalam golongan banyak orang-orang tadi. Bahkan, ia ingin mendobrak dan menyingkap portal akal yang menghalangi pemiliknya dari dunia kefilsafatan. Dengan seutas kebanggaan, Dirinya menjadi amplifikasi dari filsuf Prancis, Maurice Riseling, yang mengatakan “lambat laun, hidup mengubah kita semua menjadi filsuf”.
Berfilsafat menjadi sebuah keharusan. Filsafat itu, kata Eric Weiner adalah transformasi diri, terapi jiwa, dan hal yang dapat dipraktikan (h.26). Hal ini semacam penegasan dari perkataan Jules Evans (2012), “Filsafat adalah pembelajaran, serangkaian latihan mental dan fisik harian yang menjadi lebih mudah dilakukan karean sering diterapakan”.
Pusparagam produk teknologi hari ini menggampangkan kita dalam akses informasi. Ponsel pintar nan ajaib di genggaman mampu memberi semua informasi dan pengetahuan manusia, mulai dari zaman mesopotamia sampai detik ini. Tapi apakah cukup hanya dengan informasi dan pengetahuan yang campur aduk fakta-faktanya itu?
Dibutuhkan kebijaksanaan untuk mengurai fakta-fakta tersebut sehingga berguna bagi kita, dan hadirnya filsafat untuk memberikan kebijaksaan itu. Filsafat bersifat preskiptif, tidak hanya menggambarkan dunia sebagaimana adanya tapi juga dunia seandainya, membukakan mata kita terhadap kemungkinan (h.27).
Eric Weiner, melalui The Socrates Express ini hadir dengan membawa serta keintiman filsafat yang (mungkin) telah lama hilang. Mencoba menabrak anggapan bahwa filsafat adalah hal yang anakronisme, yang menyebabkan antipati di telinga banyak orang. Buku bersampul apik ini mencoba menata ulang kesalahan-kesalahan yang dilakukan sekolah-sekolah yang hanya mengajarkan “tentang” filsafat, bukan filsafat. Filsafat, kata Eric Weiner lagi, bukan batang tubuh pengetahuan, melainkan cara berpikir – cara hidup ditengah dunia. Bukan “apa” atau “mengapa” melainkan “bagaimana”.
Anda sekalian, mungkin sudah membaca buku-buku filsafat lain yang katanya ramah terhadap pemula, ringan bobot bahasanya, dan sedap cerita-ceritanya, seperti Dunia Sophie yang agak tebal itu, atau Perempuan Bernama Arjuna yang berjilid-jilid itu. Membaca The Socrates Express akan menemukan suatu ekstase yang tidak kita dapatkan dari buku-buku tadi. Kita seolah mendengar langsung cuap-cuapnya Eric Weiner.
Keasyikan perjalanan dalam menyusuri sudut-sudut kota dan desa di berbagai belahan dunia tempat para filsuf-filsuf yang dibahas buku ini membuat kita lupa sudah berapa halaman yang kita baca. Tak mengherankan mengapa raja-raja filsuf di Indonesia seperti Bambang Sugiharto, Martin Suryajaya, atau lainnya sangat menikmati karya ini dan berkata “buku ini membuat filsafat intim, hangat, dan menyegarkan”.
Kembali ke definisi filsafat bagi Eric Weiner yang katanya adalah berpikir bagaimana cara hidup di tengah dunia ini. Hal tersebut membuat The Socrates Express dipenuhi dengan pertanyaan “bagaimana”. Setiap tajuk babnya dimulai dengan “bagaimana”. “Bagaimana Bangun dari Rebahan seperti Marcus Aurelius”, “Bagaimana Menikmati seperti Epicurus”, “Bagaimana Hidup Tanpa Penyesalan seperti Nietzsche”, dan lain sebagainya.